Oleh: Destaayu Wulandari & Achmad Dwi Afriadi
Tukang Foto : Syaiful Romadhan
Penyunting : Qur’anul Hidayat I
Pagi itu (06/05/2011) ruang sidang gedung rektorat Universitas Negeri Yogyakarta mulai disesaki banyak orang. Ada yang memakai jas almamater, ada juga yang memakai baju bebas. Mereka perwakilan mahasiswa sastra Indonesia dari perguruan tinggi di Indonesia yang sedang menghadiri acara Simposium Internasional ”Paradigma Pemuda dalam Perencanaan Bahasa”. Ini adalah rangkaian acara yang diadakan oleh IMABSII untuk memperingati 7 tahun sejak berdirinya, yang berlangsung 3 hari yaitu 6-8 Mei 2011.
Musik dari gamelan beriringan, hingga akhirnya acara dibuka oleh 2 pembawa acara pada pukul 08.40. Setelah itu, peserta dipersilahkan berdiri untuk bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya diiringi oleh dirijen.
Selanjutnya, 2 orang penari masuk membawakan tari Golek Ayun-ayun. Memakai pakaian hitam emas khas Jawa, menggunakan jarik batik, selendang coklat tua dan menghiasi kepalanya dengan mahkota berbentuk seperti burung. Para penari tersebut bergerak lemah gemulai dengan indahnya, berlenggak lenggok seperti burung. Mereka adalah mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta.
Menuju acara berikutnya, Ketua panitia lokal, Amar Akbar Fauzi mengucapkan terimakasih kepada peserta yang telah hadir untuk acara ini. Dilanjutkan dengan pembukaan oleh sekjen IMABSII, Ahmad Mulyadi, menerangkan tentang pentingnya pemuda dan mahasiswa mengambil peran dalam perencaan bahasa. Selain itu, ia juga menyampaikan pemenang sayembara penulisan dan pengurus terteladan di IMABSII.
Sambutan dilanjutkan oleh Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Unversitas Negeri Yogyakarta. Ia menjelaskan bahwa sebagaian besar pengguna bahasa adalah remaja dan remajalah yang secara sadar banyak menggunakan bahasa seperti slenk, alay, jargon, dll. Penggunaan bahasa-bahasa tersebut sangat berpengaruh terhadap perkembangan bahasa. Harapannya penggunaan bahasa seperti ini, tidak merusak bahasa. Tidak lupa, dia juga mengucapkan selamat datang kepada peserta yang telah hadir.
Sambutan terakhir disampaikan oleh Pembantu Rektor I yang sekaligus membuka acara secara resmi pada pukul 09.30. Ia mengatakan bahwa bahasa Indonesia merupakan media yang dapat digunakan untuk menyatukan bangsa Indonesia seperti yang terjadi pada sumpah pemuda Tahun 1928. Dia juga optimis menyampaikan tentang mudahnya bahasa Indonesia untuk dipelajari dan cukup efektif untuk dijadikan bahasa Internasional.
Setelah sambutan berakhir, panitia acara mempersembahkan tarian Tor-tor Sembah dari Universitas Simalungun. Dengan musik pengiringnya, 6 orang penari berpakaian merah dengan hiasan merah dikepala menghibur peserta yang hadir. Di tempat asalnya Simalungun, tarian ini ditujukan untuk menyambut tamu kehormatan yang berkunjung.
Menuju puncak acara pada simposium ini, 4 (empat) orang pembicara dipersilahkan untuk maju ke depan podium menyampaikan materi untuk dipersentasikan. Pembicara itu adalah Ahmad Mulyadi yang merupakan Sekjen IMABSII berlaku sebagai moderator, Ahmad Syamsul Arifin mahasiswa dari Jember, Andrii Sybanov dari Ukraina yang sedang melanjutkan studi di Universitas Negeri Jakarta (UNJ), dan Rika Astuti dari Universitas Negeri Padang.
