Jurnalisme Sastrawi, Narasi Bernasib Malang

Oleh Norma Atikasai

Tabloid Hawe Pos Edisi 14/Mei/2006

JURNALISME SASTRAWI, Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, adalah sebuah buku yang berisi mahakarya jurnalistik para wartawan Indonesia. Buku ini diterbitkan oleh Yayasan Pantau, berisi delapan kumpulan narasi yang beragam, dari cerita wartawan sampai teroris, dari Aceh sampai Ambon, dari Lhokseumawe sampai Manhattan. Semuanya diambil dari majalah Pantau antara edisi 2001 dan 2004.

Majalah Pantau adalah media Indonesia pertama yang menegaskan Jurnalisme Sastrawi (Literary Journalism) sebagai genre penulisannya. Sebuah genre dari hasil penggabungan disiplin paling berat dalam jurnalisme serta kehalusan dan kenikmatan bercerita dalam novel. Wawancara biasa dilakukan dengan puluhan, bahkan ratusan narasumber. Risetnya mendalam. Waktu bekerjanya lama, bisa berbulan-bulan. Ceritanya juga kebanyakan orang biasa.

Genre ini sekaligus menjadi jawaban media cetak atas kemajuan media elektronik. Televisi, radio, dan internet setiap saat dapat menyampaikan berita secara cepat. Mereka juga didukung oleh kemampuan merekam secara audio-visual. Praktis, hari ini orang mendapatkan Breaking News dari media elektronik. Kondisi ini mau tak mau mendesak media cetak untuk berinovasi.

Jelas, suratkabar tak mampu bersaing dengan media elektronik, terutama dalam hal kecepatan menyampaikan berita. Namun media elektronik sulit bersaing dengan media cetak dalam hal kedalaman berita. Suratkabar bisa berkembang bila ia menyajikan berita yang dalam dan analitis. Hal inilah yang bisa dimanfaatkan oleh media cetak agar tidak ditinggalkan oleh pembacanya oleh karena pesatnya kemajuan media elektronik.

Genre ini pertama kali diperkenalkan oleh Tom Wolfe, wartawan cum novelis, sekitar tahun 1960-an di Amerika Serikat, ditandai dengan terbitnya antologi New Journalism.
Ada delapan naskah dengan komposisi yang seimbang yang dihadirkan dalam buku ini.

Kedelapan naskah itu adalah Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft oleh Chik Rini; Taufik bin Abdul Halim oleh Agus Sopian; Hikayat Kebo oleh Linda Chistanty; Konflik Nan Tak Kunjung Padam oleh Coen Husein Pontoh; Kejar Daku Kau Kusekolahkan oleh Alfian hamzah; Koran, Bisnis dan Perang oleh Eriyanto; Ngak-Ngik-Ngok oleh Budi Setyono; dan ditutup dengan karya Andreas Harsono, Cermin Jakarta, Cermin New York.

Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft yang ditulis Chik Rini menceritakan tragedi yang menewaskan banyak penduduk Aceh oleh tentara di simpang Kraft. Ditulis dengan apik dan runtut dari sudut beberapa pandang wartawan yang terlibat langsung dalam kejadian tersebut. Untuk menulis kejadian itu, Rini harus mencari kembali saksi-saksi yang sudah sulit terlacak keberadaannya. Ia mewawancarai banyak narasumber. Ia mengerjakannya dalam lima bulan. Dan hasilnya sangat memukau. Selain dimuat di Pantau, tulisannya juga diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat di Kyoto Review.

Taufik bin Abdul Halim bercerita tentang jejak petualangan terpidana kasus teror bom di Jakarta, yaitu Taufik bin Abdul Halim. Prosesnya pun tak jauh beda dengan narasi Chik Rini, membutuhkan waktu lama dengan narasumber yang banyak. Kerja seperti itu juga dilakukan oleh penulis lain sehingga hasil dari liputan mereka mendalam dan seimbang.

BERMULA dari iseng diskusi di sebuah mailing list (milis). Mengapa di Indonesia tak ada media di mana orang bisa menulis narasi secara panjang dan utuh? Mengapa jurnalisme sastrawi tak berkembang di kalangan wartawan, sastrawan, seniman, dan cendekiawan Indonesia?

Menurut Andreas Harsono, Ketua Yayasan Pantau, yang juga menulis dalam kata pengantar buku, genre ini tak berkembang di Indonesia karena tak ada media yang mau menyediakan tempat, uang, dan waktu untuk naskah yang panjang.

