Oleh: Eka Harisma Wardani
Reporter: Eka H, Ainia P, Dian H, Erwin
September 2009 lalu, media online, khususnya situs indonesiabuku.com ramai membicarakan aksi pembakaran buku Revolusi Agustus: Sebuah Kesaksian Pelaku Sejarah karya Soemarsono. Pembakaran itu dilakukan massa yang mengatasnamakan Front Anti Komunis (FAK) Surabaya. Sebagian besar pembaca situs tersebut memberikan tanggapan dan komentar mengenai aksi tersebut. Mereka mengutuk keras aksi itu karena menurut mereka aksi tersebut merupakan tindakan tak beradab.
Massa FAK itu terdiri dari Centre for Indonesia Community Studies (CICS),
Front Pembela Islam (FPI) Surabaya, Forum Madura Bersatu (Formabes), Pelajar Islam Indonesia (PII), Front Pemuda Islam Surabaya (FPIS), Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur, Front Ukhuwah Islamiyah (FUI), DHD ‘45 Cabang Surabaya, anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI), serta beberapa kelompok lainnya. Aksi demo itu berkaitan dengan protes atas artikel tentang sejarah dan masa lalu Soemarsono yang ditulis Dahlan Iskan, Chief Executif Organization (CEO) Jawa Pos. Artikel tersebut dimunculkan tiga edisi berturut-turut 9-11 Agustus 2009 di halaman depan Metropolis, Jawa Pos. “Soemarsono, Tokoh Kunci dalam Pertempuran Surabaya” adalah judul dari tulisan itu.
Dalam tulisan itu, Soemarsono disebut menjabat sebagai ketua Pemuda Republik Indonesia (PRI), sebuah organisasi yang menghimpun hampir seluruh kekuatan pemuda di Surabaya. Soemarsono ditulis sebagai tokoh utama pertempuran Surabaya 1945 dan tokoh utama Peristiwa Madiun 1948. Tulisan itu membuat berang kalangan antikomunis.
Massa FAK Surabaya berorasi menolak artikel tersebut. Mereka mendesak pemilik Grup Jawa Pos, Dahlan Iskan, meminta maaf kepada umat Islam dan bangsa Indonesia (Koran Tempo, 3 September 2009) atas tulisannya yang dianggap kental dengan dukungan terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI), khususnya kepada Soemarsono. Mereka mendatangi kantor Jawa Pos Surabaya di Jalan A. Yani, 2 September 2009 lalu. Para demonstran melakukan aksi dan orasi di depan gedung DetEksi Basketball League (DBL) Surabaya, yang letaknya di depan Kantor Graha Pena, Kantor utama Jawa Pos.
Selain memprotes tulisan tentang Soemarsono, massa juga kecewa dengan berbagai liputan Jawa Pos yang dinilai mendukung pornografi dan foto-foto seronok. Massa mempermasalahkan headline Jawa Pos tentang finalis Miss Universe asal Indonesia dengan pakaian two piece (swimsuit)
“Tak hanya masalah komunisme, Jawa Pos juga menunjukkan perangai tidak baik dengan pemberitaan kontestan Miss Universe yang menggunakan pakaian seronok,” ungkap Abdurrahman Aziz, Ketua MUI Bidang Informasi dan Komunikasi saat memberikan orasi dengan membawa kopian gambar tersebut. (iboekoe, 8 September 2009).
Profesor Aminudin Kasdi, Guru besar Ilmu Sejarah Universitas Negeri Surabaya (UNESA) (dulu IKIP Surabaya) juga hadir memberikan orasi protes tersebut. Setelah membacakan pernyataan sikap, akurat, Muhammad Khoiruddin, dan Nazir Zaini (Formabes) beramai-ramai membakar buku testimonial Soemarsono, “Revolusi Agustus: Sebuah Kesaksian Pelaku Sejarah”. (iboekoe, 8 September 2009).