Ahmad Syamsul Arifin dalam persentasinya menyampaikan bahwa nasionalitas bangsa dapat dilihat dari segi bahasa, yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia digunakan untuk mendobrak primordial sebagai persatuan. Hal itu bukan tanpa alasan, dikarenakan bahasa Indonesia yang berstatus sebagai bahasa nasional dapat digunakan tanpa memandang tempat asalnya. Dia juga bercerita tentang politik dalam bahasa, tentang kebijakan pemerintah yang mengarah dalam perkembangan bahasa.
Diteruskan oleh Andrii Sybanov yang banyak mempersentasikan bahasa dari negara asalnya Ukraina. Dia menjelaskan bahwa sejak 1000 tahun yang lalu, di Ukraina penggunaan bahasa hampir sama yaitu bahasa Rusia dikarenakan Ukraina merupakan pecahan dari Uni Soviet. Untuk saat ini saja penggunaan bahasa Rusia masih 50%. Warga Ukraina melalui Andrii Sybanov menyatakan sangat jenuh dengan campur tangan Rusia terutama dalam hal bahasa. Maka dari itu pemerintah Ukraina membuat kebijakan pada tahun 2012 tentang kewajiban penggunaan bahasa Ukraina, dan tidak diperbolehkan menggunakan bahasa Rusia. Dan upaya ini didukung oleh para pemuda Ukraina dengan cara promosi bahasa di Ibukota Ukraina setiap tanggal 9 November.
Lalu disusul oleh pembicara ketiga, Rika Astuti dengan makalah “Perkembangan Bahasa Melayu sebagai Akar Bahasa Serumpun di Era Globalisasi”. Dalam makalahnya, Rika melacak sumber bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia yang merupakan satu rumpun yaitu bahasa melayu riau. Disini dia menjelaskan bahwa dalam perkembangannya bahasa Indonesia lebih banyak dipengaruhi politis daripada linguis.
Menuju sesi persentasi kedua, waktu sudah menunjukan pukul 13.38 WIB setelah sebelumnya ISHOMA dan acara diisi oleh pembacaan puisi bebas dari peserta sambil menunggu pembicara. Terjadi pergantian posisi pembicara yaitu Ahmad Wanabaya (Ome) sebagai moderator. Pembicara diisi oleh Ahmad Mulyadi, Zoyir John Menetov dari Uzbekistan, dan Phusoti Lubokame (Nur) dari Thailand.
Pada sesi ini, Ahmad Mulyadi lebih menekankan pada masalah globalisasi yang mengikis bahasa Indonesia. Promosi budaya yang terjadi pada era globalisasi adalah dengan menggunakan bahasa. Seperti yang dia tunjukan melalui data, bahwa dari 85 hotel di Jakarta yang telah dia teliti, 30 di antaranya mengunakan penamaan hotel yang salah. Kesalahan yang dimaksudkan adalah ketidaktepatan penggunaan bahasa, yaitu penggunaan bahasa asing. Sehingga terjadi pengikisan dikarenakan komunikasi tidak terjadi secara langsung, hanya terjadi komunikasi satu arah. Dia sangat menyayangkan masalah ini, terlebih dengan gengsi lebih mengistimewakan bahasa asing. Padahal telah disahkan UU Nomor 24 Tahun 2009 yang menyebutkan bahwa bahasa Indonesia harus digunakan dalam penamaan gedung/ bangunan di Indonesia.
Hampir sama dengan yang disampaikan Andrii dari Ukraina, Zoyir dari Uzbekiztan juga berbicara tentang bahasa di negara asalnya mayoritas menggunakan bahasa Rusia karena negara ini juga pecahan dari negara Uni Soviet. Namun untuk saat ini, bahasa Uzbek mulai digunakan di negaranya. Dia banyak menjelaskan asal-usul bahasa Uzbek yang sudah beberapa kali mengalami perubahan bahasa dari beberapa cabang asal-usulnya. Dari bahasa Arab, bahasa Latin yang sering disebut bahasa Rusia, dan akhirnya menggunakan bahasa Uzbek.
Berbeda dari Zoyir, Nur lebih menekankan tentang penambahan kualitas bahasa Thai di negaranya. Untuk meningkatkan kualitas bahasa Thai, pemerintah Thailand menetapkan hari bahasa Thai sebagai hari nasional yang diperingati setiap tanggal 29 Juli. Nur juga menyimpulkan untuk lebih mencintai bahasa sendiri.
