Tak Luput Dari Kritikan

BEM Fakultas Sastra menggelar inaugurasi. Pesta keakraban berubah menjadi perpecahan. Kinerja BEM kembali dipertanyakan.

Oleh Agung Hadiwijaya

Rabu, 4 Mei 2005, pukul 20.30 WIB. Rintik hujan mulai reda. Malam itu, Auditorium Universitas Diponegoro (Audit-Undip) dikerumuni oleh massa. Ada yang duduk-duduk di depan pintu masuk. Ada pula yang tengah antri di loket pembelian karcis.
Sementara itu, beberapa pria paruh baya tengah mondar-mandir menghampiri setiap pengunjung yang datang.
“Mas, karcisnya ini Mas. Harganya sama, delapan ribu rupiah,” tutur salah seorang diantaranya.
Mereka adalah para calo tiket. Mereka membeli tiket dari panitia dengan harga Rp 7.500,00 dan menjualnya dengan harga Rp 8.000,00.
Sempat terjadi ketegangan saat para calo protes kepada panitia. Tiket yang mereka jual banyak yang tidak laku karena ternyata panitia mengeluarkan dua jenis tiket. Yakni tiket seharga Rp 5.000,00 untuk mahasiswa Sastra dan Rp 8.000,00 untuk umum. Para calo mengaku kesal karena banyak pengunjung yang mengaku mahasiswa Sastra.
Alunan suara musik terdengar dari dalam gedung auditorium. “Inaugurasi Fakultas Sastra Undip” tengah berlangsung. Acara yang bertajuk “Fresh Grezz Taste” ini diisi dengan pentas musik. Beberapa band lokal yang lolos seleksi turut meramaikan acara. Tak jauh dari panggung, beberapa pengunjung duduk lesehan menikmati penampilan para band pembuka. Sebagian pengunjung masih enggan mendekat. Mereka memilih melihat dari kejauhan. Acara berlangsung kurang meriah.
Koncar, mahasiswa Teknik Elektro angkatan 2000, sempat tertidur pulas di dalam audit. Padahal saat itu sounds system terdengar keras.
“Acara musiknya nggak seru. Aku ngantuk ya tidur aja….” ungkapnya dengan nada santai. Menurutnya, acaranya garing dan kurang menarik.
Tiba-tiba seorang pria naik ke atas panggung. Awalnya hanya sebagian penonton yang di dekat panggung saja yang memerhatikan ulahnya. Ia berdiri dengan memegang mikrofon.
“Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun. Kreatifitas mahasiswa Fakultas Sastra telah mati….” ucap pria itu.
Suasana hening. Perhatian pengunjung tertuju padanya.
Namun suasana kembali riuh, saat pria itu melanjutkan pembicaraannya. Sekitar tiga menit ia berbicara di atas panggung. Apa yang disampaikannya tak begitu terdengar jelas oleh riuhnya massa.
Tak lama kemudian, sang bintang tamu yang ditunggu-tunggu naik ke atas panggung. Salah seorang kru Mitra Band berteriak memberi salam. Pengunjung membalas dengan teriakan yang tak kalah histeris. Mereka bangkit dari tempat duduknya dan mendekat ke arah panggung. Pengunjung yang tadinya masih di luar pun mulai masuk setelah pintu dibuka. Panitia rupanya tak lagi menarik biaya tiket masuk. Artinya, ticketing sudah tidak berlaku. Namun demikian, pengunjung yang hadir hanya memenuhi setengah ruangan auditorium.
Asep Iskandarsyah, ketua EDSA, HMJ Sastra Inggris, yang waktu itu menjadi panitia inaugurasi mengakui ketidaksuksesan acara yang digelar malam itu.
“Menurutku, inaugurasi tadi malam bisa dibilang kurang sukseslah. Target tidak bisa tercapai,” tuturnya yang saat itu menangani ticketing.
Menurutnya, salah satu sebabnya karena susunan acara yang sempat diubah-ubah. Selain itu juga masalah sounds system yang kurang bagus.
“Sounds systemnya juga jelek, suaranya kurang jelas,” tambahnya.

TANDA-tanda ketidakberhasilan sebenarnya mulai tercium sebelum acara inaugurasi dilangsungkan. Dalam internal panitia sendiri sudah ada masalah. Bahkan beberapa UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) seperti WMS, Matrapala, dan EMKA undur diri dari kepanitiaan. Pasalnya, mereka tidak setuju dengan konsep yang telah dibuat.
