Sebuah cerita di negeri penuh mitos
Oleh Muhamad Sulhanudin
ALANGKAH bahagia seorang siswa sekolah dasar mengetahui kejayaan negerinya di masa lampau. Negeri yang kaya akan rempah-rempah itu dulu dihuni oleh orang-orang yang hebat. Hanya dengan berbekal bambu runcing, kompeni dengan peralatan supercanggih untuk ukuran saat itu, dibuatnya ngacir!
Bukan itu saja. Keperkasaan para pendahulu itu tidak hanya di medan laga, tapi juga kreatif dalam membuat cerita. Tahukah Anda jika gunung yang berbentuk menyerupai perahu terbalik di Jawa Barat itu memiliki legenda. Dari cerita yang beredar di masyarakat, gunung itu dulunya adalah perahu yang ditendang oleh Sangkuriang karena usahanya untuk mendapatkan cintanya kepada sang bunda gagal. Busyet… hebat betul orang itu!
Jika benar, maka negeri ini beserta orang-orangnya dulu dijaga oleh para dewa. Jadi tak aneh jika ada manusia sakti yang mampu membangun seribu candi dalam waktu semalam, tanpa semen, atau beton pencakar langit.
Bagaimana jika cerita itu ternyata tidak benar?
Namanya juga negeri penuh mitos, teramat sulit untuk membedakan mana yang fakta dan mana yang fiksi, mana cerita yang benar dan mana yang cuma mitos. Keduanya kabur. Akibatnya, dimaknailah mitos sebagai sebuah kebenaran, kebenaran tunggal yang seolah wahyu dari tuhan, dari dulu hingga sekarang.
BENNEDICT ANDERSON dalam bukunya “Imagined Community”, mengkritik tentang konsep nasionalisme sebagai konsep semu yang dibayangkan orang atas sebuah komunitas yang disebut bangsa, nusantara, negara, maupun istilah lainnya.
Bagaimana mungkin orang-orang yang menghuni di belahan pulau-pulau yang terpencar, dengan beragam budaya, agama, warna kulit, dialek, disatukan dalam sebuah institusi yang disebut negara Indonesia. Benarkah karena kesadaran senasib-sepenanggungan akibat penjajahan, orang-orang itu kemudian bersatu. Meski berbeda, namun tetap satu tujuan!
Mungkin saja karena orang-orang di nusantara ini dilahirkan dari nenek moyang yang sama. Disatukan karena memiliki kebudayaan yang sama, kebudayaan orang timur. Tapi ini juga masih abstrak. Kalau benar, mengapa orang Indonesia cenderung lebih suka meniru produk-produk yang didatangkan dari Barat. Celakanya bukan sekadar meniru, tapi merasa lebih nyaman dengan menjadi konsumen budaya Eropa. Sampai-sampai tak sadar jika pakian Batik yang sering dikenakan oleh Kofi Anan, Sekjen PBB, dalam setiap lawatannya itu berasal dari Indonesia. Sementara kita sendiri bangga memakai jas, celana jeans, yang mulanya dikenalkan oleh penjajah Belanda.
Ah, jangan-jangan wacana penyatuan itu sebenarnya punya tujuan tertentu, kekuasaan, misalnya. Ada pihak yang merasa besar, yang ingin “merangkul” kelompok-kelompok yang lebih kecil. Sebut saja, Jawa yang merupakan etnis terbesar di Indonesia. Jika tidak, mengapa harus bersatu, bersatu untuk apa. Apakah karena pepatah “Bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. Ini kan dulu. Rusia, bekas pecahan negara Unisoviet, buktinya sekarang masih kuat.
Apakah tidak ada pihak yang merasa dirugikan dengan adanya penyatuan itu. Bisakah kelompok yang besar itu menampung aspirasi golongan yang lebih kecil. Bukankah dalam proses kompromi harus ada pihak yang mengalah. Tuluskah pihak yang terpaksa harus mengalah itu demi kata yang disebut “mufakat”?
Dari perjalanan lebih dari separoh abad pasca Indonesia merdeka, kampanye penyatuan di bawah bendera nasionalisme itu telah memakan banyak pertumpahan darah. Yang disebut Warga Negara Indonesia adalah orang pribumi, yang merupakan putera asli bangsa Indonesia. Para pendatang, seperti etnis Tiong Hoa tidak punya hak untuk hidup di negeri ini. Maka terjadilah pembatian besar-besaran etnis Tiong Hoa oleh pribumi yang disponsori oleh pemerintah. Padahal kemerdekaan yang dicapai ini juga berkat perjuangan para etnis pendatang itu, yang membantu warga Indonesia melawan penjajah.
Selain pendatang, korban yang jatuh ternyata juga orang pribumi sendiri. Anda tentu pernah mendengar pembantaian besar-besaran orang yang dianggap “kiri” di sekitar tahun 65-66. Periode selanjutnya, komunis dianggap sebagai bahaya laten, sehingga diharamkan hidup di negara Indonesia oleh pemerintah Orde Baru.
Tragedi lain antar penduduk pribumi terjadi pada tahun 1998 di Poso, Sulawesi Selatan. Karena dipicu kecemburuan terhadap warga pendatang, etnis Melayu mengusir warga etnis Madura dari tanah kelahirannya. Lebih dari 2000 orang menjadi korban pertikaian atau pembersihan etnis (ethnic cleansing) itu.
Mengapa orang Melayu mengusir warga etnis Madura yang notabene merupakan sama-sama warga negara Indonesia?
Melayu adalah contoh kekuasaan kecil. Kekuasaan yang lebih besar berada di Jawa, pusatnya di Jakarta. Ya, orang-orang Jakarta itu mengundang kecemburuan orang-orang yang ada di daerah. Jakarta adalah panggung kepura-puraan, di mana orang muncul sebagai pejuang nasionalisme, tapi sebenarnya untuk keperluan perutnya sendiri.
Dari sana, muncullah dugaan bahwa nasionalisme yang dipahami selama ini adalah kedok untuk melanggengkan kekuasaan. Kekuasaan dalam segala aspek kehidupan, sosial, budaya, bahkan agama. Kekuasaan berlaku dimanapun. Maka, masih perlukah kita bersatu di negeri yang penuh mitos ini?
Pertanyaan yang sama juga penulis ajukan untuk kawan-kawan di Lembaga Kemahasiswaan di Fakultas Sastra Undip, yang belakangan kembali mewacanakan penyatuan segenap elemen organ kemahasiswaan di kampus yang konon dulu pernah memiliki cerita kejayaan ini. Bukankah penyatuan itu sebenarnya upaya menuju penyeragaman. Inikah yang dinamakan demokrasi?