Saat ditemui di luar simposium, Ahmad Mulyadi yang saat ini sedang menjalani pendidikan di jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UNJ semester 6. Kegiatan semacam ini belum pernah ada sebelumnya. Sebelum 2010, kegiatan IMABSII memang belum begitu terlihat. Harapan dari acara ini adalah tersmpaikannya tujuan dari masing-masing delegasi yang hadir. Nantinya hasil dari acara ini, yaitu Perencanaan dan Pengembangan bahasa akan disampaikan ke Badan Bahasa.
“ Kita punya banyak hal, pertama menurut penelitian SIL (Summer Institute of Linguistic), Indonesia adalah pemakai bahasa daerah terbanyak. Kedua, Indonesia termasuk 5 besar jumlah penutur terbanyak setelah Mandarin dst. Ketiga, Indonesia sudah punya Uji Kemahiran Bahasa Indonesia (UKBI) semacam TOEFL untuk bahasa Inggris dan sudah punya sistem perkamusan. Indonesia memiliki syarat untuk menjadi bahasa adidaya tapi maksimalisasi dari syarat-syarat ini belum begitu terlihat, artinya harapan pasti ada meskipun sulit” tukas Ahmad Mulyadi ketika ditanya masalah harapan menginternasionalisasikan bahasa inidonesia.
Malamnya, tepat 40 menit dari waktu yang dijadwalkan, acara dikusi sastra bertema “Dinamika Sastra Kampus” akhirnya dimulai. Sebagai awalan, peserta IMABSII yang telah memenuhi Lab. Karawitan Universitas Negeri Yogyakarta disuguhi tampilan dari Kidjing and d’Zombies. Grup yang dibentuk saat mengikuti festival akustik yang diadakan oleh perusahaan semen tersebut berhasil menyulut kembali semangat para peserta yang sempat menunggu.
Selanjutnya, sekelompok mahasiswa dari Universitas Pakuan Bogor mengisi panggung dengan membawakan Mars IMABSII berjudul “Demi Satu”, kemudian dilanjutkan dengan “Doa” karya Amir Hamzah. Meskipun vokalis tidak melakukan kontrol suara dengan baik, peserta tetap bertepuk tangan riuh.
Sebelum moderator dan narasumber memasuki panggung, pembawa acara memberi kesempatan kepada 3 peserta yang bernyali untuk naik ke panggung menjawab tantangan. Mereka adalah Arge, Kholis dan Godek yang masing-masing berasal dari Universitas Indonesia, Jakarta dan Jawa Timur. Kebernyalian mereka dihadiahi dengan buku yang disponsori oleh Balai Bahasa Yogyakarta. Pukul 8.20 WIB acara inti pun dimulai, Raudal Tanjung Banua, ketua redaksi Jurnal cerpen Indonesia, kelahiran 19 Januari 1975 yang juga menjabat sebagai redaktur rumahlebah ruang puisi ditunjuk sebagai narasumber.
Makalah yang dibawakan Banua malam itu berjudul “Sastra (di) Kampus: Api dalam Sekam…” diawali dengan sebuah wacana persoalan sastra hari ini. Menurutnya, minimnya apresiasi terhadap karya sastra adalah masalah yang diibaratkan sebagai api dalam sekam. “Seolah tak ada masalah, padahal ini telah menjadi fenomena gunung es” Terangnya.
Meninjau kembali esensi sastra, Banua memberikan beberapa indikasi: 1) Acara-acara sastra di Yogya tidak banyak dihadiri oleh mahasiswa sastra. 2) Banyak buku-buku sastra yang luput dari perhatian mahasiswa juga tidak coba dicari, sehingga buku-buku tesebut menjadi “mutiara tersembunyi”. Ini menyebabkan tidak ada perbedaan antara mahasiswa sastra dan masyarakat umum yang justru telah menyantap bacaan-bacaan semacam itu. “Ketiga, jika kembali pada pernyataan bahwa kampus menjadi pusat pengembangan sastra, maka sejauh ini wacana-wacana yang dipaparkan di kampus masih sumir, belum bisa menjadi alternatif pemecahan masalah-masalah yang ada”.
