Sebuah niat baik tak selalu berjalan mulus. Penggalangan dana untuk korban gempa Yogya dan Jateng oleh lembaga kemahasiswaan FS Undip menghadapi kendala.
Hawe Pos Edisi 15/V/Juni 2006
Headline
.. Ada legenda yang tak pernah terurai rahasianya
ketika para peziarah dan orang-orang kalah
menepis bencana dengan asap dupa
dan janji matahari yang segera memeluk senja.
( Parangtritis; 2002)
PENGGALAN puisi “Parangtritis Senjahari” karya Angger Jati Wijaya ini dibawakan Parlindungan Simanjuntak, Sastra Indonesia 2002, saat ngamen di seputar Undip Pleburan. Ia dan`beberapa kawan tengah menggalang dana untuk korban gempa Yogya dan Klaten. Mereka dari Emper Kampus (EmKa), Wadah Musik Sastra (WMS), dan Mahasiswa Sastra Pecinta Alam (Matrapala).
Ngamen adalah salah satunya. Upaya lain dengan mengumpulkan sumbangan dalam bentuk barang serta penyebaran kotak amal di areal kampus sastra.
Sebuah niat baik tak selalu berjalan mulus. Penggalangan dana untuk korban gempa Yogya dan Jateng oleh lembaga kemahasiswaan FS Undip menghadapi kendala.
Oleh Tari Apriliya K dan Rima Mayasari
Reporter: Dwi Anna R, Yustina S, Wening Adityasari, A Khairuddin
Hawe Pos Edisi 15/V/Juni 2006
Headline
.. Ada legenda yang tak pernah terurai rahasianya
ketika para peziarah dan orang-orang kalah
menepis bencana dengan asap dupa
dan janji matahari yang segera memeluk senja.
( Parangtritis; 2002)
PENGGALAN puisi “Parangtritis Senjahari” karya Angger Jati Wijaya ini dibawakan Parlindungan Simanjuntak, Sastra Indonesia 2002, saat ngamen di seputar Undip Pleburan. Ia dan`beberapa kawan tengah menggalang dana untuk korban gempa Yogya dan Klaten. Mereka dari Emper Kampus (EmKa), Wadah Musik Sastra (WMS), dan Mahasiswa Sastra Pecinta Alam (Matrapala).
Ngamen adalah salah satunya. Upaya lain dengan mengumpulkan sumbangan dalam bentuk barang serta penyebaran kotak amal di areal kampus sastra.
TEPAT tanggal 27 Mei 2006 lalu, Indonesia kembali berduka. Kali ini gempa menimpa Yogya dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Gempa yang berkekuatan 5,9 skala richter menewaskan sedikitnya 5761 orang dan 37339 lainnya luka-luka (Humas Pemprov DIY, 22 Juni 2006). Selain itu, kerusakan fisik mengakibatkan kota Budaya tersebut porak-poranda.
Sehari setelahnya, Minggu 28 Mei 2006, kampus sastra masih lengang, libur akhir pekan. Keesokan harinya, penggalangan dana baru mulai tampak. Saat itu masih dilakukan sendiri-sendiri oleh UKM-HMJ/HMPSD. Mereka menyebarkan kotak sumbangan ke dosen maupun mahasiswa.
Yang menggalang dana saat itu adalah Keluarga Mahasiswa Muslim Sastra (KMMS), English Departement Student Asociation (EDSA), dan Himpunan Mahasiswa Program Studi DIII Jepang (HMPSDIII Jepang). UKM-HMJ/HMPSD lainnya belum bergerak. Bahkan di kampus Sastra Tembalang tak tampak edaran kotak sumbangan. Upaya membantu korban gempa di kampus Tembalang diwakili Forum Komunikasi Sejarah (Fokus). Fokus sendiri, bekerja sama dengan Ruang Rupa dan Ruang Komunikasi Semarang. Kegiatan mereka lebih banyak mencari relawan yang langsung diterjunkan ke lapangan.
Tanpa ada koordinasi, berdampak pada kekurangefektifan dalam bekerja. “Sempat terjadi tumpang tindih dalam penarikan dana, karena ada donatur yang ditarik sumbangan sampai beberapa kali…” ujar Sabiq Wafiyuddin, Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Sastra.
Dari permasalahan tadi, muncul ide kerja bareng di bawah Forum UKM-HMJ/HMPSD (FUH). Pembicaraan itu terjadi pada selasa siang, 29 Mei 2006 di PappiRom’s Cafe. Sebuah kantin pojok belakang Fakultas Sastra, dekat kantor Ekstensi Inggris. Yang hadir saat itu dari perwakilan UKM-HMJ/HMPSD. Namun beberapa dari mereka memutuskan untuk tidak bergabung, yaitu KMMS, PMK, dan HMPSDIII Jepang.
“Kita sudah ngumpulin sumbangan, dan rencananya kita mau berangkat sendiri karena sudah menjadi kesepakatan,” ujar Rossi Marinjani dari PMK tentang ketidakgabungan PMK dengan FUH. Hal senada juga diungkapkan HMPSDIII Jepang. Sedangkan KMMS tidak bergabung karena mereka tak hadir dalam rapat tersebut.