“Mereka ingin menampilkan identitas sebagai mahasiswa Sastra, tapi konsep acara yang diusulkan tidak disetujui. Alasannya selalu sama, dana.” ungkap Asep, perwakilan dari EDSA.
Asep mengaku, ia yang mengusulkan konsep acara dengan nama “Fresh Grezz Taste” tersebut. “Waktu itu (kepengurusan Oktora, Red) nggak ada inaugurasi, kita pengen nyegerin lagi, ini loh Sastra yang baru,” tuturnya menjelaskan maksud dari usulannya itu.
Mengenai konsep acaranya, Asep mengusulkan diadakan UKM-HMJ/HMPSD Ekspo selama satu minggu. Pada acara puncak malam inaugurasi, masing-masing UKM-HMJ/HMPSD diberi kesempatan untuk menampilkan kreativitasnya.
“Tapi, menurut Fian, (panggilan akrab Nur Alfian, ketua panitia inaugurasi, Red), kendalanya adalah dana. Padahal menurutku masih banyak alternatif lain yang masih bisa digunakan untuk mengatasi masalah tersebut.”
“Sayang, setiap usulan yang ada hanya ditampung dan tidak dibahas. Nah, hal itu yang sangat aku sayangkan, “ungkapnya kesal.
Saat itu Asep memutuskan keluar dari kepanitiaan.”Saya memang menyatakan keluar dari kepanitiaan inaugurasi ini, tapi bukan karena saya nggak setuju dengan konsep, melainkan karena kesibukan saya di EDSA,” tambahnya.
Dede, perwakilan dari WMS juga menyatakan keluar dari kepanitiaan inaugurasi. Ia mengaku tidak setuju dengan konsep acara yang ditetapkan. Menurutnya, walaupun nanti ada acara pertunjukan kreativitas dari UKM dan HMJ, tapi tidak akan efektif.
Menurutnya, inaugurasi paling tidak harus bisa menunjukkan identitas Sastra di mata penonton. Acara inaugurasi hendaknya bukan hanya acara hiburan semata.
“Ada beberapa usulan memang dari kita, tapi nggak tahu ya ketua panitianya kok tetap kukuh,” ucapnya.
Sementara itu, Rika, Ketua Teater EMKA, juga berkomentar tentang inaugurasi ini. Menurutnya konsep inaugurasi tidak sesuai dengan idealisme EMKA.
“Kita nggak menuntut apa-apa. Okelah kalo emang mau ngadain acara ini, tapi yang menurut Sastra. Yang nyastralah…” katanya.
Rika mengaku EMKA telah ditawari tampil dalam inaugurasi. Tapi, karena merasa nggak cocok dengan konsep yang dipakai, EMKA menolak tawaran itu. Menurutnya, penonton yang sudah bayar otomatis mau nonton band. “Kalau EMKA maksain teater di acara itu, ya nggak masuk,” tuturnya.
EMKA menginginkan acara inaugurasi ini lebih merakyat. “Kalaupun acaranya musik, tapi musik-musik Sastra yang semua orang bisa menikmatinya,” tambah Rika.
Menanggapi masalah ini, Alfian mengatakan bahwa perbedaan pendapat adalah hal yang wajar. Tapi, ia juga menegaskan bahwa konsep acara yang digunakan adalah konsep yang telah disepakati forum. Ia juga menyayangkan usulan yang ditawarkan oleh beberapa UKM itu muncul setelah panitia setengah jalan.
“Konsep itu adalah keputusan bersama. Kita sudah setengah jalan, masa harus merubah konsep lagi?” Ujarnya.
Hal senada juga disampaikan oleh Asep. “Aku juga kesal. Kenapa mereka (yang tak setuju, Red) ngomongnya pas panitia sudah setengah jalan. Kita sudah mikir susah. Kesan yang muncul kegiatan itu seperti kerja segelintir panitia. Aku sebenarnya kasihan sama mereka (panitia, Red), sudah rela ngorbanin waktu dan tenaga tiba-tiba dijadikan sebagai kambing hitam oleh segelintir orang yang tidak bertanggungjawab.”