Hal ini diperparah dengan adanya suatu kecenderungan yang melekat pada Fakultas Bahasa dan Sastra, yaitu bertujuan hanya melahirkan pendidik atau pencipta (penyair). Padahal, dunia penciptaan bukanlah dunia yang bisa serta merta dimasuki sembarang pihak. Seharusnya, ketika sastra diajarkan, tujuannya adalah menciptakan seorang apresiator. Selanjutnya para apresiator tersebut bisa mengapresiasi karya sastra yang lahir dari seorang penulis berideologi.
Buku-buku yang menjadi “mutiara tersembunyi” seharusnya bisa dibedah dan diapresiasi oleh para kritikus sastra yang lahir dari akademisi. Misalnya saja karya Ki Pandjikusmin dengan Langit Makin Mendung. Dunia sastra pernah memiliki seorang Paus Sastra yang bisa membaptis seseorang apakah layak atau tidak untuk menjadi seorang sastrawan.
Selesai penyampaian materi, Rodi Fahrurrozi yang bertindak sebagai moderator membuka sesi pertanyaan. Dari beberapa pertanyaan yang disampaikan peserta, salah satunya adalah Arinda R. Kamal (Universitas Siliwangi Tasikmalaya) yang menanyakan bagaimana membedakan karya sastra yang lahir dari seorang penulis berideologi dan tidak.
Untuk pertanyaan ini, Banua yang mengaku tidak terlahir dari dunia akademisi sastra memaparkan bahwa ideologi yang dimaksudkan bukanlah serta merta ideologi besar. Seorang penulis yang tidak memiliki ideologi akan mudah terbawa arus. Misalnya Sutardji Choulsum Bachri, jika diperhatikan, sebenarnya ia tidak mengangkat tema-tema yang berat dalam karyanya. Tetapi ia memiliki ciri khas dalam karyanya, makanya ia bisa bertahan bahkan menjadi Presiden Penyair. Banua menganalogikan bahwa menulis bukanlah lari estafet melainkan lari maraton. Meskipun tidak langsung mendapat sambutan tetapi harus terus dilakukan.
Berbeda dengan para penanya sebelumnya, Khoirul Umam, seorang mahasiswa yang berasal dari Universitas Madura justru melontarkan sebuah pernyataan. Menurutnya, “lebih baik ‘sedikit’ para sastrawan dan kritikus tetapi benar-benar paham, daripada banyak tapi tidur!” dan seketika ia mendapat tepuk tangan dari beberapa peserta yang masih bertahan dalam diskusi malam itu. Kasak-kusuk pun terdengar dari peserta yang terbangun oleh tepuk tangan di akhir diskusi.
Akhirnya, moderator menarik benang merah diskusi tersebut. Bahwa kita tidak perlu memimpikan kelahiran HB. Jassin, justru kita harus mengambil alih kesewenang-wenangan pasar yang telah mengeksploitasi karya sastra. Sebab pasar hanya menjual tanpa menilai apakah suatu karya sastra layak atau tidak.
Diskusi malam itu baru benar-benar berakhir setelah Kedung Dharma Romansa membacakan beberapa puisi, yang pertama puisi “Aku”, dilanjutkan sebuah puisi milik Chairil Anwar juga namun yang tanpa judul, dan yang terakhir “Pamflet Cinta” Rendra. Untuk puisi “Aku”, peserta diajak berdiri untuk sama-sama mengepalkan tangan meneriakan setiap larik dan puisi diulang sebanyak 3 kali.
Hari kedua rangkaian acara Semarak 7 Tahun IMABSII diisi dengan kegiatan UKBI (Uji Kemahiran Bahasa Indonesia). Pukul 9 para peserta masuk ke ruang ujian yang berlokasi di UNY. Panitia sempat membuat para peserta keheranan saat mereka meminta agar terlebih dahulu dipenuhi kursi belakang. Alasannya adalah agar peserta yang datang belakangan bisa langsung duduk di kursi depan tanpa mengganggu konsentrasi peserta lain.
