Oleh Gema Yudha
Krisis multidimensi yang menimpa bangsa Indonesia sekarang ini ditanggapi secara beragam oleh kalangan umat islam. Salah satunya, diusulkan perlunya menerapkan syariat Islam sebagai landasan hukum negara. Dengan pemahaman ini, syariat Islam diyakini dapat menjadi solusi atas peliknya persoalan yang menimpa bangsa Indonesia, mulai dari masalah KKN hingga kemiskinan.
Demikian dikupas dalam diskusi “Formalisasi Islam, Solusi atau Masalah” di Joglo Fakultas Sastra Undip, Kamis (16/4). Diskusi yang diadakan oleh LPM Hayamwuruk dan BEM Fakultas Sastra Undip itu menghadirkan Choirul Anam dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Tengah, Teddy Choliluddin dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang, dan budayawan Dr Mudjahirin Tohir.
“Seandainya syariat Islam diterapkan di Indonesia, maka tidak akan ada orang miskin di negeri ini, kita tidak perlu menanggung hutang yang begitu banyaknya,” kata Choirul Anam.
Dikatakan oleh Anam, dalam Islam mengenal pemerataan kesejahteraan umat, seperti yang tercermin dalam perintah zakat. Ia juga mencontohkan, perusahaan macam Freeport tak boleh dikuasai oleh asing, tapi harus digunakan untuk kemakmuran rakyat Indonesia.
Menurut Anam, anggapan bahwa penerapan syariat Islam itu keras dan kaku dikarenakan kurangnya pemahaman syariat Islam secara menyeluruh. Syariat Islam tidak hanya mengatur masalah ubudiyah, tapi juga masalah-masalah lain. Apakah syariah bisa memberi solusi atau justru menjadi masalah, tergantung bagaimana kita memandangnya.
Namun, gagasan menerapkan syariah Islam di Indonesia itu akan menghadapi beberapa masalah. Budayawan Dr Mudjahirin Tohir, mengajukan pertanyaan, ketika agama sebagai hukum negara, realitas di Indonesia terdapat beberapa macam agama. Apakah penggunaan syariat islam itu berlaku untuk umat muslim atau umum. Jika untuk umum, bisakah syariat memberi rahmat, bukan jajahan?
Menurut dosen Fakultas Sastra Undip itu terdapat dua macam cara untuk mendekati agama. Pertama, teosentrik yakni melihat agama dari tuhan, dari teks. Kedua, Antoposentrik, yakni menempatkan teks sebagai realitas yang dapat memunculkan multiinterpretasi. Ketika agama diperbincangkan, maka agama telah menjadi demokratik. Di sini kita memberikan ruang bagi setiap orang untuk memaknai teks.
“Oleh karena itu, silakan saja mau menerapkan syariat islam selama itu bisa memanusiakan manusia. Jangan semacam godam, yang mau tidak mau harus melakukan. Dan prinsipnya humanisme,” terang wakil ketua PWNU dan alumnus S3 Antropologi UI itu.
Rancu
Gagasan untuk menerapkan syariat Islam di Indonesia di sisi lain dinilai masih rancu. Menurut Teddy, kelompok Islam yang hendak mengusung penegakan syariah Islam, yang disebutkan sebagai positivisasi hukum islam, harus membedakan syariah dengan hukum dan hukum secara komprehensif atau nilai islamnya saja.
Soal syariat Islam, ditambahkan Teddy, Allah menurunkan satu spirit moral, suatu pemikiran yang masih sangat global. Dari sana, peganglah ideal moralnya.
“Al Qur’an itu bukan Qonun atau undang-undang. Al Qur’an tidak menjelaskan secara terperinci, seperti undang-undang. Karena bukan undang-undang, maka jadikan Al Qur’an itu sebagai spirit, kalau tidak maka akan rancu,” tutur alumnus Jurusan Hukum Islam IAIN Walisongo itu.
Teddy mempersilakan kelompok yang hendak mengusung syariah islam, namun ia mengingatkan ada beberapa hal yang harus dilalui, yakni melalui pendekatan secara filosofis, yuridis dan politis. Ketika bisa melewati tiga tahapan metodologi itu, silakan saja, katanya.
Benturan Kepentingan
Dikatakan Mudjahirin, semua agama menganut prinsip humanisme. Hanya saja, dalam aplikasi teks yang humanistik itu telah terjadi distorsi antar kepentingan atas nama tuhan dengan kepentingan organisasi.
“Kalau ada orang Islam kasar, itu orangnya, bukan agamanya. Spirit untuk memperjuangkan agama itu wajib, tapi jangan sampai mengalahkan nilai-nilai humanisme. Tidak kemudian mengatakan mereka yang tidak melaksanakan syariah itu munafik, neraka. Agama kok begitu?”
Sementara itu, Teddy mengkhawatirkan ketika syariat Islam benar-benar diterapkan di Indonesia, orang akan menjadi takut beragama. Hal ini karena negara selain punya watak yang baik, juga punya karakteristik yang menekan.
Pertanyaannya, apakah ketika Islam yang berkuasa itu tidak menekan. Apakah syariah silam itu tidak bertentangan dengan hukum syariah islam yang terdalam itu sendiri? Bagi Teddy, menjalankan ibadah itu karena dorongan, bukan paksaan. Bagaimana jika beribadah sendiri karena dipaksa?
“Bagi saya, beragama itu yang riang-riang saja. Beragama bisa menghilangkan kesusahan,” tambahnya. (Muhamad Sulhanudin)
Caption: Dari kiri, Choirul Anam dari Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Jawa Tengah, budayawan Dr Mudjahirin Tohir, dan Teddy Choliluddin dari Lembaga Studi Sosial dan Agama (eLSA) Semarang.