Buku itu diterbitkan Hasta Mitra, November 2008. Dalam bukunya, Soemarsono membantah PKI memberontak dengan Peristiwa Madiun. Dia juga memaparkan pengalaman pribadinya turut aktif dalam revolusi Agustus 1945, terutama Peristiwa Madiun. Pengenalan dan pemahamannya tentang tokoh-tokoh Bangsa Indonesia juga dia ceritakan, mulai dari Bung Karno, Hatta, Soetan Sjahrir, Amir Sjarifoeddin, Musso, Tan Malaka, sampai DN Aidit. Tak hanya memuji para pejuang nasional, tapi dia juga mengkritiknya, termasuk mengkritik DN Aidit (kader PKI).
Buku itu diedit oleh Komisi Tulisan Soemarsono. Dalam Catatan Penerbitnya, Joesoef Isak, menyatakan bahwa Peristiwa Madiun pada hakekatnya bukan konflik antara Soekarno dan Soemarsono, Amir Sjarifoeddin, melainkan merupakan gelanggang pertunjukan aplikasi paradigma perang dingin adikuasa anti-komunis dengan darah dan kekuatan senjata menumpas kubu kaum kiri. Gondo Pratomo, Francisca Fanggidey, Roesiyati Roedhito (tiga orang saksi dan terlibat dalam Peristiwa Madiun) memberikan catatannya pada lampiran buku itu. Teks lengkap Resolusi Jalan Baru Untuk Republik Indonesia turut melengkapi buku itu.
Selang beberapa hari tepatnya Senin, 7 September 2009, komunitas pecinta buku, masyarakat, generasi muda/ mahasiswa pengabdi Hak Asasi Manusia (HAM) dan demokrasi mengadakan aksi menolak pembakaran buku di depan gedung Grahadi, Surabaya. Diana AV Sasa sebagai koordinator aksi.
Dalam aksinya (iboekoe.com, 8 september 2009) mereka menuju jalan raya, membagikan selebaran dan menenteng poster. Sambil berjalan mereka berorasi. ”Buku adalah dokumen sejarah yang padanya setiap generasi akan belajar tentang sejarah bangsanya. Biarlah buku lahir dan mencari sendiri pebacanya. Ia adalah anak-anak nurani setiap penulis. Maka jangan sekali-kali merendahkannya. Pembakaran buku adalah tindakan pembodohan…!!” teriak Slamet Wahedi, salah satu demonstran.
Sirine berbunyi. Massa tak genap 20 orang tersebut kemudian menepi. Upacara buku digelar. Mereka duduk melingkar mengitari ‘monumen’ buku sambil memegang buku. Taufik Monyong sebagai pemimpin upacara itu. Taufik Monyong memegang Davinci Code, Agus Gembel memegang Manuskrip Celestin, Nisa memegang Filosofi Kopi, sementara Diana memegang Tuhan Ijinkan Aku Menjadi Pelacur. Lalu, ditaruh buku-buku itu dipangkuan mereka. Secara bersamaan mereka buka halaman 9 yang mestiya 7, sebagai simbol tanggal aksi itu. Kemudian mereka baca dengan suara lantang. Berikutnya halaman 19, simbol bulan september-9. Mereka baca keras-keras. Mereka memegang buku tepat di depan dada, simbol buku sebagai dokumen sejarah bagi masa depan. Lalu beralih ke halaman 29, simbol tahun 2009. mereka angkat buku ke atas kepala dan membacanya. Upacara diakhiri dengan menaruh buku di atas kepala sembari mengucap “terimakasih buku” sebanyak 7x. Nisa Diani, Agus Gembel, Slamet Wahedi membacakan puisi dan cerpen bergantian. Kemudian aksi ditutup dengan membaca pernyataan sikap ”pembakaran buku adalah tindak kejahatan” (iboekoe.com, 8 september 2009).
