Kebebasan pers bukan kebebasan tanpa batas, tapi kebebasan yang bertanggungjawab.
Suatu malam ketika orang-orang tengah tidur, terdengar suara gaduh dari salah satu rumah penduduk. Wuaaaaa, huaaaa, horeeee……!!! Ternyata di dalam rumah itu beberapa orang tengah asik menyaksikan pertandingan sepak bola di layar kaca.
Anda bisa membayangkan bagaimana reaksi tetangga sekitar? Terganggu, terusik kenyamanan beristirahatnya oleh tetangga yang tengah asik nonton sepakbola itu.
Nah, itulah yang tengah terjadi akibat pemuatan kartun Nabi Muhammad oleh Jelliyand Posten, salah satu media massa di Denmark. Kartun itu dimuat pada bulan September 2005. Kemudian gambar itu juga dimuat oleh media-media di Eropa.
Ada 12 gambar karikatur yang dimuat di situsnya. Diantara gambar itu, Nabi Muhammad memakai surban bom yang telah siap meledak.
Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, MA., guru besar Ilmu Hadits Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, mengatakan, dalam Islam sebenarnya visualisasi diperbolehkan. Menggambar juga diperbolehkan, asalkan itu menyampaikan ajaran, dan tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran islam. Menulis juga diperbolehkan asalkan menyampaikan kebenaran.
“Bahkan seorang penulis yang menyampaikan kebenaran pahalanya lebih tinggi dari oarang yang mati dalam perang membela agama Alloh, “tambahnya.
Menurut Erfan ada beberapa jenis gambar. Gambar Nabi Muhammad yang dimuat oleh media Denmark itu tergolong gambar karikatur. Gambar karikatur biasanya digunakan untuk mengejek. Menyentil, isu-isu yang lagi hangat. “Tapi dalam islam, gambar untuk mengejek orang lain itu tidak boleh, “ terangnya.
Nabi juga tak pernah dilukiskan secara utuh. Misalnya, dia tidak terlalu tinggi tapi juga terlalu pendek. Dia tidak terlalu putih tapi juga tidak terlalu hitam. Dia pemaaf meski telah dihina oleh orang lain. Dia adalah sosok yang sempurna, ahsanal huluqon.
“Ada satu gambar yang sebenarnya agak menghibur. Nabi dilukiskan sedang menggembala kambing. Tapi kakinya dilukiskan besar-besar, “ungkapnya.
Dia memahami kemarahan umat Islam, karena Nabi yang dimuliakannya dihina oleh orang lain. Menurutnya gambar Nabi memakai sorban bom itu, adalah penghinaan. Padahal, Nabi sendiri adalah sosok yang tidak boleh dilukiskan. Dia hanya dilukiskan sepotong-potong.
Ada satu kisah, seorang buta yang tiap hari disuapi oleh Nabi. Ia bertanya pada sahabat Abu Bakar. “Apakah kamu tahu orang yang menyuapiku sebelum kamu. Dia halus sekali menyuapinya, tak seperti kamu. Aku juga ingin tahu siapa itu Muhammad.”
“Orang yang tiap hari kamu caci maki dan orang yang menyuapimu itu adalah Muhammad, “ jawab Abu Bakar.
Seketika itu juga dia mengucapkan dua kalimat sahadat, dan kemudian masuk islam.
****
Pagi menjelang siang, berkerumun puluhan mahasiswa di PKM Joglo Undip, Jalan Imam Bardjo SH nomor 2 . Sebagaian besar adalah para pegiat pers mahasiswa. Di tengah-tengah mereka, duduk lesehan diatas karpet warna hijau, lima orang yang berusia tak lagi muda. Warna putih telah memenuhi sebagaian kepala mereka.
Tapi, orang-orang tua yang berada di tengah anak-anak muda itu tampak mengobrol dengan akrab. Cair dan mengalir. Dari sebelah kanan, Drs. Darmanto Jatman, SU, budayawan; Prof. Dr. H.M. Erfan Soebahar, MA., guru besar Ilmu Hadits Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang; Prof. Sudharto, Phd.; Sosiawan, Pemimpin Redaksi Koran Sore Wawasan, dan Dr. Turnomo Rahardjo, dosen ilmu komunikasi Undip.
Prof Sudharto memandu jalannya diskusi “Kebebasan Berekspresi dan Agenda Setting dalam Media” yang diselenggarakan oleh LPM Manunggal, Undip, Sabtu (25/2). Keempat pembicara bicara bergantian.
