Oleh Mahfudhoh
Setiap bulan Ramadhan, Jalan Pahlawan diramaikan oleh pedagang musiman. Mereka yang sebagian besar dari kalangan mahasiswa dan pelajar itu menjajakan aneka minuman kepada para pengguna jalan. Ada es buah, es kolak, es cendol dan aneka minuman lainnya.
Semakin sore, arus lalu lintas semakin tak karuan. Apalagi saat beberapa pengendara berhenti untuk membeli atau sekedar menawar. Tetapi, banyak juga diantara mereka yang hanya sekedar cuci mata atau nongkrong sembari menunggu waktu berbuka.
Sore itu kami menemui Joko dan Vita, siswa SMA 15 Semarang yang sedang sibuk menawarkan barang dagangannya. Mereka menyediakan koktail, setup, es blewah dan degan (mereka biasa menyebutnya es bledeg) dan ada pula hongkwe. Mereka mengaku berjualan sejak hari pertama bulan Ramadhan,. Harga yang ditawarkan pun bervariasi, antara Rp1.000 hingga Rp2.000. Diakui mereka, walaupun modal yang dikeluarkan hanya puluhan ribu rupiah, keuntungan yang didapat cukup lumayan.
Dari sekian pedagang musiman itu, yang barangkali unik adalah para waria yang mengaku relawan HIV AIDS. Mereka mengenakan seragam dan atribut khusus. Kami menemui Lisa yang sedang menawarkan barang dagangannya bersama beberapa temannya.
“Keuntungan dari penjualan digunakan untuk membantu teman-teman kita saja. Kan ada yang kerjanya ke luar malam atau ngamen, intinya dari teman untuk teman,” kata Lisa.
Aktivitas musiman seperti ini hanya akan kita temui di bulan ramadhan saja. Selain di Jalan Pahwalan, pedagang musiman juga bisa ditemukan di sejumlah tempat lain di Semarang. Ketika di tanya tentang ada tidaknya teguran dari pemerintah setempat, mereka selalu menjawab sampai sekarang ini belum ada.
“Mungkin pemerintah maklum kali ya…karena tradisi kayak gini kan cuma musiman,” jelas Ani, mahasiswa Teknik Kimia Undip, yang juga berjualan di sepanjang Jl. Pemuda.
Sebagai aktivitas musiman, bisa dikatakan hal seperti itu memang wajar. Tetapi banyak juga di antara mereka yang mengeluh. Arus lalu lintas menjadi macet, tingkah para penjual yang agak sedikit memaksa, dan para penjual yang langsung terjun ke badab jalan membuat suasana semakin semrawut.
Ibu Siti misalnya, yang merasa tidak nyaman dengan adanya penjual yang memenuhi sepanjang jalan. Selain kondisinya yang semrawut, penataannya juga terlihat kurang koordinasi. Meskipun sudah ada pihak kepolisian yang mengatur jalannya lalu lintas, tetap saja kemacetan tidak bisa dihindari. Perihal mereka pernah mendapat teguran atau tidak, ibu Siti sendiri kurang yakin.
“Selain itu, menurut saya mereka kok seperti menjajakan diri. Karena yang lebih ditonjolkan bukan yang di jual tetapi yang menjual,” jelasnya sembari mengamati sekeliling.
Jika memang demikian, alangkah baiknya jika ada semacam koordinasi dengan pihak berwenang agar lalu lintas tetap lancar. Sehingga, pengguna jalan dan pedagang musiman tersebut sama-sama tidak merasa merugikan satu sama lain.***
Keterangan: Pedagang musiman menghentikan pengendara motor di tengah jalan. Kondisi ini membuat jalan menjadi macet. Foto oleh Ari Nugroho.