Aksi 7 September tersebut mendapat banyak dukungan. Antara lain datang dari komunitas pecinta buku, komunitas Korban Tragedi Kemanusiaan 1965/1966 yang tergabung dalam Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966, dll. Mereka membuat petisi tolak pembakaran buku dan mengecam tindak pembakaran buku. Blog-blog dan media-media online ramai menampilkan kecaman atas aksi pembakaran buku itu. Misalnya blog Andreas Harsono yang menunjukkan petisi penolakan pembakaran buku itu. Ratusan orang yang terdiri dari sejarawan, aktivis, wartawan, mahasiswa, umum, mendukung petisi penolakan pembakaran buku. Bahkan, ibu rumah tangga pun mendukung petisi itu.
Mereka juga menyayangkan tindakan Prof. Aminuddin Kasdi (AK) yang menjadi mediator aksi pembakaran buku 2 Sepetember lalu. Prof. AK membiarkan aksi pembakaran buku karya Soemarsono tersebut. Terlebih lagi, dalam orasinya Prof. AK mengatakan sejarah adalah versi pemenang. Sebaliknya yang kalah tak berhak atasnya. (iboekoe.com). Pernyataan Prof. AK itu membuat gerah para komunitas pecinta buku. Bahkan, Zen Rahmat S. (jebolan mahasiswa sejarah Universitas Negeri Yogyakarta, UNY) terang-terangan menulis surat pada Prof. AK. Surat tersebut berisi ketidaksepakatan dan sindiran atas tindakan Prof. AK.
Saat diwawancai kontributor Indonesia Buku Eri Irawan Senin, 7 September 2009 lalu tentang alasan pembakaran buku itu, AK menjawab hal Itu sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap Soemarsono. Menurutnya, Soemarsono tidak mengakui kalau kabinet pemerintahan dimulai dari kabinet presidensiil, tapi dimulai dari Kabinet Amir Syarifuddin. Dia menanyakan di mana Kabinet Sjahrir I dan II.
“Satu lagi, Soemarsono tidak menjadikan 17 Agustus 1945 sebagai titik tolak perjuangan bangsa, karena itu dia menyebutnya Revolusi Agustus. Kan bagi dia masih ada revolusi lagi untuk menuju masyarakat Komunis. Nah, pandangan itu kan mencerminkan kalau dia komunis tulen” tambahnya.
Ketika ditanya kenapa sampai membakar buku, Prof. AK mengatakan aksi itu merupakan bentuk ketidakpuasan dan ketidaksetujuan masyarakat. “Orang tahu PKI itu menghalalkan segala cara. Soal menulis tanggapan, sudah banyak buku yang ditulis” katanya.
Jawaban Prof. AK tak disepakati oleh kelompok pecinta buku. “Dengan alasan apapun, tindak pelarangan buku harus dihentikan. Kebebasan berpendapat sudah dijamin baik secara lisan maupun tulisan dalam Undang-Undang Dasar 1945. Tindakan pembakaran buku adalah sikap fasistis yang bertentangan dengan kemanusiaan dan upaya mencerdaskan masyarakat” kata Bonnie Triyana, sejarawan.
“Saya sendiri belum sepenuhnya setuju dengan isi buku tersebut, namun apakah harus diakhiri dengan teror seperti itu. Aksi-aksi seperti itu harus kita larang, karena bisa terulang di kemudian hari,” tambahnya.
Kresno Winarno, mahasiswa sejarah angkatan 2006 Undip juga menyatakan hal yang sama. “saya tidak setuju dengan tindak pembakaran buku itu”. Menurutnya pembakaran buku merupakan tindakan orang-orang yang berpikiran sempit, tak rela dengan adanya perbedaan pendapat.
Aksi pembredelan buku, pembakaran buku, dan penggelapan buku tak hanya terjadi sekali saja di Indonesia. Sebelumnya tahun 2007, 1.080 buku sejarah untuk SMP/MTS dan SMA/MA/SMK dari berbagai macam penerbit dibakar. Pembakaran buku itu dilakukan Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Karawang pada 6 September 2007. Tindakan yang dilakukan Kejari itu disaksikan sejumlah jaksa dan pejabat dari kepolisian Karawang (khawariz.multiply.com).