Keisengan itu ternyata mendapat reaksi. Diskusi pun berlanjut dari milis satu ke milis lain. Dari milis Institute Studi Arus Informasi (ISAI); Yosep Adi Prasetyo, Alip Kusnandar, Nirwan Dewanto, sampai Atmakusumah Astraatmadja; turut berkomentar.
Beragam tanggapan bermunculan. Ada yang optimis, ada juga yang pesimis bahwa genre ini bisa berkembang di Indonesia. Atmakusumah, Ketua Dewan Pers, mengatakan bahwa genre ini “tidak mungkin” berkembang di Indonesia. Pasalnya, kebanyakan media bermodal kecil atau sama sekali tidak berkeuntungan. Para pengasuhnya, termasuk wartawan, sangat sedikit jumlahnya.

Pertanyaan itu baru terjawab ketika Majalah Pantau terbit dengan kebijakan baru mulai Desember 2000-Februari 2001. Pantau dibawah manajemen ISAI mulai menerapkan sistem freelance. Hampir semua wartawan Pantau bekerja secara freelance. Selain itu, juga memakai byline, yakni penyebutan nama si penulis cerita di awal suatu laporan jurnalistik. Dan juga Firewall atau pagar api, berupa garis tipis yang dicetak diantara semua iklan dan semua berita untuk mempertegas antara berita dan iklan.

Pengharagaan terhadap kerja wartawan juga diperhatikan. Honorarium laporan ditetapkan Rp 400 per kata. Jumlah ini tergolong tinggi, bahkan untuk ukuran Jakarta. Apalagi liputan di Pantau relatif panjang. Tulisan “Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan” karya Alfian Hamzah mencapai 23.000 kata. Anda bisa hitung sendiri berapa honor satu tulisan!

Sejak Maret 2001, laporan demi laporan diterbitkan di majalah Pantau. Mulai dari liputan media hingga jurnalisme. Lengkap dengan adegan, karakter, byline, dan pagar api. Pada saat yang bersamaan, mulailah genre jurnalisme sastrawi ini diperkenalkan secara luas di Indonesia melalui penerbitan majalah Pantau ini.

BUKU JURNALISME SASTRAWI, Antologi Liputan Mendalam dan memikat ini, mendapat respon dari berbagai kalangan. Diantaranya adalah Maria Hartiningsih, wartawan senior di harian Kompas. Ia mengatakan dalam endorsement bahwa buku ini merupakan kumpulan prosa terbaik dan paling orisinil yang pernah ditulis oleh jurnalis Indonsia saat ini.

Tak ketinggalan Janet E Steele, profesor dari Universitas George Washington, juga turut memberikan apresiasinya. “Karya ini bukan cuma mewakili sesuatu yang baru dan menarik dalam jurnalisme di Indonesia, namun juga memenuhi panggilan mulia setiap wartawan: melayani warga, “ tuturnya.

Janet pada tahun 2005 lalu menerbitkan buku Wars Within: A Story of Tempo, an Independent Magazine In Soeharto’s Indonesia. Buku ini merupakan hasil risetnya atas media di Indonesia yang mengambil studi kasus Majalah Tempo. Ia sampai saat ini, minimal setiap satu semester sekali berkunjung ke Indonesia, mengajar Kursus Jurnalisme Sastrawi yang diadakan oleh Yayasan Pantau, yang sekarang beralamat di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Hingga Januari 2006, sudah tercatat angkatan ke-9.

Selain Janet dan Maria Hartiningsih, juga Endy Bayuni, Pimimpin Redaksi harian The Jakarta Post, juga memberikan komentar. Sang penerima Niewman Fellowship dari Universitas Harvard 2003-2004 ini mengatakan, “Gabungan yang terbaik dari jurnalisme dan yang terbaik dari sastra dapat menghasilkan tulisan nonfiksi yang kuat dan efektif… inilah buktinya.”

Namun sayang, Majalah Pantau, sang promotor jurnalisme-sastrawi di Indonesia kini tak terbit lagi. Betapapun hasil liputannya dipuji oleh banyak orang, tapi akhirnya tak mampu bertahan. Setelah ditutup oleh ISAI dan kemudian dihidupkan lagi oleh sejumlah kontributor, Majalah Pantau kembali mengulang kisah sedih. Ia hanya bertahan sampai tiga edisi karena pemasaran yang buruk dan investor yang dulu tertarik menanamkan modalnya, ternyata menarik diri hanya dengan kata “minta maaf”.

Benar yang dikatakan Atmakusumah. Media dengan genre ini sulit berkembang di Indonesia. Akhirnya, buku ini menjadi penyaksi bahwa genre jurnalisme-sastrawi setidaknya pernah hidup di Indonesia.

Buku ini sekaligus menjadi kenang-kenangan berharga yang patut dimiliki, tak hanya terbatas bagi kalangan jurnalis, tapi juga sastrawan, seniman, dosen, mahasiswa, maupun peneliti. Karena tak hanya berita yang dalam yang akan didapatkan tapi juga sebuah analisa yang kritis dan mendalam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top