Suatu hari saya dikejutkan oleh selebaran yang terpasang di papan pengumuman di sekitar kampus. Fakultas Sastra akan mengadakan pemilihan dekan. Sembilan orang diputuskan sebagai bakal calon.
Dalam hati, saya merutuki diri saya sendiri yang ketinggalan informasi. Namun hal yang sama rupanya juga dialami oleh kawan mahasiswa lain. Mereka juga baru tahu jika Fakultas Sastra punya gawe besar setelah membaca pengumuman itu.
Sangat disayangkan, kemunculan sembilan calon itu diluar sepengetahuan mahasiswa, yang merupakan bagian dari sivitas akademika kampus. Mahasiswa tidak mendapat informasi bagaimana mekanisme pemilihan bakal calon itu. Tahu-tahu sembilan nama sudah tercantum dalam selebaran di papan pengumuman itu.
Sangat disayangkan, kemunculan sembilan calon itu diluar sepengetahuan mahasiswa, yang merupakan bagian dari sivitas akademika kampus. Mahasiswa tidak mendapat informasi bagaimana mekanisme pemilihan bakal calon itu. Tahu-tahu sembilan nama sudah tercantum dalam selebaran di papan pengumuman itu.
Perihal tidak dilibatkannya mahasiswa diduga karena belum adanya peraturan tentang pelibatan seluruh sivitas akademika dalam pemilihan pimpinan birokrasi kampus. Sistem pemilihan dekan, seperti halnya pemelihan rektor Undip belum lama ini, dilakukan secara tertutup.
Berbeda halnya dengan PTN yang sudah menjadi PT BHMN, pemilian rektor dan juga dekan melibatkan mahasiswa. Pemilihan dekan diselenggarakan secara langsung. Pendaftaran calon pun diumumkan dimedia umum secara terbuka.
Terlepas dari belum adanya payung hukum untuk mengadakan pemilihan dekan secara langsung, salah seorang mengaitkannya dengan tradisi. “Emang tradisinya begitu, ya dari dulu begitu, dari atasan begitu” Ada apa dengan tradisi, begitu sulitkah kita untuk memulai susuatu yang baru?
Dari hasil obrolan dengan sejumlah rekan mahasiswa, mayoritas menghendaki pemilihan dekan diselenggarakan secara langsung. Alasannya, mahasiswa adalah bagian penting dalam dunia kampus. Karena mahasiswa juga yang akan merasakan baik-buruknya kinerja dekan, maka mereka juga berhak untuk menyalurkan pilihannya.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh beberapa karyawan maupun dosen. Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya mereka juga menghendaki adanya pemilihan langsung. Sebagai karyawan, mereka juga ingin kesejahteraannya diperhatikan. Begitu juga dengan dosen.
Salah seorang calon bahkan menghendaki perlunya reformasi ditubuh senat. Keanggotaan senat dianggap tidak mewakili suara mayoritas. Adanya budaya ewuh pakewuh dikhawatirkan akan melandasi pertimbangan para senat itu yang sebagian besar masih diwakili oleh generasi tua.
Bila dicermati, mayoritas warga sastra menghendaki adanya perubahan. Namun segelintir orang yang berani menyampaikan pendapatnya. Apalagi untuk melakukan sebuah gerakan perlawanan, opoisisi, hal ini masih teramat jauh. Mereka yang sebenarnya menolak dengan sistem saat ini, memilih untuk memberikan komentar yang baik, atau cari posisi yang aman.
Di sisi lain, orang-orang yang berani bersuara pun masih berada di belakang layar. Mereka belum berani muncul ke permukaan. Lalu sampai kapan kondisi ini akan berlangsung?
Di luar sana kemajuan demokrasi sudah cukup pesat. Pemilihan presiden sampai kepala daerah sudah diselenggarakan secara langsung. Dari pejabat, konglomerat, sampai rakyat jelata diberi kesempatan menyampaikan aspirasinya. Pendidikan politik masyarakat sekarang mengalami kemajuan.
Bagaimana dengan kondisi kampus? Masyarakat yang dikenal dengan budaya demokratis, identik dengan diskusi, kebebasan intelektual, namun hingga sekarang masih sulit hanya untuk merealisasikan pemilihan dekan secara langsung. Adakah yang salah dengan tradisi?