“Tapi, antusiasme anak Sastranya cukup besar. Dari teman-teman yang nanya langsung ke aku banyak. Mereka menanyakan bintang tamu dan tiket,” tambahnya.
Menanggapi pro-kontra di atas, Ifo Alfianto, ketua HMPSD III Perpustakaan dan Informasi (Perpin) mempunyai sikap lain. Meski sedang sibuk, ia tetap mengirim perwakilan dari Perpin untuk mengikuti perkembangan kegiatan inaugurasi.
Selain di HMPSD III Perpin, saat ini, Ifo mengaku masih aktif di UKM KSR. Oleh karena itu, ia mengaku tak begitu paham dengan proses penyusunan konsep dalam inaugurasi tersebut. Namun karena itu merupakan kegiatan bersama, ia tetap mendukung.
“Saya memang tak suka dengan acara band-band-an. Tapi karena katanya ini program bareng, Perpin ikut. Dalam hal ini, Perpin mengirimkan dua delegasi. Pokoknya orang-orang yang suka band lah,” tutur Ifo.
” … Tapi kalau misalnya sampai teknis agak beda, ya aku sendiri agak bingung, bedanya di mana? Perpin pokoknya mendukung dengan sepenuhnya karena ini kegiatan bersama,” tambahnya.
Bila inaugurasi merupakan kegiatan bersama, tapi mengapa ada yang menolak. Sebenarnya acara ini program siapa?
Menurut Sukarno, mahasiswa Sastra Inggris 2002, yang juga wakil presiden BEM, kegiatan inaugurasi tersebut merupakan program wajib BEM.
“Dalam inaugurasi ini kita sudah mengajak UKM dan HMJ untuk terlibat. Namun kalau ada yang tidak setuju, ini merupakan hal yang wajar. BEM tak punya kewenangan untuk mengatur. Kita hanya menjadi koordinator saja,” ungkapnya.

AKAR persoalan sebenarnya terletak pada konsep yang digunakan untuk acara inaugurasi ini. Konsep yang dipakai panitia dinilai tidak mewakili seluruh aspirasi UKM-HMJ/HMPSD. Keputusan yang diambil dianggap sebagai keputusan sepihak.
“Yang jadi permasalahan adalah pengambilan keputusan Fian. Dari EMKA mengusulkan konsep kerakyatan. Mereka ingin menunjukkan identitas Sastra. Fian nggak cepat merespon, padahal ia tahu keinginan mereka,” ungkap Asep.
Asep juga mengaku kecewa karena konsep “Fresh Gress Taste” yang dipakai oleh panitia tak sesuai dengan konsep awal seperti yang ia usulkan. Salah satunya, seperti usulan diadakan UKM Ekspo yang ternyata tidak disepakati.
Mengenai adanya penarikan tiket masuk, Asep bisa memaklumi karena panitia juga tak mau rugi. Menurutnya, UKM-HMJ/HMPSD sebenarnya juga tak mempermasalahkan ticketing. Meski demikian, bukan berarti semua pihak lantas mendukungnya.
“Kita (EMKA, Red) tidak mempermasalahkan tiket. Ya kita tahulah panitia juga nggak mau rugi. Tapi, yang jelas ada perbedaan idealisme,” tutur Rika.
Permasalahan inagurasi lainnya ternyata juga sudah muncul saat panitia menggelar audisi band. Sebanyak 37 band ikut mendaftar. Mereka berasal dari band kampus dan band sekolah di Semarang. Peserta yang lolos diberi kesempatan untuk tampil sebagai band pembuka pada malam inaugurasi.
Namun, dari hasil seleksi, keempat band yang lolos ternyata tak satu pun berasal dari Sastra. Padahal, beberapa peserta yang ikut, banyak yang beranggotakan mahasiswa Sastra. Seperti yang dialami oleh Handriyo, mahasiswa D III Bahasa Inggris 2002.
“Aku memang mengikuti audisi band ini, tapi katanya nggak lolos. Padahal banyak band dari Sastra yang juga ikut audisi, tapi kok nggak satu pun yang lolos. Sebenarnya mau BEM apa sih?” ungkap Bandrek, panggilan akrab Handriyo, kesal.