Darmanto Jatman mengatakan, orang sekarang menggunakan kecerdikan untuk mengakali kebebasan demi mencapai tujuan. Ia menyayangkan kebebasan yang telah diperoleh itu tidak digunakan untuk kemajuan. “Kita sekarang punya kebebasan, maka gunakan kebebasan yang cerdas, “tegasnya.
Darmanto menambahkan, saat ini yang dibutuhkan adalah spiritual etis, yakni kualitas spiritual yang bermutu. Maka kecerdasan yang lebih spiritual yang akan dihitung. Yakni kecerdasan untuk membantu orang lain. Bukan kecerdasan material.
Mengenai pemuatan karikatur Nabi Muhammad SAW di koran Jyllands-Posten Denmark beberapa waktu lalu, menurut budayawan yang juga pendiri Fakultas Psikologi Undip itu tidak berhubungan dengan kebebasan pers.
Dia menduga, pemuatan karikatur Nabi itu sebagai alat untuk memancing kemarahan Muslim Syiah Irak yang selama ini melakukan perlawanan terhadap Amerika. Oleh sebab itu, dia berharap agar para pelaku pers bisa mempertanggungjawabkan kebebasan yang telah diberikan.
Sementara Turnomo Rahardjo mengatakan, orang dulu menilai pers sebagai cermin dari realita. Media sebagai value leader. Sekarang orang harus berubah. Pers adalah institusi yang sarat kepentingan, tidak bebas nilai. Setiap media memiliki ideologi yang diperjuangkan.
Ia mencontohkan pemberitaan media tentang konflik Ambon. Harian Republika menurunkan laporannya dengan judul “Pasukan Jihad Melawan Perusuh Kristen”, sementara media yang lain membuat judul “Teroris Melawan Umat Kristen”.
Republika adalah harian nasional yang lebih gencar dalam memberitakan persoalan seputar Islam. Dalam pemberitaannya harian itu tampak berpihak pada Islam. Ini bisa dipahami karena harian tersebut secara historis dibentuk oleh kelompok muslim. ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia) turut andil didalamnya.
Turnomo Raharjo memberikan contoh pemberitaan di harian Suara Merdeka, koran lokal Jawa Tengah dengan mottonya “Perekat Komunitas Jawa Tengah”. “Kalau PSIS menang, pasti akan muncul di headline Suara Merdeka. Tapi kalau PSIS kalah, tidak ada di headline, “ katanya.
***
Bagaimanapun juga, kebebasan pers mutlak diperlukan karena sebagai indikator sebuah negara demokrasi. Tapi kebebasan itu juga harus diiringi dengan tanggungjawab jurnalis.
Yang perlu dipertanyakan pada media apakah informasi yang disampaikan itu accountable, variable, truthful. Accountable, berita itu dapat dipertanggungjawabkan; veriable berita tersebut bisa diverifikasi dan sekaligus sebagai ruang publik, truthful berita tersebut menyampaikan kebenaran.
Mengenai pemuatan karikatur di media Denmark dan Eropa tersebut, Turnomo menduga ada agenda tersembunyi. Oleh karena itu, menurutnya cara pandang masyarakat sekarang harus berubah. Media bukan sebuah institusi yang memantulkan apa adanya. Tapi media punya banyak kepentingan.
Sosiawan, pemimpin redaksi koran sore wawasan, mengatakan apa yang disampaikan media bukan fakta, tapi fakta yang bisa direduksi. Media sekarang tidak berwajah tunggal. Maka jangan digeneralisasi. Media yang mana dulu. “Saya sering membantah pendapat Pak Novel Ali (dosen Komunikasi Undip, Red) yang mengatakan semua media sekarang tidak bertanggungjawab, media yang mana dulu, jangan digeneralisir, “ katanya.
Ia juga sependapat bahwa kebebasan mutlak diperlukan oleh pers. Pers menurutnya memiliki fungsi edukasi, kontrol sosial, dan menghibur. Pemaknaan kebebasan yang tidak tetap itulah yang sering menimbulkan masalah.
Menurutnya baik pers umum maupun pers populer bekerja atas keinginan pasar. “Secara teoritis, jualan seks, jualan konflik, jualan mistik, akan laku, “katanya. Namun demikian, masyarakat bisa menilai mana pers yang berkualitas.
Tim Redaksi
Baca berita terkait:
Maaf Telat Tuan Karikatur Barat