Walau tiap tahun biaya pendidikan terus mengalami kenaikan, namun peningkatan mutu dan kualitas masih dipertanyakan. Terutama terkait persoalan fasilitas.
Oleh Rose KR
Reporter Dyah Anita, Zumala Nahari
Sore mulai beranjak di Fakultas Sastra Pleburan. Beberapa orang tampak sibuk bekerja di salah satu ruang. Ada yang menggergaji, memasang kayu untuk kerangka atap atau mengukur panjangnya kayu dengan meteran. Terdengar pula bunyi palu beradu dengan paku atau bunyi gergaji menyentuh kayu. Di pintu ruang itu tertempel selembar kertas putih dengan tulisan “Pemindahan pemakaian R. 103 A karena diperbaiki program SI Ekstensi Sastra Inggris Undip”.
Sebuah peristiwa mengejutkan telah terjadi di ruang itu. Selasa 03 Oktober 2006, sekitar pukul 11.00 WIB tanpa disangka-sangka atap ruang 103 A, yang biasa dipakai mahasiswa belajar tiba-tiba roboh. Memang tak ada yang terluka, tapi kejadian itu sempat membuat beberapa mahasiswa shock.
Fatima Anisa K, mahasiswa Sastra Inggris 2005 mengaku berada di tempat sewaktu kejadian. Ia bersama Arie Widodo, bermaksud mengerjakan tugas American Live and Institute di ruang 103 A. Waktu itu ruangan kosong tidak dipakai untuk kuliah hanya ada beberapa mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2006 tampak ngobrol santai.
Sewaktu sedang mengerjakan, Galih, yang juga teman satu angkatan masuk dan bergabung dengan mereka. Ia melihat ke seluruh ruangan dan matanya tertuju pada eternit di pojok bagian depan. Eternit itu tampak melengkung ke bawah.
”Eh…eternitnya…,” belum selesai ia bicara tiba-tiba … plutak. Beberapa potongan kayu jatuh tepat di depannya. “Yang jatuh itu lumayan besar. Ya kalau nibani (menimpa) ya tetap gegar otak lah,” kata Anisa sambil megenang peristiwa itu.
Kemudian, semua mata di ruangan itu tertuju pada eternit. Jelas eternit itu tampak semakin turun, turun dan turun lagi. Tanpa dikomando semua yang berada di ruangan itu lari keluar. “Itu kalau Galih ngga lihat, mungkin kita tuh bakal kejatuhan. Alhamdulillah dah dikasih peringatan dari Allah. Soalnya kalau Galih ngga dateng udah keambrukan,” kata Anisa.
Keesokan harinya, beberapa mahasiswa tampak mondar-mandir di depan Ruang E103A. Mereka adalah mahasiswa SI Reguler Sastra Inggris angkatan 2004 yang hendak kuliah di ruang itu. berhubung ruang tersebut masih dalam perbaikan. Maka mereka bermaksud mencari ruang lain. Ternyata persoalan baru muncul. Tidak ada ruang kosong. Alternatif satu-satunya adalah ruang sidang. Tapi ruang ini sedang digunakan untuk kegiatan fakultas.
Baru sore harinya fakultas mengumumkan pemindahan proses belajar mengajar ke ruang lain untuk program Ekstensi Sastra Inggris. Pemindahan itu untuk tiga hari ke depan. Tapi untuk program reguler malah terkesan terbengkelai. Dosen dan mahasiswa harus mencari sendiri tempat perkuliahan.
Berkenaan hal tersebut Widodo mengkonfirmasi, “Kalau untuk ruang 103 A kami pindah ke SEU. Kami sudah buat surat ke SEU bahwa kondisi sekarang ini ngga memungkinkan.”
****
Cerita di atas memang sudah berlalu. Kini ruangan itu juga sudah diperbaiki. Tapi kejadian tersebut tentu bisa menjadi pelajaran, agar fakultas lebih serius lagi dalam memperhatikan masalah fasilitas.
Bukankah belum lama ini, fakultas sudah melakukan perbaikan?
