Bagi Sapardi, menulis puisi adalah menciptakan dunia yang tidak masuk akal. Saat itu pula ia merasakan sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecilnya mulai hidup kembali dalam kata-kata.
Oleh Sundari Dewi Ningrum
Tabloid Hawe Pos Edisi 14/Mei/2006
Rubrik Ruang Sastra
Rubrik Ruang Sastra
RUANG sidang Fakultas Sastra Universitas Diponegoro (FS UNDIP) mulai lengang. Para mahasiswa S2 Ilmu Susastra berhamburan keluar meninggalkan ruang kuliah, yang hanya satu-satunya. Saat itu pukul 12.00 siang, ketika dua orang masih berada di ruang sidang. Mereka adalah Sapardi Djoko Damono, sastrawan sekaligus dosen luar biasa S2 Ilmu Susastra; dan Drs Rediyanto Noor MHum, Ketua jurusan S2 ilmu Susastra FS Undip.
Sapardi, nama yang tak asing lagi dalam dunia sastra Indonesia. Karya-karyanya banyak dan mudah sekali ditemukan di toko buku, perpustakaan, dan tempat-tempat buku lain. Sebutlah, Aku Ingin Mencintaimu dengan Sederhana, salah satu puisinya yang menyentuh jiwa.
Triyanto Triwikromo, cerpenis yang saat ini tengah melanjutkan studi di Magister Susastra, mengatakan bahwa sajak Sapardi membawa kesejukan. “Sajaknya jernih. Ibarat orang baru mandi, seger.” Menanggapi hal itu, Sapardi menjawab dengan bergurau. “Mungkin dia lagi kepanasan,” katanya sambil tersenyum.
Sitok Srengenge yang ditemui dalam acara Peringatan Ulang Tahun ke-3 Magister Susastra, berkomentar senada. “Bagus. Bagi saya, tampak begitu cerianya. Sapardi (jika) berbicara kemanusiaan lebih intim, lewat simbol hujan, daun, dan lainnya. Dan itu otentitas setiap pengarang. Daya tarik pengarang. Sajaknya seperti bikin hati keronto-ronto.”
SAJAK-SAJAK Sapardi cukup dikenal. Orang banyak mengutip sajak-sajaknya. Dalam KOMPAS edisi 20 Februari 2000, misalnya, sebuah undangan pernikahan mengutip kata-kata dalam sajak Sapardi yang berjudul Aku Ingin. Sajak itu juga dikutip Garin Nugroho dalam film besutannya yang berjudul Cinta dalam Sepotong Roti. Menanggapi hal itu, Sapardi hanya berkomentar, “Mereka senang, saya juga senang.”
Namun, ketika ditanya tentang karyanya yang paling berkesan, ada raut bingung diwajahnya. “Waduh, yang mana ya? Berkesan semua”. Lalu Sapardi meralat, “E… Kumpulan pertama DukaMu Abadi (1968), dan Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro? (2002) juga berkesan”. Menurutnya, dalam pembuatan karya tersebut ia merasa puas. Walaupun karya lainnya juga membuatnya puas, tetapi karya-karya tersebut lebih berkesan.
Pantas saja jika Sapardi bingung menjawab pertanyaan itu. Karya-karyanya begitu banyak dan punya nilai sendiri-sendiri. Kumpulan sajaknya yang berjudul Sihir Hujan memperoleh anugerah Puisi Poetra Malaysia pada tahun 1983, Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro?, ternasuk 5 karya terbaik Anugerah Sastra Khatulistiwa (Khatulistiwa Literary Award) tahun 2002-2003.
Selain itu, ia juga pernah mendapat Hadiah Sastra Dewan Kesenian Jakarta tahun 1984, Hadiah Sastra ASEAN tahun 1986, Hadiah Seni dari Pemerintah RI tahun 1990, dan Penghargaan Bakrie Award dari Freedom Institute tahun 2003.