Pembakaran buku sejarah menurut Suwarsono, SH., Kepala Kejari Karawang sesuai dengan Surat Keputusan SK Jaksa Agung RI Nomor: Kep-019/A/JA/03/2007 tertanggal 5 Maret 2007 tentang Larangan Beredarnya Cetakan Buku-buku Teks Pelajaran Sejarah SMP/MTS dan SMA/MA/SMK yang mengacu kepada kurikulum 2004.
Saat ditanya mengapa buku-buku itu dibakar, Suwarsono menjelaskan, “Kami hanya melaksanakan SK Jaksa Agung yang melarang beredarnya buku-buku sejarah. Buku pelajaran yang tidak memuat tentang G-30 S/PKI merupakan salah satunya buku yang dimusnahkan.” (khawariz.multiply.com)
Hanya karena buku-buku sejarah tersebut tidak memuat peristiwa G30 S/PKI, buku-buku tersebut harus dibakar dan dimusnahkan. Sayang, memang. Sampai detik ini, entah sudah berapa ratus ribu buku sejarah yang dibakar dengan alasan isinya tidak memuat G-30 S/PKI.
Di belahan bumi lain, pembakaran buku-buku yang tidak sepaham, karangan musuh telah terjadi berabad-abad bahkan beribu tahun yang lalu. Mulai dari era Romawi Kuno, masa Kedinastian Cina, sampai abad ke-20 di Eropa dan Amerika Serikat.
Pembakaran buku, menurut catatan yang ada, telah terjadi saat Persia mengalahkan Kerajaan Babylonia yang didirikan Hammurabi (2123-2081 Sebelum Masehi-SM) pada 539 SM. Berbagai manuskrip penting hancur akibat perang penaklukan itu. Selanjutnnya, Shi Huang-ti (246-210 SM), pendiri dinasti Qin di Cina daratan memerintahkan pembakaran buku-buku konfusian pada 213 SM. Hal itu dilakukan untuk mencegah pengaruh suatu ajaran (pemikiran).
Perpustakaan Besar Iskandariah (the Great Library of Alexandria) terbakar pada 47 SM. Awalnya Julius Caesar, penakluk dari Roma, membakar kapalnya yang sandar di pelabuhan agar tak dirampas Mesir yang dikuasai dinasti Ptolemi. Namun, kobaran api membesar dan memusnahkan berbagai bangunan di pelabuhan, termasuk perpustakaan. Perpustakaan itu disebutkan berisi 400.000 gulung manuskrip di atas kertas papirus. Perpustakaan itu dibangun Ptolemaeus Soter (350-283 SM) di areal pelabuhan Iskandariah untuk memelihara kebudayaan Yunani di tengah konservatisme Mesir.
Pada milenium pertama, Kaisar Romawi Theodosius (378-396 M) memerintahkan untuk menghancurkan Pustaka Besar Iskandariah, yang dibangun kembali oleh Antonius pada 41 SM. Perulangan sejarah pembakaran buku juga terjadi di berbagai kota di Amerika dan Eropa pada abad ke-20.
Di Jerman, Hitler memerintahkan tentara Nazi merampas semua literatur yang menurutnya bertentangan dengan kebijakan Jerman. Karya-karya Sigmund Freud, Karl Karl Marx, Heinrich Hiene, dibakar pada 10 Mei 1933. Nazi membakar buku-buku itu dengan suhu mencapai 451 derajad Fahrenheit. Peristiwa itu digambarkan gamblang dalam film garapan François Truffaut berjudul Fahrenheit.
Kini, setelah ribuan tahun lebih tragedi itu menular ke Indonesia. Satu karya Frans Magnis Soeseno berjudul Pemikiran Karl Marx, Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme dibakar Aliansi Anti Komunis (AAK) di markas aliansi tersebut jalan Menteng Raya No 58 Jakarta, tanggal 19 April 2001 (www.suarapembaruan.com).