Benar, sebelum penerimaan mahasiswa baru, pihak fakultas mengadakan perbaikan. Tembok dan kusen dicat ulang. Selain itu juga membangun kamar mandi dan memasang beberapa AC baru. Tapi perbaikan tersebut ternyata menyisakan pekerjaan rumah. Atap ruang 103 A yang kondisinya memprihatinkan ternyata luput dari perhatian.
“Saya tuh cuma mau ngomong, kenapa tuh yang dipoles, cuma dicat aja. Itu khan sama aja. Ngapain dicat kalau fasilitasnya ngga diperbaiki. Mendingan fasilitasnya diperbaiki aja. Dicat itu, urusan ntar aja,” kata Fatimah.
Salah seorang mahasiswa yang turut menyaksikan perbaikan di ruang E103A itu berkomentar, “Wah, ternyata yang diperbaiki cuma yang luar aja. Dicat biar tampak baru. Jangan-jangan, kalau dibongkar tuh, bagian atasnya mungkin sudah banyak yang rapuh. Itu kan juga perlu diganti. Masak harus nunggu sampai roboh.”
Berkenaan dengan hal tersebut Wiryanto, kepala Bagian Peralatan dan Perlengkapan menjelaskan, ”mmmm… itu begini, kami lihat itu tuh masih utuh dari luar. Masih utuh, tapi setelah selesai kok agak melengkung.”
Mengetahui ada kerusakan ternyata pihak fakultas, terutama bagian peralatan, belum kunjung melakukan perbaikan. Selanjutnya Wiryanto mengatakan untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan tidak dapat langsung dikerjakan. Harus ada yang melapor ke ketua Tata Usaha dilanjutkan ke PD II. Setelah ada perintah dari PD II baru perbaikan bisa dikerjakan. Setiap pengeluaran harus sepengetahuan PD II.
Drs Widodo ASS M ED, pembantu Dekan II memang sudah menyadari kerusakan di ruang 103 A. Ia mengusulkan agar ruang 103 A tidak dipakai dahulu. Tapi karena kesulitan mendapatkan tempat gantinya. Maka ruang yang rusak itu tetap dipakai kuliah.
“Kaya SD Inpres, yang gedungnya mau ambruk gitu. Please deh kita khan kuliah. Tempat kuliah kok kaya gitu, berbahaya. Ntar kalau ada apa-apa sama mahasiswanya siapa yang mau tanggung jawab?” kata Fatima.
Fatimah tak asal berbicara. Apa yang dikatakan cukup beralasan. Bagaimana jika sampai ada mahasiswa yang menjadi korban gara-gara insiden serupa?
Memang fakultas mau bertanggung jawab seandainya ada yang terluka. Pada insiden itu memang tidak ada korban. Tapi mengapa hal itu sampai terjadi. Padahal menurut pengakuan Wiryanto, sebelumnya pernah
ada kejadian serupa.
“Dulu di RG itu, RG 5 kalau ngga salah, nah itu pas dosennya lagi ngajar langsung jatuh.”
Lantas kalau sudah pernah kenapa sampai terulang. Ada apa dengan Sastra?
****
Mutu suatu pendidikan tidak hanya bergantung pada mutu sumber daya manusianya. Untuk mendapatkan hasil maksimal perlu didukung fasilitas yang memadai. Berdasarkan penilaian Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT) tahun ajaran 2004/ 2005, Fakultas sastra untuk semua jurusan SI Reguler memang mendapatkan akreditasi A. Namun dengan kondisi sekarang, bukan tidak mungkin akan berpengaruh pada penilaian BAN-PT selanjutnya.
Sekedar pengetahuan, akreditasi diperbaharui setiap empat tahun sekali. Memang pengadaan fasilitas bukan satu-satunya sumber penilaian. Tapi masih ada kriteria-kriteria lain seperti kurikulum, mutu dan jumlah tenaga pendidik, keadaan mahasiswa, pelaksanaan pendidikan, tatalaksana administrasi akademik, kepegawaian, keuangan dan kerumahtanggaan.
Kalaupun kecil pengaruhnya pada akreditasi yang menjadi tolak ukur kualitas pendidikan, insiden 03 Oktober itu bisa berpengaruh pada citra kampus sastra.