Ujian ini diawasi langsung oleh Badan Bahasa Yogyakarta. Sementara ada 30 Badan Bahasa yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebelum ujian benar-benar dimulai, 2 dari 4 petugas yang berasal dari Badan Bahasa, yang masih menyebutkan nama lembaga tersebut dengan Balai Bahasa, menyampaikan beberapa peraturan dengan sangat serius, salah satunya peserta dilarang membolak-balik urutan soal yang telah dibagikan. Hal ini disebabkan waktu yang disediakan sudah diatur sedemikian rupa, maka apabila peserta salah membaca soal, maka jawaban pun akan salah.
UKBI adalah semacam tes TOEFL dalam versi bahasa Indonesia. Ini biasanya dilakukan saat seseorang akan mendaftarkan diri menjadi pegawai di Balai Bahasa. Sehingga peserta yang mengikuti tes ini akan bisa mempergunakan sertifikat yang diperoleh sebagai lampiran jika berminat bekerja di sana.
Tiga puluh menit kemudian tes dimulai, tetapi kemudian listrik padam. Karena waktu yang disediakan hanya satu jam, akhirnya dalam keadaan ruangan yang sedikit remang dan tanpa pendingin, peserta dipersilahkan untuk mengerjakan soal urutan kedua terlebih dahulu. Sebab soal urutan pertama semacam listening yang harus menggunakan tape recorder. Seusai tes, peserta tidak diperkenankan membawa pulang soal.
Bengkel Sastra Universitas Negeri Jakarta telah siap di dalam ruang pertunjukan UNY saat peserta masuk. Setelah UKBI yang cukup menguras energi, kehadiran Bensas ini memang pas.
“Catatan Pemimpin” adalah karya yang sekaligus disutradarai oleh pemain utama dalam pentas siang itu, Dwi Suprabowo. Mengisahkan tentang seorang raja yang kesepian karena ditinggalkan rakyatnya. Mereka berbondong-bondong pergi ke kerajaan tetangga karena krisis kepercayaan. “Dulu, aku memang raja yang kritis, tetapi belakangan justru mengalami krisis pemikiran kritis” ujar Raja di awal pementasan. Delapan penari bermanset hitam yang merupakan mahasiswa seni tari di UNY menjadi pembuka. Mereka menari bebas dengan diiringi oleh sekelompok pemain musik di bawah panggung utama.
Sepanjang pementasan, panggung hanya diisi oleh 4 pemain yaitu Raja, Penasihat, dan dua pengawal yang masih setia pada raja. Dan yang menjadi sumber masalah dalam kisah ini adalah penasihat raja. Di depan raja ia berpura-pura masih mengabdi, padahal ia telah menyusun rencana jahat untuk mengambil alih kerajaan. Strategi yang ia rencanakan adalah mengeluarkan raja dari kerajaan. Ia mengatur segalanya dengan sedemikian rupa.
Sampai suatu ketika saat raja telah siap berangkat untuk meninggalkan kerajaan, raja istirahat sebentar. Ternyata ia bermimpi bahwa penasihatnya tersebut mengkhianantinya. Penasihat tersebut membunuh raja dan seorang pengawal. Sedangkan satu pengawal lainnya dihasut agar mau menjadi panglima tertinggi pada kerajaan yang nantinya ia pimpin setelah raja tewas ditangannya. Pengawal tersebut pun terbujuk. Dari sini penasihat mengambil kesimpulan bahwa betapa mudahnya mencari pengkhianat di negeri ini.
Sang raja akhirnya terbangun. Setting kembali pada saat penasihat masuk ke ruangan raja dan bersiap mengantarnya ke perbatasan. Hal yang terjadi justru sebaliknya. Dengan tiba-tiba sebuah pedang semacam keris dihunuskan ke perut penasihat.
Ada sekitar 15 menit waktu yang disediakan panitia untuk diskusi. Penonton sangat antusias melontarkan berbagai pendapat dan pertanyaan. Salah satunya adalah Sugi (Undiksa, Bali), ia menanyakan kenapa raja dan penasihat menggunakan kostum yang didominasi hijau. Padahal, menurutnya hijau adalah warna teduh yang berati kontras dengan karakter keras kedua tokoh tersebut. Untuk pertanyaan ini, Dwi Suprabowo menjawab bahwa konsep yang mereka usung memang santai. Semua bahan yang ada mereka gunakan sekreatif mungkin.
