Ketika pengarang perempuan muncul, benarkah pengarang laki-laki telah mati?
Oleh Sundari Dewi Ningrum
Reporter: Sundari Dewi Ningrum, Elisya Budiawati
Tabloid Hawe Pos, Edisi 14/Mei/2006
Rubrik Reporter Dari Lapangan
Reporter: Sundari Dewi Ningrum, Elisya Budiawati
Tabloid Hawe Pos, Edisi 14/Mei/2006
Rubrik Reporter Dari Lapangan
SUATU hari di akhir tahun 1990-an, Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan lomba penulisan fiksi. Bertindak sebagai juri adalah Sapardi Djoko Damono, Budi Dharma, dan Maman S Mahayana. Dari banyaknya naskah yang masuk, sampailah proses pemilahan dan pemutusan tiga karya terbaik. Dalam proses penilaian karya tersebut, sebelumnya juri tak pernah tahu siapa pengarangnya.
Setelah memutuskan tiga tulisan terbaik dan mencari tahu sang penulis, para dewan juri tersentak. Tiga-tiganya ditulis oleh perempuan! Keluar sebagai fiksi terbaik adalah Saman karya Ayu Utami.
Dari peristiwa itu, Sapardi berpendapat bahwa perempuan pengarang telah bangkit. Ia kemudian menyampaikan pendapatnya itu di beberapa media. Dunia sastra Indonesia seketika itu juga menjadi heboh. Ada yang mendukung, namun tak sedikit pula yang menentang. Salah satu yang menolak adalah Saut Sitomurang, redaktur Cybersastra, salah satu komunitas sastra di internet.
Sama seperti Sapardi, Saut tak tinggal diam dengan sikap penolakannya itu. Ia mengemukakan pendapatnya di berbagai media. Pendapat Saut ini juga ramai diperbincangkan di beberapa mailing list (milis) sastra. Keadaan menjadi semakin heboh. Tampak persetaruan antara daerah dan pusat, antara Jakarta dan Yogyakarta, yang diwakili oleh Sapardi Djoko Damono dan Saut Sitomurang.
Sesaat kemudian, para pembicara telah duduk di sofa, mengapit moderator yang berada ditengah-tengahnya. Di sebelah kiri moderator, adalah Sapardi Joko Damono, dan IM Hendrarti. Sementara di sebelah kanan, ada Saut Sitomurang, Tamara Geraldine dan Sitok Srengenge.
Dalam pembukaan pagi itu, Redi mengemukakan pendapat Sapardi bahwa masa depan sastra Indonesia berada di tangan perempuan. Sempat disebut nama-nama pengarang perempuan seperti, Ayu Utami, Djenar Maesa Ayu, Linda Christanti, juga Tamara Geraldine.
Sapardi mendapat kesempatan mengemukakan presentasinya paling awal. Ia tetap kukuh dengan pendapatnya yang telah banyak menuai protes tersebut. Ia mengatakan, pengarang perempuan sekarang sudah mulai ambil bagian. Jumlahnya tidak hanya satu-dua orang. Tapi puluhan, atau bahkan lebih. Beberapa karyanya ternyata jauh lebih baik dari karya pengarang laki-laki.
Pendapat Sapardi itu berangkat dari pengalamannya sewaktu menjadi juri lomba penulisan fiksi di DKJ. Itu bermula ketika Novel Saman karya Ayu Utami memenangi lomba penulisan fiksi DKJ pada tahun 1998, bersama dua pengarang perempuan lainnya yang juga masuk sebagai tiga karya terbaik pilihan dewan juri.
Menurut Sapardi, seperti dalam makalahnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi banyaknya perempuan pengarang dalam perkembangan karya sastra satu dekade ini. Yang tadinya pada tahun 1960-an hanya beberapa penulis perempuan, kini bersamaan dengan terbitnya majalah-majalah wanita, penulis perempuan pun sudah mencapai belasan, bahkan mungkin puluhan. Ternyata penjualan majalah-majalah wanita tersebut cukup tinggi. Bisa melebihi penjualan majalah umum. Dan itu membuktikan bahwa kaum hawa juga membutuhkan hiburan.
Usai Sapardi, IM Hendrarti menjelaskan maksud dari makalahnya yang berjudul “Bila Seorang Perempuan Membaca Perempuan”. Hendrarti membuka makalahnya dengan mengutip pengatar dari sebuah novel yang berjudul Wajah Sebuah Vagina yang ditulis Naning Pranoto, di mana interprestasi tentang tubuh dan darah perempuan bernama Sunarti memberi inspirasi dan spirit bagi Naning, si penulis novel.
Menurutnya cara pengarang laki-laki dan perempuan memandang tentang persoalan perempuan berbeda. ”Ketika pria menulis mengenai wanita, maka ia akan menulisnya sebagai objek dan tidak sama seperti yang dilakukan penulis wanita,“ ungkapnya.
Ia juga menganjurkan cara membaca karya sastra yang lain kepada para hadirin. Dari cara membaca yang lain inilah akan ditemukan makna-makna baru. Hal ini penting agar tidak terjadi penafsiran tunggal dalam membaca karya sastra.
Tapi Saut membantah pendapat yang disampaikan oleh Sapardi dan Hendrarti. Ia menolak penilaian Sapardi bahwa Saman karya Ayu Utami sebagai novel terbaik. Menurutnya banyak kesalahan dalam novel Saman. Ia mencatat beberapa bagian yang luput dari editor. Dan Ia juga keberatan jika nama Ayu Utami seolah-olah dibesar-besarkan, sementara masih banyak penulis perempuan lain yang karyanya jauh lebih bagus.