Menurut Fian panitia sudah berusaha bekerja secara profesional. Waktu itu juri diambil dari panitia, musisi Semarang, dan juri dari Studio Sterra yang beralamat di sebelah Unisbank, Pandanaran.
“Kalau memang band itu bagus, ya kita loloskan, tapi kalau nggak, ya nggak bisa, karena juga banyak peserta yang ikut. Panitia harus berlaku adil. Lagian, jatah untuk UKM-HMJ juga sudah ada,” ungkap Fian. Saat itu ia menjadi juri mewakili panitia.
“Ya benar, banyak band dari Sastra yang ikut malam itu,” Restu menimpalinya. Restu adalah mahasiswa D III Inggris 2004. Saat ini ia menjadi fungsionaris muda BEM.
Fian menyebutkan nama-nama Band Sastra yang tampil pada malam itu. Sweet Vanilla, Duyung Dayani, Girl Side, Autumn. Band-band itu semua anggotanya adalah mahasiswa Sastra kecuali Sweet Vanilla yang salah satu personilnya dari luar Sastra.

SELAIN kegiatan inaugurasi, secara umum, BEM Fakultas Sastra tidak sepi dari komentar. Ada yang memuji, dan tak jarang pula yang mengkritik.
Ari, mahasiswa Sastra Inggris 2003, menilai bahwa BEM yang sekarang lebih baik dari yang sebelumnya. “Kalau menurut saya, BEM yang sekarang jauh lebih baik daripada yang dulu. Ya, tapi kita lihat lagi nantilah. Soalnya, sekarang belum bisa dinilai secara keseluruhan,” ungkapnya sambil tersenyum.
Hal senada juga disampaikan Asep. Menurutnya, BEM sekarang lebih hidup dari yang sebelumnya. “Saya melihat Pengurus BEM yang sekarang lebih bisa konsisten dan terlihat lebih baik koordinasinya. Kalau dulu kan BEM terkesan tertutup dan eksklusif,” ungkapnya.
Lain halnya dengan Rika. Menurutnya, BEM sama seperti dulu (Periode Oktora, Red), Walaupun BEM sekarang sedikit lebih hidup. Mereka tidak bisa membaur dengan mahasiswa dan khususnya UKM-HMJ/HMPSD.
“Membaur? Sama aja, nggak ada perubahan. Kalau pun dulu BEM ruangannya sering ditutup, itu bisa dimaklumi karena emang nggak ada orang. Tapi sekarang ada pun nggak bisa jadi satu,” katanya.
Sementara itu Sabiq, ketua Senat Mahasiswa Fakultas Sastra (SEMA FS), mengatakan bahwa BEM yang sekarang memang terlihat lebih terbuka. Tetapi masih banyak hal yang harus diperbaiki lagi. Salah satunya adalah masalah koordinasi dengan UKM-HMJ yang dirasa masih kurang.
“Selama ini BEM dirasa kurang punya wibawa karena koordinasinya belum maksimal. Seharusnya BEM bisa lebih membaur dengan mahasiswa sehingga mereka merasa bahwa BEM bagian dari mereka” tutur mahasiswa Jurusan Sejarah 2003 ini.
Sabiq juga menyoroti adanya prinsip kesetaraan antar lembaga kemahasiswaan di Fakultas Sastra berpengaruh terhadap kedudukan BEM. Tapi juga ia menegaskan bahwa hal itu bukan kendala bila koordinasi BEM dengan UKM-HMJ bisa berjalan.
“Kalau dijalankan dengan benar, hal ini (prinsip kesetaraan tersebut, Red) malah bagus” tambahnya.

SETELAH kegiatan inaugurasi, BEM mempunyai program Pelatihan Penulisan Karya Ilmiah Mahasiswa. Kegiatan ini merupakan program wajib BEM yang telah dilaksanakan pada Selasa, 24 Mei 2005.
Selain itu, mulai awal Juni lalu, BEM juga telah menggelar Pekan Olah Raga Sastra (PORSA). Kegiatannya berupa turnamen catur dan basket. Turnamen catur diikuti atas nama perorangan, sedang turnamen basket diikuti oleh beberapa tim yang mewakili HMJ/HMPSD.
Selanjutnya, pada liburan semester bulan Juli, BEM akan mengadakan Seminar Budaya, Up Grading pengurus BEM.
