Geliat komunitas pecinta budaya Jepang di Semarang
Oleh Gema Yudha
SEBUAH siang, pukul 13.40. Puluhan orang tengah asik bermain game Kanji. Mereka mencocokkan huruf kanji dengan huruf Hiragana. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu. Pippo, sang pengajar menghentikan aktivitas kelas. Seorang lelaki mengenakan sebuah pakian tradisonal Jepang berwarna biru, membuka pintu.
“Sumimasen…” Ucap wahyu, sambil membungkukkan punggungnya.
“Hai, doozo….” Balas Pippo, mempersilahkan Wahyu mengikuti kelas.
Hari itu Pippo memberi materi mingai. Para anggota diajari membuat boneka edo_anisama, sebuah boneka wanita berpakian Kimono. Bahan-bahan yang digunakan antara lain, kertas kado untuk baju Kimono, kertas krep untuk rambut, tusuk sate untuk badan, dan kertas tissu untuk mebuat bagian kepala boneka.
Prakarya atau mingai ini merupakan salah satu kelebihan dari Akashiro, klub pecinta budaya Jepang, yang bermarkas di Lembaga Bimbingan Belajar PAT. ASPAC (Asia Pacific). Selain membuat boneka jepang, para pecinta budaya Jepang itu juga belajar bermain Igo atau catur ala Jepang. Kegiatan seperti ini jarang dijumpai di komunitas lain.
AKASHIRO adalah sebuah perkumpulan yang mempelajari Kebudayaan Jepang. Organisasi ini berada di bawah manajemen Lembaga Bimbingan Belajar PAT. ASPAC (Asia Pacific). Mulanya, Akashiro dibentuk atas permintaan siswa ASPAC, khususnya mereka yang belajar bahasa Jepang. Tapi sekarang, siapa pun dapat menjadi anggota.
Para anggota memiliki seragam resmi Akashiro. Seperti yang dikenakan oleh Wahyu dan juga anggota yang lain. Pakaian ini berbentuk happi atau semacam pakaian tradisional Jepang. berwarna biru untuk anggota pria, dan merah untuk yang perempuan. Pada garis tepinya, tertulis ASPAC. Di bawahnya terdapat tulisan Jepang yang berbunyi “Akashiro”.
Wahyu mengaku mendapatkan banyak pengetahuan baru di Akashiro, terutama yang berkaitan dengan budaya Jepang. Wahyu yang juga mahasiswa Jurusan Teknik Informatika Universitas Dian Nuswantoro (Udinus) adalah salah satu perintis Akashiro. Sekitar awal 2006 ia bersama teman-temannya yang mengambil kursus Bahasa Jepang, mengusulkan agar dibentuk sebuah klub pecinta budaya Jepang kepada pimpinan LBB PAT Aspac.
Selain Akashiro, ada beberapa lagi perkumpulan pencinta budaya Jepang. Namun, kebanyakan dari mereka lebih menekankan pada hobi. Genki J1(dibaca, Genki Ji) misalnya, komunitas pencinta Jepang yang satu ini dianggap terbesar dan tertua di Semarang.
Di Gengki J1, orang-orang yang tertarik pada Jepang berkumpul. Para anggota berkumpul di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) tiap Sabtu. Sekedar ngobrol hal-hal yang mereka senangi. Tentu saja yang berhubungan dengan Jepang. Seperti manga (komik Jepang), musik, dan film, mulai dorama (drama) sampai anime (kartun Jepang).
Alif Resy Martin, mahasiswa Fakultas Hukum 2002, termasuk salah satu anggota aktif Genki J1. Dengan lokasi kos yang tak terlalu jauh dari TBRS, di Genuk Karanglo, dia mengaku termasuk yang paling sering datang.
Meski cuma sekadar ngobrol, Alif mengaku mendapatkan manfaat. Dia bisa mendapatkan info tentang Jepang, dapat teman baru, bahkan bisa saling tukar koleksi CD, MP3, atau komik. Di sana pula Alif, yang mengaku penggemar tokusatsu (film dengan spesial efek, seperti ksatria baja hitam), dapat ngobrol dengan sesama pecinta tokusatsu. Sempat juga Alif dan beberapa temannya mendirikan toko yang menjaul pernak-pernik model dari film itu. Akibat manajemen yang kurang bagus, toko itu kini ditutup karena bangkrut.
Di Genki J1 banyak yang serupa Alif. Orang-orang dengan hobi yang sama, membentuk kelompok sendiri. Genki dianggap sebagai komunitas induk yang hanya mewadahi.
Windy, penggagas Genki J1, mengibaratkan Genki J1 sebagai sebuah lingkaran. Di dalamnya terdapat lingkaran-lingkaran lain yang lebih kecil. Dia mengaku senang, hal ini menandakan orang-orang pecinta Jepang terus bertambah.
Di awal berdirinya Genki J1, Windy atau lebih dikenal Arale, berhasil mengumpulkan 25 orang. Waktu itu dia bersama Rizki Amalia, mahasiswi Udinus, sama-sama penggemar siaran J Pop, yang disiarkan di Fresh Radio (sekarang Prambos). Berawal dari sana, dia dan Kiki, menggagas komunitas pecinta Jepang.
