![](https://lpmhayamwuruk.org/wp-content/uploads/2006/06/download2B2-1.jpg)
Setelah lama menunggu, akhirnya surat ijin dari Dikti itu tiba juga.
Oleh Wiwik Hidayati
Reporter Rose KR, Nila Diana W
Oleh Wiwik Hidayati
Reporter Rose KR, Nila Diana W
Tabloid Hawe Pos, Edisi 14/Mei/2006
Rubrik Akademika
Rubrik Akademika
SURAT itu bernomor 3025/D/T/2005. Bermodal surat ijin dari Dirjen Pendidikan Tinggi (Dikti) tersebut, Fakultas Sastra (FS) dapat segera membuka jurusan S1 Ilmu Perpustakaan. Karena surat itu baru turun pada akhir Agustus 2005, mau tidak mau FS harus menunggu setahun kemudian untuk pembukaan jalur reguler. Hal ini karena penerimaan mahasiswa baru jalur reguler harus melewati ujian Penerimaan Mahasiswa Baru, yang pelaksanaannya jatuh pada sekitar bulan Juni setiap tahunnya.
Namun demikian, pihak fakultas tak kehabisan akal. Masih ada cara lain untuk mengawali pembukaan jurusan tersebut di tahun yang sama. Maka ditempuhlah pembukaan jalur khusus yang dikelola oleh fakultas secara langsung tanpa melibatkan birokrasi pemerintah. Jalur khusus ini diperuntukkan bagi mahasiswa lulusan DII atau DIII.
SUATU hari, Fatma Maulidiyah, alumni DIII Perpustakaan dan Informasi Universitas Diponegoro (Perpin Undip) lulusan tahun 2003, mendapat telpon dari Fakultas Sastra. Ia diberitahu bahwa FS Undip membuka jurusan SI Ilmu Perpustakaan jalur khusus, tahun 2005 lalu.
Waktu itu, Fatma telah bekerja di Perpustakaan Yayasan Pendidikan Islam (YPI) Nasima Semarang. Meski demikian, informasi dari fakultas memberinya angin segar. Niat untuk melanjutkan ke jenjang S1 sebenarnya telah lama terpendam. Oleh karena itu, akhirnya ia memutuskan untuk kuliah lagi dan cuti sementara dari tempat kerjanya sampai kuliahnya rampung.
Apa yang mendorong Fatma untuk melanjutkan kuliah lagi? “Saya pengen mengembangkan keilmuan dan menerapkan apa yang saya dapat di lingkungan kerja, “ tuturnya. Ia pun tak menampik jika alasan yang lain demi kenaikan pangkat dan gaji.
Selain Fatma, ada Nunu (bukan nama sebenarnya) yang kuliah lagi karena biaya dari perpustakaan daerah Semarang, tempatnya bekerja. Ia tak tahu tentang pembukaan itu. Ia hanya menjalankan apa yang telah ditugaskan di tempat kerjanya tersebut.
MINGGU kedua bulan September 2005, perkuliahan di Fakultas Sastra mulai aktif. Mahasiswa S1 Ilmu Perpustakaan jalur khusus masuk kuliah layaknya mahasiswa ekstensi. Mereka kuliah dari pukul 15.00 WIB hingga 20.00 WIB. Dari hari Senin sampai Jumat. Ruangan yang sering dipakai adalah RG, terletak di dekat lapangan sepakbola Fakultas Ekonomi; juga RB 5 dan RB 6, ruangan yang ada di lantai dua kompleks Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM).
Adapun dosen pengampu banyak diambil dari DIII Perpin. Menurut pengakuan Drs Mudjid F Amin, S1 Perpustakaan belum memiliki dosen pengampu. Ia sendiri juga mengajar di DIII Perpin. “Kalau SDM dosen, karena mengambil dari DIII Perpin, saya kira semua program studi mempunyai pengalaman yang sama saat pertama kali membuka sebuah program studi,” kilahnya.
Sedangkan kantor jurusan SI Ilmu Perpustakaan terdapat di pojok dekat ruang jurusan SI Inggris. Ruangan itu berukuran sekitar 2 X 5 meter. Sebelumnya merupakan ruang Kajian Budaya Jurusan Sastra Indonesia.
Dengan ruang dan dosen seadanya, muncul kesan pembukaan jurusan S1 Perpin kurang matang. Menanggapi hal ini, Dra Chusnul Hayati, Pembantu Dekan I, berkata, “Kalau ada komentar pembukaan S1 Perpin cenderung dipaksakan mungkin ada benarnya. Tapi, tidak sepenuhnya demikian karena tuntutan masyarakat yang sangat mendesak”.
Chusnul kemudian bercerita tentang desakan dari Perpustakaan Nasional Jakarta serta Perpustakaan Wilayah. Bahkan katanya, perpustakaan yang ada di Malang meminta secara langsung atas pembukaan jurusan tersebut.