Baru-baru ini, tanggal 16-17 Juni 2005, lembaga kemahasiswaan di Sastra menyelenggarakan UKM-HMJ/HMPSD ekspo dan refleksi budaya. SEMA FS ditunjuk sebagai koordinator kegiatan. Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka memperingati Lustrum VIII FS Undip, yang diadakan lima tahun sekali. Kali ini merupakan ulang tahun FS Undip yang ke-40.
Namun, kegiatan itu kurang mendapat respon dari mahasiswa Sastra. Beberapa lembaga mahasiswa juga tidak ikut andil dalam kegiatan. Stan-stan pameran yang disediakan oleh panitia di kampus Sastra Tembalang hanya sebagian yang terisi. Padahal, menurut Sabiq, ketua panitia, panitia telah mengundang seluruh UKM-HMJ/HMPSD untuk berpartisipasi.
Pemandangan serupa juga terjadi di sore harinya, saat Diskusi dan Refleksi Kebudayaan digelar di kampus Pleburan. Acara diisi diskusi dengan tema “Optimalisasi Budaya Lokal Sebagai Upaya Memperkuat Identitas Bangsa” dan pementasan seni. Tampil sebagai pembicara diskusi Dr. Mudjahirin Tohir, pakar budaya dan dosen FS Undip, dan Djawahir Muhamad, seniman Semarang serta Drs. Dhanang RP, M. Hum. sebagai moderator diskusi. Teater EMKA, Sego Rames, komunitas seniman anak jalanan Semarang turut mementaskan kreativitasnya di acara itu. Acara berakhir sekitar pukul 22.00 WIB, ditutup dengan penampilan kolaborasi antara Sego Rames dan komunitas Papua di Semarang yang menyanyikan lagu-lagu Papua.
Mulanya kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada pertengahan bulan Mei. Namun karena tersendatnya koordinasi, lagi-lagi sulitnya mengumpulkan seluruh UKM-HMJ/HMPSD, dan menunggu pencairan dana dari fakultas, kegiatan ini ditunda sampai dengan pertengahan bulan Juni. Acara yang semula direncanakan akan dilaksanakan selama dua hari, sehari di kampus atas (Tembalang) dan sehari lagi di kampus bawah (Pleburan), juga hanya menjadi satu hari. Pagi di kampus atas dengan acara UKM-HMJ/HMPSD ekspo dan sorenya dilanjutkan diskusi dan refleksi kebudayaan di kampus bawah.

SAAT INI, Karel Juniardi, Presiden BEM Fakultas Sastra periode 2004/2005, mempunyai tugas untuk mengembalikan citra BEM yang selama ini dinilai lemah. Ia menyadari bahwa BEM yang dulu banyak menuai kritik dari banyak pihak.
“Saya menyadari bahwa tugas saya yang berat adalah mengembalikan citra BEM yang sempat jatuh” ungkapnya.
Karel adalah mahasiswa Jurusan Sejarah angkatan 2001. Ia dilantik menjadi Presiden BEM FS pada tanggal 30 Oktober 2004, menggantikan Oktora Rahmat, mahasiswa Sastra Inggris 1999, Presiden BEM periode sebelumnya.
Posisi Karel sekarang ini merupakan buah dari kemenangannya pada Pemilihan Raya (Pemira) yang diadakan pada 13 Oktober 2004. Ia berhasil menyisihkan keempat pesaingnya dengan mengantongi 215 suara dari 651 suara untuk pemilihan Presiden BEM yang sah. Keempat pesaing tersebut secara urut berdasar perolehan suara yakni M Fahmi, mahasiswa D III Jepang; Musfiroh, mahasiswa D III Inggris; Muhamad Roy, mahasiswa Ekstensi Sastra Inggris; dan Sukarno, mahasiswa Sastra Inggris.
Antusiasme mahasiswa Sastra dalam Pemira kali ini mengalami peningkatan dari periode sebelumnya. Sebagai gambaran, dari total kartu suara 1600 buah, yakni masing-masing 800 buah untuk kartu suara BEM dan senat mahasiswa, terpakai sebanyak 1356 kartu suara. Kartu suara sah tercatat, 651 untuk BEM dan 589 kartu suara untuk Sema. Data tersebut sesuai Laporan Pertanggungjawaban KPR yang diketuai Heri C Santoso, mahasiswa Sastra Indonesia 2002 dan Handoko Saputro, mahasiswa D III Inggris 2003, sebagai sekretaris KPR.