Setelah pembakaran itu AAK menyatakan akan melakukan sweeping dan membakar buku-buku kiri karya Karl Marx, Engels, Lenin, Antonio Gramsci, dan sebagainya. Mereka beralasan pemerintah tidak menjalankan TAP MPRS No XXV tahun 1966 yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan pelarangan terhadap penyebarluasan ajaran Marxisme dan Lenisme. Namun, Sweeping dan pembakaran buku-buku tanggal 20 Mei 2001 itu tidak jadi. Sekjen AAK, Muhammad Noval Dunggio menyatakan bahwa pembatalan dilakukan karena dikhawatirkan terjadi penunggangan kegiatan itu oleh pihak ketiga. Meski sweeping dan pembakaran tanggal 20 Mei 2001 itu dibatalkan, pernyataan AAK sebelumnya sudah menakutkan para penerbit dan toko buku. buku-buku yang dianggap bakal kena sweeping hilang dari toko-toko buku (www.suarapembaruan.com).
Buku-buku yang dibakar di Indonesia kebanyakan buku-buku kiri yang menurut AAK sebagai buku berhaluan komunis. Tak hanya buku kiri yang menjadi daftar sasaran pembakaran. Karya Franz Magnis S. yang mengkritisi pemikiran Marx juga terdaftar. “Kalau yang punya alasan membakarnya paling-paling kaum komunis dan Marxis, karena di dalamnya saya justru memberikan kritik mendalam dasar-dasar ajaran Marx,” tulis Franz Magnis dalam e-mail kepada teman-temannya.
Magnis khawatir kaburnya pengertian soal kiri, sosialis, sosial demokrat, Marxian dan Marxis. Apalagi jika menyamakan teologi pembebasan dengan komunis. “Itu secara obyektif salah dan secara etis fatal karena dengan demikian sikap yang berpihak kepada orang yang tertindas dan diperlakukan tidak adil disamakan dengan komunisme,” tulis Magnis.
Ketua Umum Gerakan Pemuda Islam (GPI), M Suaib Didu, meresahkan buku-buku kiri karena dianggap tidak hanya jadi kajian ilmiah, tapi juga dijual kepada umum sampai ke Kaki Lima.”Kami tidak melarang orang berkarya. Tetapi perhatikanlah undang-undang dan etika moral yang ada di negeri ini,” kata Suaib (www.suarapembaruan.com).
Pembakaran buku telah menjadi budaya bagi orang-orang yang ingin melanggengkan kekuasaan. Mereka menganggap buku sebagai sebuah ancaman. Pada zaman Orde baru, rezim totaliter, dimana kebebasan berpendapat dikekang, pemberedelan, pemberangusan buku-buku, karya sastra, majalah, koran, dll. terjadi. Buku-buku, majalah, sastra, dll. yang tidak sesuai dengan rezim kala itu harus dimusnahkan. Buku-buku pramoedya Ananta Toer, misalnya.
Alfred Whitney (1906-1963), seorang pendidik dan sejarawan AS, dalam bukunya berjudul Esei Tentang Pendidikan, menulis bahwa buku tidak akan bisa dibakar. Ide-ide tidak akan mungkin dipenjarakan. Satu-satunya senjata yang ampuh melawan ide-ide buruk adalah dengan ide-ide yang baik. Dan sumber ide-ide yang baik adalah kebijaksanaan.
Bagi Pramoedya, penulis roman tetralogi Buru, pembakaran buku merupakan tindakan brandal dan tidak pada tempatnya dilakukan di era demokratisasi.”Kalau tidak setuju dengan isi buku, balas dengan buku tandingan,” kata Pram.
Hal itu seperti yang dilakukan Muhidin M Dahlan dan Rhoma Dwi Aria Y. September 2008 kemarin. Mereka menerbitkan Buku Lekra Tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965. Buku itu berisi tentang essay-essay yang dikomentari oleh mereka sebagai penulisnya. Buku itu memuat sepuluh bagian tentang riwayat Harian Rakjat, sastra, film, seni, dll. yang dilakukan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra). Buku tersebut ditengarai sebagai antitesis buku Prahara Budaya: Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI dkk. Prahara Budaya ditulis Taufik Ismail dan DS Moeljanto, 1995. Mizan dan Republika adalah penerbitnya.