Dra Sri Ati M Si, ketua Jurusan S1 Ilmu Perpustakaan, memberikan alasan lain. “Kalau dari lintas jalur itu karena mereka sudah meminta, dan terutama karena ada kerjasama dengan instansi terkait dengan Perpustakaan Nasional. Itu sudah kita jalin sejak dua tahun sebelumnya. Mereka itu sudah mengoyak agar uangnya itu tidak musnah.”
Ia menambahkan, saat ini ada empat mahasiswa dari Perpustakaan Nasional. Jumlah dari keseluruhan mahasiswa ada 39 orang. Dari jumlah itu, hanya satu orang yang fresh graduate, selebihnya dari instansi.
Sudah cukup puaskah mahasiswa dengan pelayanan pihak jurusan?
Seperti yang dikatakan Nunu, fasilitas jurusan S1 Perpustakaan kurang memuaskan. Ia mencontohkan ruang kuliah yang tidak representatif. Kaca pecah-pecah dan ruangan pun panas. “Harusnya fasilitas belajar lebih diperhatikan lagi. Jangan karena mau pindah ke atas jadi dibiarkan seperti ini. Saya sedih nggak ada renovasi,” katanya.
Selain itu, ia berkomentar tentang dosen yang kurang berkualitas dan matakuliah yang sebenarnya sudah ia pelajari di DIII dulu. Nunu adalah lulusan DIII Perpustakaan di Universitas Padjajaran. “Harusnya studi banding dulu ke jurusan perpustakaan yang lebih maju,” tambahnya, kesal.
Ia mencontohkan beberapa matakuliah yang menurutnya rancu. Ada organisasi informasi yang seharusnya bisa tiga matakuliah, tapi di sini hanya ada dua. Selain itu adalah matakuliah layanan anak, dewasa, dan berkala, seharusnya bisa dijadikan satu, tapi di sini di pecah-pecah. Dan yang seharusnya ada tapi tidak ada adalah matakuliah teknologi media.
Meski sebenarnya Fatma juga menyayangkan fasilitas yang memprihatinkan, tapi ia tidak terlalu mempermasalah-kan hal itu. “Fasilitas bisa terpenuhi sambil jalanlah,” ungkapnya.
Fatma menceritakan pengalaman kuliahnya yang kurang mengenakkan. Suatu hari mahasiswa-mahasiswa S1 Ilmu Perpustakaan sedang ujian di suatu ruangan. Tiba-tiba saja ada mahasiswa lain datang dan mengatakan bahwa mereka akan kuliah di ruang itu, sesuai yang tercantum di jadwal. Dengan terpaksa ia dan teman-temannya pindah ke ruang lain. Pengalaman lain, mereka harus praktek komputer di laboratorium komputer Fisip dengan biaya sendiri. Biaya ini memang keinginan mereka karena tidak ingin berbelit dengan birokrasi yang rumit.
Melihat hal itu, Khomsanah, mahasiswi Sastra Indonesia 2002, berpendapat, ”Mengingat fasilitas cenderung seadanya, harusnya dipikirkan lebih matang. Nek dipaksake opo iso maksimal? (Jika dipaksakan apa bisa maksimal?)”. Khomsanah menambahkan, mahasiswa DIII Perpin harusnya mengaplikasikan ilmunya di perpustakaan sastra.
DARI beberapa kekurangan yang telah disampaikan, seberapa pentingkah pembukaan S1 Perpustakaan FS Undip? Ada banyak alasan untuk menjawab pertanyaan itu. Pertama, “Karena memang di Semarang belum ada perguruan tinggi yang membuka (jurusan) Perpustakaan, sehingga Fakultas Sastra memelopori mendirikan studi perpus yang mula-mula DIII,” kata Chusnul.
Alasan kedua, perlunya memberikan kesempatan bagi para lulusan DIII untuk mengikuti studi ke jenjang SI. Baginya, ujung tombak kualitas perguruan tinggi ditentukan oleh perpustakaannya. Karena perpustakaan merupakan sumber ilmu, informasi, sumber data untuk kepentingan studi mahasiswa, maka perpustakaan harus baik.
Sementara Sri Ati mengatakan, “Yaa..untuk menghasilkan pustakawan yang qualified, ikut menyumbangkan tenaga dan pikiran untuk membenahi perpustakaan”.
Terlepas dari segala kekurangan itu, lahirnya SI Ilmu Perpustakaan membawa kabar baik bagi mahasiswa DIII Perpin yang ingin melanjutkan ke jenjang S1. Ataupun mahasiswa lainnya yang ingin lebih mendalami ilmu perpustakaan. Dan seharusnya kita tidak perlu khawatir dengan kondisi perpustakaan FS mendatang karena ada sebuah jaminan untuk menjadi lebih baik. Kita lihat saja buktinya.****