Ia juga keberatan dengan analisa-analisa yang disampaikan oleh para feminis Indonesia. Ia memandang feminis Indonesia sering mengambil teori feminisme secara sepotong-sepotong, dangkal, dari feminis Barat, terutama dari Perancis. Padahal keadaan perempuan Indonesia berbeda dengan keadaan perempuan Perancis. Mereka lupa bahwa Indonesia berada pada era pasca-kolonial. Itu artinya, persoalan perempuan di Indonesia berbeda dengan persoalan yang dihadapi perempuan Barat. Kemudian ia balik mengajukan pertanyaan, lantas di mana unsur universalitas perempuan itu, kalau memang ada?
Sitok Srengenge, yang mewakili penerbit, mengemukakan bahwa sastra tidak bediri sendiri. Ia merupakan bagian dari sistem sosial. Selain itu, keberadaan perempuan dalam penerbitan sebenarnya masih bergantung pada laki-laki. Kebanyakan editor di media, menurutnya, masih dipegang oleh laki-laki.
Para pemodal penerbitan juga masih didominasi oleh laki-laki.
“Dengan demikian, keberadaan perempuan dalam konteks penerbitan masih bergantung pada kemurahatian kaum laki-laki. Editor, penerbit, pemodal masih didominasi laki-laki. Coba kalau mereka sampai jengkel gara-gara pengarang laki-laki dianggap telah mati dan mereka berhenti menerbitkan karya perempuan, maka mampuslah para pengarang perempuan, mereka mau apa?” jelas Sitok.
Mengenai novel Saman yang laris, menurut Sitok, tak luput dari jasa penerbit dan percetakan. Kualitas suatu karya tidak menjamin kelarisan buku tersebut. Yang lebih menjamin adalah strategi pemasaran yang bagus.
“Jadi apakah buku Ayu Utami baik, karena laris? Tidak benar! atau karya Linda Christanty yang banyak dibicarakan di diskusi-diskusi, tetapi tidak laku?” katanya.
Selain itu, Sitok menduga ada faktor lain yang menggerakkan suatu buku bisa laris di pasaran. Karya Pramoedya Ananta Toer dulu kurang laku. Namun setelah era reformasi, karyanya banyak diburu orang. “Ada dugaan, larisnya buku Pram ini karena momentum reformasi. Orang-orang menjadi penasaran ingin tahu karya-karya Pram yang dulu sempat beberapa kali dilarang ketika masa Orde Baru. Bisa jadi karya Ayu Utami ini melejit juga karena momentum itu,” paparnya.
Tamara Geraldine tak banyak bicara. Saat gilirannya bicara, ia berkata demikian. “Saya bingung. Sebenarnya apa yang dibicarakan dari tadi, bagi saya tak ada masalah. Saya nulis karena memang pengen nulis.” Ia mengeluh,.jika yang dibicarakan karya Ayu Utami, kenapa dirinya yang diundang.
“Karya saya juga baru satu. Tapi laris. Bukan karena bagus, tapi karena yang nulis artis. Nah inilah yang membuat saya pusing, bapak-bapak dan ibu-ibu. Karya saya tak dibaca oleh bapak ibu dosen sekalian,” ungkapnya, polos.
Pengakuan Tamara itu, langsung mendapat aplaus dari para hadirin. Namun sebagian tampak melongo, terheran-heran dengan jawaban yang keluar dari bibir mungil sang artis itu. “Kok bisa orang kayak gini diundang di forum seperti ini. Panitia nggak serius,” gerutu pria berkacamata yang berada di barisan belakang.
Hendrarti mengatakan ada kesalahpahaman yang ditangkap oleh Saut mengenai uraiannya. Hendrarti mengaku tak hendak menyamakan perempuan Barat dengan perempuan di Indonesia. Ia lebih banyak mengambil contoh karya Sastra Barat, dalam hal ini Sastra Inggris, karena itu yang menjadi bidangnya.
Ia menambahkan, persoalan yang disampaikan dalam karya sastra juga bisa terjadi pada siapapun. Yang bisa menghubungkan adalah nilai-nilai universal itu. Nilai ini sangat luas. Bisa berupa perlawan terhadap ketidakadilan, penindasan dan lain-lain. Dan ini bisa dialami oleh siapapun.
Pada kesempatan sesi tanya-jawab berikutnya, Sapardi mengklarifikasi bahwa ketika pengarang perempuan muncul, pengarang laki-laki tidak tenggelam. Para pengarang laki-laki itu masih ada.
Lalu mengapa di kain yang terbentang di belakang pembicara itu diantaranya disebutkan pengarang telah mati?
“Hebatnya acara ini dimana? pengarang mati? Genit sekali panitia. Nggak ada sesuatu yang heboh. Saya sebagai peserta merasa menjadi korban. Jadi, tak perlu dibesar-besarkan kalau memang tidak ada. Lagian kenapa kalau yang dibahas Ayu Utami, tapi dia sendiri tidak dihadirkan di sini. Saya menduga ini ketakutan para laki-laki,” ucap Aulia Muhammad, wartawan Suara Merdeka, yang juga alumni dari FS Undip.
Acara yang diadakan untuk memeringati ulang tahun ke-3 Magister Susastra Undip di Gedung Prof Soemarman selesai sudah. Sebagai penutup, Saut menanggapi komentar Aulia itu. ”Nggak ada yang heboh memang. Tapi kan tetap konstektual. Harusnya bukan laki-laki pengarang, tapi pengarang laki-laki, “ pungkasnya. ****