Saat Hayamwuruk mewawancarai Muhidin di Yogyakarta, Juni 2009 lalu, dia mengatakan bahwa bukunya bersifat politis. “Saya jelas membela lekra. Saya menulis suara lekra dari sudut yang lain. Gak ada netralnya ini” katanya.
Menurutnya semua buku adalah politis. Semua karya sastra juga politis. Semua hal yang dilarang bersifat politis, termasuk Prahara Budaya. “Omong kosong orang bilang buku, karya sastra gak politik” tambahnya.
Lekra tak Membakar Buku yang ditulis Muhidin dan Rhoma hanya mengambil satu sumber, Harian Rakjat, koran milik PKI. Saat kami menanyakan kenapa Harian Rakjat, Gus Muh, panggilan akrab Muhidin menjawab karena banyak hal tentang budaya dan sastra, puisi/cerpen, film, seni rakyat dan kegiatan yang dilakukan Lekra difasilitasi dengan mewah oleh Harian Rakjat pada rubrik lembar kebudayaan. “Hal inilah yang menarik kami untuk meriset lembar budaya pada Harian Rakjat”, kata Gus Muh.
“Sebetulnya buku ini buku sampingan karena secara bersamaan kami mengerjakan banyak sekali program penulisan/riset sejarah secara kolektif. Selama satu tahun kami melakukan riset Seabad Pers Kebangsaan 1907-2007, Tanah Air Bahasa: Seratus Tokoh Pers Indonesia, Kronik Seabad Kebangkitan Indonesia 1908-2008, Almanak Abad Partai Indonesia, DIA.RI Partai Politik: Seratus Jalan Parlementer, dan Seabad Pers Perempuan 1908-2008. Selingan dari semua riset itu adalah trilogi Lekra tak Membakar buku, Gugur Merah, dan Laporan Dari Bawah”, tambahnya.
Lekra Tak Membakar Buku menjelaskan sisi lain dari Lekra yang diperkenalkan pada Prahara Budaya. Dalam Prahara Budaya Lekra disebut sebagai aparat atau tangan kanan PKI di bidang kebudayaan. “bukan hanya lekra, lekra itu memang aktor yang utama, akan tetapi ada lagi organisasi-organisasi yang sejalan dengan lekra, ada Lesbi ada LKN, ada beberapa organisasi kebudayaan yang sejalan dengan lekra. Lentera itu adalah rubrik kebudayaan yang ada di harian Bintang Timur, nah itu juga sangat kiri, itu diasuh oleh Pramoedya Ananta Toer” kata Taufik Ismail saat kami mewawancarainya di Hotel Gracia, Semarang, Juli 2009.
Saat ditanya apakah benar lekra tidak membakar buku, Taufik menjawab, kemungkinan benar jika lekra tak membakar buku. Tapi menurutnya yang membakar adalah partai politik beserta ormas-ormasnya. “Mungkin sekali ada anggota-anggota lekra yang ikut, saya tidak tahu itu. kalau mereka mengelak dan bilang tidak, barangkali ada benarnya itu. Akan tetapi Besar kemungkinan bohong”, katanya.
“pada tahun 64-65 seperti yang saya katakan tadi, kegiatan-kegiatan yang menuju perebutan kekuasaan, salah satu kegiatan yang mereka lakukan itu adalah mereka membakar buku. Buku-buku yang ada di Jakarta yaitu di pusat kebudayaan Amerika, perpustakaan kedutaan Amerika, mereka masuk dalam bentuk mereka merayah, mereka merampok masuk ke dalam dengan paksa, mengeluarkan buku dengan paksa, disebar di jalan buku-buku itu, kemudian dibakar”, tambahnya.