Seusai pementasan tersebut, peserta kembali diantarkan ke penginapan agar bisa beristirahat dan siap mengikuti acara selanjutnya yang dijadwalkan pukul 19.00.
Acara masih dilangsungkan di Ruang Pertunjukan UNY saat malam kedua. Agendanya adalah Pentas Sastra sekaligus penutupan rangkaian acara secara keseluruhan. Seluruh penampil baik dari pihak UNY maupun peserta sama-sama memberikan tampilan yang menarik. Kecuali Sasmita (KMSI UN) yang sempat membuat penonton ‘jenuh’ karena ketidakharmonisan vokal dan musik. Tetapi di akhir tampilan, mereka membuat kehebohan dengan melempar beberapa mercon ke arah penonton. Keadaan menjadi kacau karena penonton berteriak bahkan ada yang meninggalkan ruang pementasan setelah berkali-kali ia berteriak “hentikan!” dan tak digubris oleh pembaca puisi yang juga masih dari KMSI.
Pentas diawali oleh penampilan bertema ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dilanjutkan Sasmita, kemudian peserta dari Unpak membacakan beberapa puisi tentang Yesus. Selanjutnya Assarkem yang terdiri atas 1 pemain bas betot, 3 gitaris, 1 kendang, membuat penonton riuh karena tertarik oleh vokalis berkerudung yang nampak begitu ayu. Mereka melagukan 3 buah puisi, satu diantaranya berjudul “Villa de Amor”. Di sela acara tersebut, seorang mahasiswa dari Medan juga ikut unjuk gigi membacakan puisi tentang ‘Medan’ dengan berapi-api. Beberapa penonton ada yang meneriakan ‘hidup Siregar!’.
Meskipun secara resmi rangkaian acara Semarak 7 Tahun IMABSII telah ditutup, sebenarnya masih ada beberapa agenda yang harus dilakukan, yaitu Kampanye Bahasa dan Sastra dan yang biasanya diagendakan oleh panitia lokal bagi para peserta luar Jawa, jalan-jalan ke Keraton dan belanja di Malioboro.
Berdasarkan susunan acara, kampanye bahasa akan dilakukan pada pukul 12.30 WIB. Tetapi ternyata acara baru bisa dilaksanakan satu jam setelahnya. Tepat pukul 13.30 WIB, saat peserta sedang digiring ke lokasi kampanye, menuju perempatan jalan Gondomanan, sebuah kecelakaan terjadi di depan Bank BI, di sebelah Benteng Vredeburg. Sebuah mobil berplat B 8941 XG menabrak sebuah becak yang sedang dikemudikan seorang laki-laki.
Bemper depan mobil hitam tersebut sempal dan menyebabkan pengemudi becak masuk ke bawah mobil yang telah naik melewati badan jalan. Spontan peserta IMABSII yang laki-laki dan beberapa orang yang ada di sana langsung bahu-membahu mengangkat mobil dan menyelamatkan pengemudi becak yang terluka parah. Tak lama kemudian petugas kepolisian datang mengamankan kejadian.
Meskipun seorang peserta IMABSII ada yang turut menjadi korban ringan, kampanye bahasa tetap dilakukan. Panitia membagi-bagikan sejumlah stiker untuk disebarkan kepada pengguna jalan di lokasi yang telah ditetapkan. Hanya sekitar 30 menit stiker telah habis dan peserta berkumpul di sebelah Taman Pintar untuk kemudian memanjakan diri di Malioboro. Meskipun panitia menyediakan waktu sampai pukul 5 sore, beberapa peserta ada yang memilih untuk pulang ke daerah asal duluan karena keesokan harinya harus masuk kuliah.
Pada umurnya yang ke-7, semoga IMABSII dapat terus melanjutkan langkah dengan lebih baik. Membawa semangat Bahasa dan Sastra Indonesia menapaki kejayaan di masa depan.