KMSI Mengenang Chairil Anwar

Oleh : Achmad Dwi Afriyadi

Penyunting: Qur’anul Hidayat Idris
Peliput: Desta Ayu Wulandari

Siang itu (28/04/2011), terasa terik sekali, Jam menunjukan pukul 13.15 WIB. Parkiran Fakultas Ilmu Budaya Undip tampak gersang dengan kendaraan yang sesekali keluar masuk. Di area parkiran inilah seorang pemuda berkacamata dengan kemeja putih berdiri sambil meneriakkan rangkaian kata puisi Chairil Anwar. Akhlis Fuadi, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia 2008 itu membuat opening pertunjukan dengan memukau.

Layaknya estafet, Heri Irfani yang berdiri di atas tembok parkiran lanjut membacakan puisi Chairil Anwar. Selanjutnya tugas membaca puisi diambil Qur’anul Hidayat di atas pinggiran kolam. Lalu, Abdul Rochim di dalam gubuk buatan di depan pintu masuk gedung FIB, diteruskan oleh Ashar di pintu masuk gedung. Pembacaan terus dilakukan secara bergantian sambil berjalan menuju ruang pertunjukan di lantai 2.

Aksi yang mereka lakukan bertujuan untuk menggiring massa. Pertunjukan yang mereka lakukan merupakan bagian dari rentetan acara yang diadakan oleh KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) untuk mengenang hari wafatnya Chairil Anwar di Tahun 2011, bertajuk ”Karena… Chairil Anwar”.

Ruang pertunjukan masih sepi saat rombongan pembaca puisi kembali, mereka pun akhirnya memutuskan untuk kembali mencari massa di lantai 3 dan lantai 2. Pada kloter pembacaan kedua ini terdapat 2 pembaca baru, Trisena Surya Anggara dan Bramtalaras. Usaha mereka ternyata berhasil, di dalam ruangan pertunjukan penonton sudah mulai ramai.

Panggung ruang pertunjukan sudah di tata sedemikian rupa. Di bagian kiri, terdapat gambar Chairil Anwar berukuran besar, di bagian tengah diisi tempelan-tempelan kertas A4 bertuliskan penggalan singkat hidup Chairil. Dibagian kanan terdapat kain putih menjuntai dari atas sampai ke bawah lantai panggung yang terus bergerak ditiup angin.

Sebelum acara resmi dibuka oleh Ashar dan Heri, pembawa acara di acara ini, Sony, mahasiswa Sastra Indonesia 2006 terlebih dahulu membacakan puisi ’Karawang Bekasi’ dengan suara khasnya yang lantang. Sebenarnya pembawa acara berjumlah 3 orang, namun Akhlis datang terlambat, sontak penonton terawa ketika ia masuk ke panggung dengan malu-malu.

Serentetan acara pun mulai dibacakan. Dimulai dari pertunjukan musikalisasi puisi yang dibawakan oleh Sastra Indonesia 2010 yang diwakili oleh 3 mahasiswa wanita berpakaian hitam dan 1 laki-laki berkemeja putih. Mereka bergiliran membaca puisi Chairil Anwar, dimulai dari Eka, diteruskan Mega dan Syifa, sedangkan Danu bertindak sebagai pengiring dengan gitar. Sae dan Alvi membuat kejutan dengan ikut naik ke atas panggung ikut menyanyikan lagu OST film Gie yang dikarang oleh Eross Chandra berjudul ‘Cahaya Bulan’.

Acara dilanjutkan oleh PMK dengan penampilan yang tidak mau kalah hebatnya, 2 wanita bersuara merdu membuat decak kagum penonton.

Hermintoyo selaku pembina KMSI, Mujid Farihul Amin selaku PD III, Fajrul Falah yang merupakan mantan ketua KMSI periode 2009/2010 baru masuk ke ruang pertunjukan. Setelah penampilan PMK yang membawakan 2 buah lagu, acara dilanjutkan dengan sambutan dari Hermintoyo sebagai perwakilan Kepala Jurusan Sastra Indonesia yang sedang berhalangan hadir. Acara diselingi serah terima jabatan pengurus lama ke pengurus KMSI periode 2010/2011. Prosesi serah terima jabatan ditutup oleh sambutan dari PD III.