Namun ketika ditanya apakah yang melakukan pembakaran itu lekra atau tidak, Taufik menjelaskan tidak jelas siapa yang melakukannya. Tapi dia beranggapan bahwa PKI yang melakukannya.
Menurut Maman S Mahayana, dosen Fakultas Ilmu Budaya Univeritas Indonesia, saat kami mewawancarai di rumahnya Agustus 2009 lalu, mengatakan pembakaran buku itu benar terjadi. “Dalam Koran Zaman Baru terbitan lekra terdapat potret pembakaran buku, dan itu memperingati ulang tahun PKI, faktanya memang seperti itu” katanya.“Yang dilakukan Muhidin itu tidak apa-apa sebagai usaha pembelaan, jangan dilarang, karena pelarangan adalah pemberangusan,” tambahnya.
Menurut Dr. Baskara T. Wardaya SJ, Direktur PUSDEP, Pusat Sejarah dan Etika Politik, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta saat kami mewawancarai di kantornya Juni 2009 lalu mengatakan bahwa Lekra Tak Membakar Buku merupakan buku penting dan menarik. Romo Bas panggilan akrab Dr. Baskara menambahkan bahwa buku lekra mencerminkan hasrat generasi muda untuk menyusuri kembali jejak sejarah dari perspektif yang berbeda. Prespektif yang lebih tebuka, kritis, kreatif, dan lebih bersikap positif terhadap rakyat.
Senada dengan Romo Baskara, Budi setyono wartawan senior Pantau saat kami mewawancarai di kantornya Agustus 2009 lalu, mengatakan buku lekra itu menarik, menawarkan prespektif berbeda dari yang pernah ada. Namun, Buset panggilan akrab Budi Setyono menyayangkan buku ini hanya mengambil dari satu sumber, koran Harian Rakjat dan tidak menggali informasi dari pelakunya, yaitu orang-orang lekra.
Pendapat Buset tersebut dijawab Muhidin, “sebenarnya ada upaya untuk mewawancarai orang lekra yang masih hidup, tapi yang masih hidup tinggal satu dua orang. Itupun orangnya sudah kena pengaruh, gak seperti dulu,” katanya.
Terlepas dari benar atau tidak, tindakan pelarangan buku, terlebih pembakaran buku adalah suatu tindakan yang tidak perlu dilakukan. “kalo buku dilarang artinya ada penggelapan sejarah, setelah membaca karya lekra tidak langsung masuk PKI, setelah membaca karya pram, tidak serta merta masuk komunis. Biar masyarakat yang menilai,” kata Maman.
Namun, bagaimana dengan fenomena yang ada di Indonesia belakangan ini. 22 Desember 2009 lalu seperti berita yang dilangsir Suara Merdeka, 11 Januari 2010 kemarin sebanyak 5 buah buku dilarang pemerintah sesuai keputusan Jaksa Agung KEP-139-143/A/JA/12/2009. Salah satu dari kelima buku itu adalah Lekra Tak Membakar Buku, Suara Senyap Lembar Kebudayaan Rakjat 1950-1965. Buku-buku yang dilarang tersebut dianggap mengganggu ketertiban umum, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, dan Pancasila. Tapi, tidak disebutkan secara rinci bagian mana dari kelima buku itu yang menganggu ketertiban umum, bertentangan dengan UUD 1945, dan Pancasila.
Tindakan pelarangan buku-buku itu menurut Maman merupakan kemasan berlebihan dari pemerintah. “Pelarangan itu pemberangusan. Klo beda pendapat lawan lagi dengan tulisan lagi. Pertempuran itu pertempuran pemikiran,” lanjutnya.
Yosep Adi Prasetyo, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) beranggapan, pelarangan buku melanggar HAM. Hal ini disebabkan membatasi hak berekspresi dan mendapatkan informasi bagi warga Negara.
“Benar atau tidaknya isi sebuah buku biar masyarakat yang menilai, seburuk2 karya tetep sebagai prestasi dari seseorang, pemikiran seseorang, dan tidak perlu dilarang, apalagi dibakar,” kata Maman.