Permasalahan tak berhenti di sini. Selanjutnya, menjaga amanat menjadi sangat penting. Sebuah keraguan donatur terhadap jasa penyaluran bantuan tak bisa dielakkan. Seperti yang diungkapkan Widhi, Sejarah 2004. ”Aku takut apakah nantinya sumbangan itu akan sampai atau malah disalahgunakan. Apalagi yang minta sumbangan di jalan-jalan…” keluhnya. Ia berpikir demikian karena pernah membaca sebuah surat kabar yang menyebutkan adanya penyalahgunaan uang sumbangan oleh oknum tertentu.
Rabu, 1 Juni 2006, penggalangan dana dengan koordinasi FUH mulai bergerak. Meski telah dilakukan kesepakatan, mereka masih berjalan sendiri-sendiri. Selanjutnya diketahui bahwa kesepakatan itu sebatas pada pengumpulan dan penyaluran saja. “Dari HMJ, saya diajak teman-teman angkatan untuk menggalang dana dan hasilnya kita serahkan ke koordinator UKM/HMJ, ” kata Galih, Sastra Inggris 2003. Sebab itulah tumpang tindih penarikan dana tetap terjadi.
Hari kedua, 2 Juni 2006, dana yang berhasil dikumpulkan sekitar 800 ribu. Dana itu kemudian diserahkan pada Eka WMS, selaku bendahara. Penggalangan dana terus dilakukan sampai hari pemberangkatan, 3 Juni 2006.
Dana itu sebagian besar diperoleh dari mahasiswa. “Pihak dosen hanya beberapa yang nyumbang,” kata Erna EmKa. Ini karena pihak fakultas sendiri telah ada penarikan yang disalurkan atas nama UNDIP.
Menurut Drs Mulyono M Hum, Pembantu Dekan III FS Undip, penarikan dilakukan dengan penyebaran formulir yang nominalnya ditentukan dosen sendiri. “Penyerahan uang sumbangan tersebut bisa dalam bentuk tunai ataupun melalui potongan gaji,” ujarnya menjelaskan. Kegiatan penarikan sumbangan ini dilakukan sehari setelah gempa terjadi.
Mulyono kemudian berkomentar tentang penggalangan dana mahasiswa. Ia tak mempermasalahkan penggalangan itu asal pertanggungjawaban jelas.
Mengenai surat edaran dari Pembantu Rektor III tentang pelarangan mahasiswa turun ke jalan, ia setuju. “Saya belum tahu tentang adanya edaran itu, tapi seandainya edaran itu ada saya sangat setuju. Karena ini berkaitan dengan akuntabilitas penyaluran dana tersebut,” katanya lebih lanjut.
Hari pemberangkatan tiba. Masalah pun tak kunjung reda. “Rencananya berangkat jam 10 pagi, tapi molor sampai jam 9 malam,” keluh Erna Emka.
“Masalahnya karena transportasi kita belum dapat. Tapi syukur ternyata ada bantuan dari alumni yang mau minjemin Pick up dan bensin juga ditanggung dia,” kata Nita Emka melanjutkan penjelasan Erna.
SELAMA di Yogja, relawan Sastra bekerja sama dengan relawan Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Gajah Mada (UGM). Cara ini dilakukan agar bantuan tak salah sasaran. Bantuan saat itu berupa barang seperti susu bayi, mie instan, pakaian, buku, tas, sepatu, terpal, selimut, pakaian dalam, pembalut, beras dan obat-obatan..
Berbeda dengan mahasiswa dari FUH, tim relawan Fokus mengarahkan bantuan mereka ke Klaten. Alasan memilih Klaten karena daerah ini belum terjamah bantuan, kata Ariyono, koordinator Fokus yang juga mahasiswa Sejarah 2001.
Mereka berangkat ke Dukuh Nglarang, Desa Basin Kecamatan Kebun Arum Klaten, 31 Mei 2006. Sumber dana mereka atas swadaya anggota dan simpatisan Fokus serta seorang donatur warga kebangsaan Belanda. “Bantuan yang kita bawa berupa sembako serta bahan material untuk bangunan,” ujar Bowo, mahasiswa Sejarah 2003 yang juga menjadi relawan.
Di sana, relawan berusaha membantu mengatasi trauma dan ketakutan yang dialami para korban. Beberapa cara diungkapkan Haryono, mahasiswa Sejarah 2005. “Kami berusaha menyajikan hiburan terutama untuk anak-anak. Misalnya mengadakan lomba menggambar.”
Selain itu, mereka juga membantu membersihkan puing-puing bangunan dan ikut mendirikan kembali rumah korban. Dan masih banyak hal lain yang mereka kerjakan, di posko kesehatan, dapur umum maupun tempat-tempat lain daerah tersebut.
Bencana sudah terjadi. Yang harus dilakukan sekarang adalah rehabilitasi, baik fisik maupun psikis. “Rehabilitasi fisik memakan waktu yang lama, tapi rehabilitasi psikis para korban itu jauh lebih lama,” kata Supriyo Priyanto, dosen Jurusan Sejarah.
Jadi, seperti kata mereka yang direpresentasikan melalui tulisan di jalan-jalan; Kami Bukan Tontonan, Jangan Hanya Datang Plesiran, Bantulah Kami.****