Pertunjukan belum berakhir, Hidayat ditemani adik magangnya tampil mewakili LPM Hayamwuruk, mereka membacakan 2 buah puisi Chairil Anwar, dilanjutkan oleh perwakilan Sastra Indonesia angkatan 2009, Trisena, Jeny, Ido, Nurul, dan Cipto melantunkan puisi ‘Aku’ dalam musikalisasi puisi. WMS tak mau ketinggalan, mereka membawakan sebuah lagu dari Melly Goeslaw berjudul ‘Bimbang’. Diteruskan oleh HMJ Sejarah dengan 2 penampil mereka, membawakan beberapa buah lagu. Sastra Indonesia angkatan 2008 hadir juga dengan musikalisasi puisi. Tak kalah heboh, Teater Emka menampilkan dramatisasi puisi dengan 4 orang penampil. Terakhir, pertunjukan dari HMJ dan UKM ditutup oleh BEM berkolaborasi dengan SEMA membawakan musikalisasi puisi, di penampilan penutup, ketua BEM, Febri Taufiqurrahman mengajak penonton berjoget bersama dengan menyanyikan lagu ‘Bukan Bang Toyib’ dari grub musik Wali.

Galih Pandu Adi, seorang sastrawan muda sekaligus pembicara di acara ini dipersilahkan oleh pembawa acara untuk terlebih dahulu membacakan puisi Chairil Anwar. Dia meminta Adi Hariyadi, mahasiswa Sastra Indonesia 2006 untuk mengiringi puisi yang dia bacakan dengan alunan gitar.

Setelah pembacaan puisi tersebut, sarasehan pun dimulai dengan pembahasan tentang kehidupan dan karya Chairil Anwar. Ahmad Khairudin yang aktif di Organisasi Hysteria sebagai direktur juga selaku pembicara kedua dipanggil untuk naik ke atas panggung, penonton sudah berkurang ketika sarasehan dimulai.

Pandu menjelaskan secara ringkas tentang kisah hidup Chairil Anwar sedangkan Adin—panggilan Ahmad Khairudin—lebih menyoroti karya, sisi tekstual dan non-tekstual kepengarangan Chairil Anwar. Dalam sarasehan terdapat beberapa penanya, diantaranya adalah Jasmin dari Sastra Inggris 2009 yang menanyakan tentang sebab karya Chairil Anwar booming setelah kematiannya.

Menanggapi pertanyaan itu, Pandu menjawab, “karya Chairil memang memiliki kualitas yang baik dan ia menjadi pendobrak nilai perpuisian lama. Masalah kematiannya, itu hanya sebab yang membuat karyanya semakin diingat masyarakat”. Adin mempunyai jawaban berbeda, menurutnya booming-nya Chairil dikarenakan sosok H.B. Jassin, “Jassin telah menjadikan Chairil sebagai pelopor angkatan ’45, ini sedikit banyak ada kebutuhan politis, karena sebenarnya di waktu itu tidak hanya Chairil yang punya karya kuat.”.

Jawaban Adin membuat sudut baru dalam sarasehan, Adin tidak menampik karya Chairil memiliki kekuatan teks, namun ia menyoroti perseteruan antara Lekra-Manikebu dalam andil kebesaran namanya. H.B. Jassin memiliki kebutuhan politis untuk melebarkan jangkauan paradigma sastra Humanisme Universal.

Pada akhirnya, sarasehan ditutup dengan kesimpulan bahwa tidak semua hal di dunia itu baik dan buruk, semua memiliki dua mata sisi yang mengirinya. Begitu juga Chairil Anwar, ditengah nilai positif keberkaryaan dan nama besarnya, ia tidak bisa lepas dari isu diluar karyanya. Yang perlu diingat, Chairil tetaplah berperan penting dalam mendobrak nilai kebebasan perpuisian di Indonesia, “seburuk apa pun Chairil, kita bisa mengambil sikap untuk diri sendiri.” tegas Pandu.

Ditanya sesaat setelah acara selesai tentang tujuan utama mengadakan acara ini, Bramtalaras sebagai ketua KMSI sekaligus ketua panitia mengatakan bahwa selain untuk mengenang kematian Chairil Anwar, acara ini ditujukan untuk mengenal chairil secara lebih mendalam. “ini wujud dari kegiatan nyata KMSI berperan aktif dalam masalah kebudayan, acara ini lebih difokuskan untuk mengenalkan nama Chairil secara lebih mendalam.” Tukasnya bersemangat.

Rizal dari BEM berkata tentang Chairil Anwar “karyanya cukup bagus, buat inspirasi generasi muda sekarang”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top