Seorang Penyiar J-pop kemudian membantu mempublikasikan ide Windy dan Kiki. Hasilnya, 25 orang berkumpul di Pujasera Java Mall. “Tepatnya tanggal 15 Maret 2003. Kaya arisan ibu-ibu gitu, soalnya cewek semua, cowoknya cuma dua orang,” kata Windy sambil tersenyum.
Selanjutnya, tempat berkumpul beralih ke TBRS. Nama yang disepakati adalah Genki JI. Genki dalam bahasa Jepang berarti sehat. JI kependekan dari Jepang Indonesia. Ketika ramai Jamaah Islamiyah Gengki JI berubah menjadi Gengki J1. J1 berarti penyuka jepang yang bersatu. Menurut Windy, Genki J1 adalah komunitas “sehat” tempat berkumpulnya penyuka Jepang yang menjadi satu di Indonesia.
Selain berkumpul di dunia nyata, penggemar Jepang di Semarang juga biasa bertemu di dunia digital. Zekkyou.net adalah tujuannya. Dani, alumni D3 Inggris Undip, mengatakan, awalnya Zekkyou dibangun untuk mengumpulkan penyuka Jepang di Semarang. Tapi lama-kelamaan, orang-orang dari luar kota ikut bergabung.
Dani yang juga admin atau pengelola website Zekkyou.net menyatakan, pengunjung situs terus meningkat. Dari situ dia beranggapan orang yang suka Jepang terus bertambah. Pertama kali berdiri 31 Desember 2004, pengunjungnya teman-teman yang dikenalnya. “Kalo nambah (pengunjungnya, red), seneng banget. Eh, Zekkyou nambah lho, pas diliat, eh temen sendiri,” ungkap Dani sambil tertawa.
Ninin, salah seorang pengunjung Zekkyou, mengatakan di Zekkyou.net dia bisa mendapat lagu-lagu Jepang. “ada MP3, lagu, video klip, wallpaper juga,” jelasnya.
TIGA TAHUN yang lalu komunitas pecinta budaya Jepang masih sepi di Semarang. Mencari penggemar budaya Jepang terbilang sulit. Seperti yang dilami oleh Genki J1. Dari beberapa pertemuan yang diadakan, anggota yang hadir masih sangat terbatas. Tapi kini kondisi sudah berubah. Banyak komunitas sejenis bermuncul di kota Loenpia ini.
Kini para pecinta budaya Jepang telah terbagi. Ada yang khusus penggemar tokusatsu, film, manga (komik), dan musik. Bahkan musik pun masih terbagi lagi. Ada Jpop, Jrock, Visual, atau Indies.
Gundam Plamo Otaku (GPO) adalah salah satu komunitas penggemar plastik model (plamo). Komunitas ini mengkhususkan pada plastik model, semacam action figure. Bedanya, plamo harus dirakit dulu. Istilah Gundam merujuk pada salah satu serial anime terpanjang yang pernah ditayangkan di sebuah stasiun televisi swasta.
Ada juga Famic Com, komunitas penggemar komik. Orang-orang yang senang komik berkumpul di sini. Terutama yang senang menggambar. Famic Com dibentuk pada 24 September 2005. Meski relatif masih muda, para anggota memiliki semangat untuk terus mengembangkan komunitas ini menjadi lebih besar. Bahkan mereka berencana membuat lembaga penerbitan.
Melihat pasar dan kesukaan terhadap budaya Jepang, muncul pula komunitas komersil. X Banzai, adalah salah satu diantarana. Komunitas ini menyediakan lagu-lagu Jepang. Lagu-lagu yang dirilis hari ini, esoknya telah tersedia di X Banzai.
Selain X Banzai ada juga Orenji yang menyediakan pernak-pernik Jepang seperti kipas, gelang bahkan cosplay (kostum tokoh).
Fajar, mahasiswa D III Bahasa Jepang Udinus, membentuk Orenji bersama beberapa temannya. Beberapa barang didatangkan langsung dari Jepang. Kebetulan salah seorang temannya berada di sana. Khusus untuk pakaian, dia membuatnya sendiri. Sebagai lulusan SMK tata busana, dia tak kesulitan mengerjakannya.
Namun karena alasan dana, Orenji hingga kini belum memiliki tempat tetap. Pemasaran produknya dilakukan ketika ada kegiatan di kampus maupun sekolah-sekolah di sekitar Semarang. Selain itu juga dipasarkan secara online melalui friendster.com. “Rencananya kita mau bikin toko. Ya, nunggu dana lah, “ kata Fajar.
Ide Fajar mendirikan Orenji ini bermula dari perkenalannya dengan Genki J1. Di sana, dia merasa mendapat tempat menyalurkan kesukaannya pada budaya Jepang. “Sebelumnya aku nggak tau harus kemana. Di Genki aku dapet pengetahuan tentang Jepang.”