Karya-karyanya yang lain adalah Perahu Kertas (1983), Mata Pisau dan Akuarium (1994), Ayat-ayat Api (2000), Mata Jendela (2001), Pengarang Telah mati (2001), Membunuh Orang Gila (2003), Puisi Cinta (2005), Mantra Orang Jawa (2005), dan Binatang Lain (2005).
Sapardi juga menulis buku-buku nonfiksi. Beberapa diantaranya berjudul Novel Sastra Indonesia Sebelum Perang (1979), Kesusastraan Indonesia Modern: Beberapa Catatan (1982), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), Sihir Rendra: Permainan Makna (1999), Direktori Lembaga-lembaga Kesenian Jakarta di Indonesia (1999), Priyayi Abangan (2000).
Ia juga banyak menerjemahkan karya sastra terbitan luar negeri. Karya-karya itu adalah Lelaki tua dan Laut (Novel Ernest Hemingway, 1973), Puisi Brazilia Modern (kumpulan sajak, 1973), Daisy Manis (Drama Henrik Ibsen, 1975), Sepilihan Sajak George Seferis (kumpulan sajak, 1975), Puisi Klasik Cina (kumpulan puisi, 1976), Lirik Klasik Parsi (kumpulan puisi, 1977), Kisah-kisah Sufi (Karya Idries Shah, 1986), dan Afrika yang Resah (Karya Okot p’Bitek, 1988), Drama Trilogi O’neill Mourning becomes Electra (Dukacita Bagi elektra), Drama puisi T.S Eliot Murder in the Cathedral (Pembunuhan di Katedral). Karya John Steinbeck yang berjudul The Grapes of Wrath (Shakuntala, Amarah)—mendapat hadiah dari Yayasan Buku Utama sebagai terjemahan terbaik tahun 2000), Novel Without Name (Novel Tanpa Nama) karya Duong thu Huong (2003), dan Paradise of the Blind ( 2004).
Selain karya-karya terjemahan yang disebutkan, ada satu lagi karya terjemahan Sapardi yang bisa dibilang penting yaitu Antologi Puisi Dunia. Antologi puisi itu berisi terjemahan puisi-puisi peraih nobel seperti karya-karya T.S Eliot, Rabindand Tagore, William Buttler Yeats, Rugyard Kipling, dan lain sebaginya.
SAPARDI Djoko Damono lahir di Solo 20 Maret 1940, 66 tahun silam. Sapardi kecil memang hobi membaca sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Lingkungan pinggiran kota Solo yang jauh dari keramaian menjadi pendukung kenyamanannya untuk membaca. Sulung dari dua bersaudara ini merupakan anak seorang abdi dalem keraton Surakarta. Tetapi darah seni bukan menurun dari orang tuanya. “Tidak tahu dari mana, mungkin
karena suka membaca,” tuturnya tentang bakatnya membuat sajak.
Setelah lulus dari SMP II Solo di tahun 1955, ia melanjutkan ke SMU II Solo. Ketika SMU itulah ia mulai menulis puisi. Tepatnya ketika kelas 2. Tema puisi Sapardi hingga saat ini, 40 tahun berkarya, sangat beragam. Ada yang tentang cinta, protes, perjuangan, bahkan kekejaman.
Setelah lulus SMA, ia melanjutkan studinya di Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, UGM. Saat kuliah itulah ia mempertajam bakat seninya dengan banyak ikut di kegiatan-kegiatan seni. Ia bermain teater, musik, juga pernah siaran sastra di RRI Yogyakarta dan Surakarta. Lulus kuliah, ia menjadi dosen. Awalnya, pada tahun 1974, ia mengajar di IKIP Malang, Undip, lalu UI hingga saat ini.