Kendati demikian, bukan berarti semua mahasiswa Sastra telah terlibat dalam pemilihan ketua BEM dan Sema Fakultas Sastra tersebut. Jumlah yang terlibat hanya 35 persen dari sekitar 2000 jumlah mahasiswa Sastra.
Ketakterlibatan sebagian mahasiswa Sastra dalam Pemira bukan hanya karena kurangnya publikasi dari panita, tapi karena mereka merasa tak perlu dengan adanya lembaga kemahasiswaan tersebut. Seperti yang dinyatakan oleh Somat, mahasiswa D III Bahasa Inggris 2003. Ia mengaku tak peduli dengan keberadaan BEM. Oleh karenanya, ia tak menggunakan hak pilihnya saat Pemira. Alasannya, ia menganggap ada-tidaknya BEM tak memengaruhi keberadannya di Sastra.
“Sekarang kita lihat, apa sih kerja BEM? Manfaatnya buat kita apa?” ungkapnya.
Fenomena sikap apolitis mahasiswa sudah lama disinyalir oleh para aktivis mahasiswa Sastra. Tingkat partisipasi mahasiswa dalam lembaga-lembaga mahasiswa yang ada kian menurun dari tahun ke tahun.
Ifo, ketua HMPSD III Perpin, mengatakan BEM selama ini kurang eksis. Program advokasi BEM untuk mahasiswa masih kurang. Menurutnya, BEM kurang peka terhadap isu-isu yang berkembang di kampus.
“Katanya ada isu kenaikan biaya pendidikan tuh.. Tapi nyatanya sepi-sepi aja kan? Ya, nggak tahu kalau ternyata BEM udah mengonsep…,” ungkapnya.
Ifo juga menambahkan, “BEM kalau dikatakan nggak eksis, ya emang nggak eksis. Sastra yang katanya reformis ternyata juga dalam acara-acara tertentu biasa-biasa saja,” tambahnya.
Benarkah melemahnya gerakan BEM FS karena masih adanya “Paradigma Kesetaraan” di kalangan lembaga kemahasiswaan di Fakultas Sastra?
“BEM sebagai kekuatan utama di Sastra seharusnya bisa mengakomodir UKM-HMJ yang dinaunginya. Menurutku BEM selama ini hanya bekerja sesuai programnya saja. Akibatnya antara BEM dan UKM-HMJ seperti berjalan sendiri-sendiri,” ucap Ifo.
“Kalau BEM tidak mengadakan pertemuan-pertemuan dengan UKM-HMJ, aku rasa FUH (Forum UKM-HMJ/HMPSD, Red) masih tetap perlu. Tapi kalau BEM sudah berkomitmen untuk melakukan itu, aku rasa itu sudah mewakili karena legitimasi BEM pun lebih kuat daripada FUH…,” tambahnya sambil tersenyum.

FORUM UKM-HMJ/HMPSD atau yang lebih dikenal FUH dibentuk tahun 2002 atas dasar kebutuhan untuk mewadahi komunikasi antar-UKM dan HMJ/HMPSD Fakultas Sastra. Kegiatannya, mengadakan pertemuan-pertemuan antar UKM-HMJ/HMPSD yang diwakili oleh masing-masing ketua.
Lembaga ini tidak bersifat formal. Begitu juga pertemuan yang diadakan bersifat kondisional. Artinya, kalau dirasa perlu, maka akan kumpul. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Arif Gunawan Sulistiyono, mantan pemimpin umum Hayamwuruk. Arif adalah salah satu pemrakarsa FUH. Andri Indradi, mantan ketua Teater EMKA, ditunjuk sebagai koordinator FUH yang pertama.
Mulanya, organisasi itu hanya menjadi wadah komunikasi. Namun, setelah kemudian berjalan, FUH memainkan peran politik kampus. Menurut Arif, langkah itu diambil ketika BEM dan Senat Mahasiswa tidak berfungsi.
“Sekarang begini. Kalau BEM nggak jalan, yang akan menegur adalah Senat. Nah, kalau Senat dan BEM nggak jalan, siapa yang akan menegur keduanya. Lalu siapa dong yang akan menjalankan fungsi student government di kampus Sastra? Makanya harus ada wadah dari mahasiswa, salah satunya seperti FUH ini,” jelasnya.