Untuk memperkenalkan pada masyarakat, Genki mengadakan acara-acara berbau Jepang. Party Pake J (PPJ) pada tanggal 18 Desember 2004, digelar pertama kali. Terinspirasi dari nama salah seorang panggilan anak Genki J1, Arip pake P. “Kita emang ga bisa bilang itu event yang gede, paling bagus, tapi kita bisa bilang itu event pertama kali yang membawa nama Jepang. Pertama kali di semarang. jogja aja waktu itu belum bikin,” jelas Arip.
Selain itu, untuk menunjukkan keberadaan mereka, para anggota Genki dan Zekkyou, bersama-sama memakai cosplay (kostum tokoh) ke Mall Ciputra. Mereka menyebar ke berbagai tempat. “Orang-orang pada ngeliatin. Aneh kali pake baju kaya gitu,” ungkap Fajar.
Lantas mengapa mereka berani melakukannya? “Soalnya rame-rame. Kalo sendiri wah, malu,” timpalnya.
Namun komunitas budaya Jepang di Semarang ternyata belum sebesar di kota-kota besar lainnya. Dibandingkan dengan Jakarta atau Bandung, penyuka Jepang di Semarang masih terbilang kecil dan belum diakui. Di Jakarta atau Bandung, pengakuan itu ditunjukkan dengan berdirinya UKM atau Ekskul Jepang.
BAGI BEBERAPA orang, bergabung dengan komunitas pecinta budaya Jepang banyak memberikan manfaat. Namun pendapat ini ditolak oleh sebagian orang lainnya. Seperti yang dituturkan oleh Yuu, mahasiswa D3 Jepang Undip 2002. Menurut dia, tidak semua kegiatan yang diadakan oleh komunitas pecinta budaya Jepang itu memberikan manfaat. Salah satunya adalah Genki. “Kegiatannya ga jelas,” katanya.
Suatu kali, Yuu datang ke pertemuan Genki J1 di TBRS. Berawal dari pamflet yang dia dapatkan, Yuu tertarik datang ke acara Genki. Dia berharap dapat membicarakan apapun tentang Jepang. “Pas aku dateng ke sana, yang diomongin ga ada sangkut pautnya tentang Jepang. Paling eh lo kemana kemarin,” ungkapnya. Menurutnya, pembahasan tentang Jepang hanya sebentar. “Paling lima atau sepuluh menit.”
Untuk memenuhi keinginnya itu, Yuu bergabung di Zekkyou.net. Menurutnya dianggap lebih efektif. Menurut dia, topik pembicaraan di Zekkyou lebih fokus karena telah ada pembagian kategori. “mau ngomong itu, ya masuk ke forum. Jadi topiknya ga kiri kanan”
Windy mengakui hal ini. Menurutnya hal ini terjadi karena orang-orang yang datang ke Genki lebih tertarik untuk ngobrol dengan teman-temannya. Membentuk kumpulan menurut kesenangan masing-masing.
Agaknya, inilah yang menyebabkan Feriana, mahasiswa S1 Sastra Inggris 2002, kurang tertarik pada Genki. Ketertarikannya pada Jepang, dia lebih ingin mempelajari kebudayaanya. Untuk memenuhinya, Ana bergabung dengan Akashiro. Di sana Ana dapat belajar tentang Jepang. Mulai dari kanji, memasak sushi, bermain igo (catur Jepang), atau belajar mingei (prakarya).
Senada dengan Feriana, Shinta Aprilia, mahasiswa manajemen 2004, juga mengaku senang bergabung dengan Akashiro. Ketika Akashiro mengagendakan mingei edo-anesama (prakarya membuat boneka), Shinta tak tertarik. Sejak sekolah dasar, dia tak suka dengan prakarya. Tapi setelah iseng datang, Shinta ternyata menjadi ketagihan. Selain itu, Shinta mendapat pengetahuan baru.
BANYAK komunitas pecinta budaya Jepang kini berdiri di Semarang. Jika anda adalah pecinta budaya Jepang, banyak alternatif untuk memilih komunitas. Namun juga hak anda jika tak ingin bergabung dengan komunitas itu. Soal mana yang lebih baik, tentunya tergantung selera tiap orang.
Para penggemar Jepang dengan tekun mempelajari seluk beluk kebudayaan negeri Sakura itu. Dari internet, televisi, atau koran dan majalah. Apakah lantas mereka melupakan kebudayaan Indonesia, yang merupakan kebudayaan negerinya sendiri?
“Nggak lah, Indonesia powerful,” bantah Yuu. Hal senada juga diungkapkan oleh Arip. Bagi mereka, kebudayaan Indonesia tetap menarik.
Meski tidak menampik akan terpengaruh oleh kebudayaan yang dipelajari, menurut Alif kebudayaan berkembang justru karena pengaruh dari luar. “Apa kita cuma mau ngeliat ke satu sisi, satu kebudayaan diluar aja, di barat aja, kan ngga. Lebih bagus kalo ada budaya lain yang kita serap positifnya,” tukasnya. ****
kapan ada lagi pameran nya??? tolong lebih di publikasikan dong… makasih