Sampai sekarang, ia tercatat sebagai salah satu guru besar Fakultas Ilmu Sastra dan Kebudayaan UI. Ia juga mulai mengajar di Magister Sastra Indonesia Undip sebagai dosen luar biasa yang hadir tiap semester sekali sejak tahun 2003. Kegiatan sehari-harinya saat ini masih tetap mengajar dan menulis. Baginya setiap waktu adalah menulis. Ia juga menjadi editor beberapa buku dan terlibat dalam keredaksian majalah.
Dalam penciptaan sebuah karya, inspirasi Sapardi bisa datang dari mana saja. Dari pengalaman pribadi, dari orang lain, dari apa saja. Dari semua peristiwa yang terjadi padanya. “Misal dari bencana Aceh, merapi njebluk, Tragedi Mei, juga banyak saya tulis dari pengalaman–pengalaman pribadi.”
Puisi Aku Ingin merupakan contoh sajak yang ditulis berdasarkan pengalaman pribadinya. Mengenai proses kreatif dalam menulis justru biasanya datang dari kisah masa kecilnya. Menurutnya, kisah masa kecil yang sama sekali tidak istimewa menjadi sumber sebagian puisinya. Bisa dikatakan beberapa sajak yang Sapardi sukai mengingatkan pada masa kecilnya.
Sejak lama ia mencurigai sesuatu yang ia kenang tentang masa kecilnya. Kecurigaan yang mula-mula tumbuh saat SMP itu, ia tuangkan dalam karangan, kemudian dikirimkannya pada sebuah majalah anak-anak berbahasa Jawa.Tetapi karangan itu ditolak, dan dianggap tidak masuk akal. Padahal cerita tersebut baginya benar-benar pernah terjadi. Karangan keduanya pun ditolak dengan alasan yang sama. Ia juga sempat kecewa dengan penolakan itu.
Ketika usianya mengijak 17 tahun, ia kembali tertarik mengarang. Tetapi kali ini mengarang puisi. Ia bisa terharu membaca novel tetapi tidak untuk beberapa sajak modern. Ia merasa tidak pernah bisa menangkap makna sajak–sajak itu sepenuhnya. Karena itu, apa yang pernah gagal, terbayang olehnya untuk ditulis kembali. Sedikit demi sedikit keinginannya untuk mengungkapkan yang tak masuk akal muncul kembali.
Ketika ia mula-mula menulis puisi, ia merasakan bahwa sudut-sudut yang luput dari teriak dan siul masa kecilnya mulai hidup kembali dalam kata-kata. Sehingga diumur belasan tahun, ia menulis puisi seperti tak terhenti. Baginya ternyata banyak sudut yang bisa muncul kembali dalam kata. Semakin banyak ia menulis semakin terasa baginya bahwa yang teramat mengasyikkan adalah menyusun dunia kata itu sendiri. Karya Sapardi muncul pertama kali di tabloid Pos Minggu pada tahun 1957. Setelah itu, banyak karyanya yang dimuat di berbagai majalah.
Puisinya masih berbentuk seperti karya sastra yang lain. Ciri puisinya susah ia gambarkan dan dimasukkan dalam jenis puisi tertentu. Katanya, biar orang lain saja yang menilai. “Pernah orang dari Belanda sulit memasukkan tulisan jenisnya di mana, belum ada namanya, ” kata mantan redaktur majalah Basis dan Horison yang hobi makan ini.
Meski kredibilitas Sapardi sebagai sastrawan cum akademisi tak perlu diragukan, ia tak pernah memaksa anaknya untuk jadi seperti dirinya. “Terserah mau jadi apa,” kata ayah dari 2 anak ini kepada anak-anaknya.
Sapardi adalah pribadi yang sangat aktif. Ia melakukan penelitian, menjadi narasumber berbagai seminar, menjadi juri, aktif sebagai administator dan pengajar. Dengan predikat itu, ia pun masih bersikap rendah hati. Memang “masuk akal” jika jika sastrawan yang tergolong angkatan 66 ini mendapat berbagai macam anugerah karena sumbangsih kesusastraannya yang teramat besar.