Dalam Kongres Mahasiswa yang diadakan tanggal 18-19 Oktober 2004, keberadaan FUH dipertanyakan. Perdebatan berlangsung alot. Sebagian peserta sidang tidak sepakat dengan konsep FUH karena akan mencaplok kerja senat sebagai pengontrol lembaga Eksekutif, yakni BEM.
Sementara, peserta sidang yang lain tak mau kalah. Menurutnya, meski konsep tersebut tak ada dalam konsep pemerintahan mana pun, keberadaan FUH tetap diperlukan. Alasannya, kondisi Sastra memang berbeda dari kampus yang lain. BEM dan Senat toh juga bukan lembaga tanpa cacat yang haram dikritik.
Akhirnya, dicapai kesepakatan. FUH tetap ada dalam struktur lembaga kemahasiswaan di Sastra. Posisinya dengan BEM dan Senat Mahasiswa digambarkan dengan garis koordinator. Dengan demikian, FUH tak berhak membubarkan BEM atau Senat. Begitupun juga sebaliknya, BEM dan Senat tak dapat membubarkan FUH.
Dengan garis koordinasi, bukan garis komando, ketiganya mempunyai posisi yang sama dalam struktur lembaga kemahasiswan di Sastra. Tak salah satu pun mempunyai wewenang untuk mengatur. Ketiganya saling berkoordinasi di lapangan. BEM sebagai lembaga eksekutif menjalankan programnya; Senat sebagai lembaga yudikatif menyoroti kerja BEM dan memberi sanksi atau peringatan bila ditemukan pelanggaran; dan FUH berhak menyampaikan aspirasinya kepada BEM dan Senat, dan melaksanakan program kerjanya sesuai bidang dan keahliannya masing-masing.

GAGALNYA BEM yang dulu ditengarai karena kurangnya koordinasi antar anggota. Banyak anggota yang kurang aktif dan kurang bertanggung jawab terhadap tugas-tugasnya. Akibatnya BEM berjalan tanpa kendali.
Menurut Karel, hal yang sangat berpengaruh terhadap kinerja anggotanya salah satunya adalah ketersediaan sarana dan prasarana. Oleh karena itu, pengadaan komputer dan prasarana lainnya diharapkan bisa memberi semangat untuk bekerja. Masalah lainnya adalah anggota sibuk dengan urusannya masing-masing. Untuk mengantisipasi ini, BEM menjadwalkan untuk mengadakan rapat rutin sebulan sekali.
“Saya bisa ngomong seperti ini karena saya juga dulu termasuk anggota BEM,” ungkapnya..
Saat ini, BEM telah menyediakan kotak saran dan kritik yang dipasang di depan kantornya. Hal ini bertujuan untuk menampung saran dan kritik yang ditujukan kepadanya. Selain itu, langkah tersebut juga bermaksud untuk menghindari kesan bahwa BEM tertutup dan eksklusif.
Secara struktural, kepengurusan BEM kali ini tidak banyak berubah. Kalau dulu terdapat tiga departemen, yakni Penalaran, Kebijakan dan Pelayanan, sekarang hanya dua departemen. Departemen kebijakan dan pelayanan digabung menjadi satu.
Mengenai keberadaan kampus Sejarah dan Kearsipan yang terpisah di Tembalang, Karel mengaku tak ada hambatan.
“Selama ini koordinasi tidak ada masalah. Pengurus BEM yang ada di sana juga aktif mengikuti rapat rutin di sini (kantor BEM yang ada di kampus Pleburan, Red).”
Ditengah ketidakpercayaan sebagian pihak akan kinerja BEM, dengan wajah BEM yang baru ini, Karel merasa yakin akan bisa mengangkat kembali nama baik BEM di mata mahasiswa.
“Saya tahu, sampai sekarang pun pandangan miring terhadap BEM masih sering terdengar. Tapi, kami terus berusaha sebaik mungkin,” ucapnya. ***

5 thoughts on “Tak Luput Dari Kritikan

  1. Great work!
    [url=http://gqoggcce.com/aazn/pzbu.html]My homepage[/url] | [url=http://awvkjepm.com/yuhz/nzno.html]Cool site[/url]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top