Butet Karteradjasa dalam sebuah pementasan monolog di Auditorium Unika Soegijapranata Semarang (02/05/2011). |
“Kucing itu lebih baik dari koruptor. Kucing tahu mana makanannya dan mana yang bukan. Seburuk-buruknya kucing pasti masuk surga, tapi sebaik-baiknya koruptor pasti masuk neraka!” Tuturnya percaya diri sambil melihat-lihat makanan di atas meja.
(02/05/2011) Auditorium UNIKA Soegijapranata Semarang mulai temaram, seperangkat lighting meredup dibarengi suara pembawa acara yang terdengar ke seantero ruangan. Penonton terus bertambah, kata-kata terakhir pembawa acara sekaligus memberi tanda agar semua mata mengarahkan fokus pada panggung yang di setting sedemikian rupa menyerupai rumah keluarga ekonomi menengah. Seisi ruangan menunggu masuknya aktor monolog malam itu, Butet Karteradjasa.
Sederhana, panggung diisi sebuah lemari berisi buku, termos, piring, kain-kain dan beberapa buah gelas. Di sebelahnya terdapat pintu kamar dengan gorden bermotif bunga. Di kanan panggung, tertata meja makan dengan tudung saji cokelat, gagah dengan lampu diatasnya. Untuk memerkuat setting itu adalah sebuah rumah, berdiri sebuah miniatur pintu transparan yang bisa membuka-tutup di kiri panggung. sedang disebelah kanan, persis di depan meja makan, juga berdiri miniatur jendela tanpa kaca.
Penonton masih dibuat menunggu, perlahan suara bising mulai terdengar, anjing menggonggong, orang-orang tertawa, dan suara ribut pecahan kaca. Cahaya mulai berpendar ke seisi panggung ketika seorang laki-laki bertubuh sedang masuk dari pintu samping kanan area penonton, laki-laki yang memakai jaket cokelat dengan gantungan tas hitam di bahu itu tak lain adalah Butet, aktor yang akan segera memerankan monolog ‘Kucing’ hasil adaptasi oleh Arifin C. Noor dari cerpen Putu Wijaya dengan judul sama, disutradarai oleh Whani Darmawan.
Butet mulai menaiki panggung, lalu mengetuk pintu sambil meneriaki nama istrinya, Jah. Setelah merasa tidak ada orang dirumahnya, Butet mulai lunglai terduduk di kursi beranda. Ia lantas menyapa penonton dengan dugaannya tentang istrinya yang sedang ngambek dan kembali ke rumah orang tua. Khas dari Butet adalah ia sangat kental dengan kritikan politik mau pun sosialnya. Tak pelak, ia mulai menyentil pemerintah. Penonton dibuat berpikir ketika ia bertanya, “Nama binatang apa yang jika dijadikan judul monolog ini akan bersih dari konotasi negatif?”.
“Sapi!” teriak salah satu penonton.
“shuut, entar ada sapi yang, ehm.. marah!” jawab Butet langsung.
Aktor berusia 50 Tahun itu mulai teralihkan perhatiannya oleh suara kucing yang wujudnya dibentuk sendiri oleh imajinasi geraknya, dibentuk seolah sedang mengeong di depan rumahnya. Ia mulai mengajak kucing itu memainkan beragam jenis suara hingga ia berkesimpulan kucing itu sedang lapar. Setelah kucing itu diam, Butet mengambil tasnya dan mengeluarkan kantong plastik putih belanjaannya yang berisi buku-buku sastra, ia mulai menyindir lagi. “Buku sastra seperti ini tidak bakal laku seperti buku berjenis pelajaran praktis yang marak sekarang ini, contohnya Buku Kaya dalam 24 Jam atau Kaya Tanpa Usaha dan Bekerja, hah.. jelas buku sastra ini kalah tenar. Ini saja belum tentu kubaca, paling akhirnya buat ganjelan pintu atau jendela.”
Suara Adzan membahana, Butet kembali teringat dengan kondisinya yang tidak bisa masuk rumah, sedangkan ia harus segera membatalkan puasa ramadhannya. Ia mengambil jaket dan merogoh sakunya untuk menemukan kunci pintu. Butet terkejut karena ia menemukan kunci itu di depan pintu, ia baru ingat kalau istrinya punya kebiasaan meninggalkan kunci rumah di sana.
Butet segera masuk ke dalam rumah, menyalakan lampu di atas meja makan dan segera membuka tudung saji. Ia terperanjat, di dalam hanya berdiri seonggok lilin mati, tidak ada tanda-tanda makanan di sekitarnya. Butet mulai frustasi terhadap sikap istrinya, hingga ia akhirnya ingin membalas sikap tersebut dengan pergi ke mal dan membeli bebek goreng yang harganya seratus ribu, ia pun berniat akan menonton bioskop setelahnya.
Saat sudah siap dengan jaket dan pakaian rapi untuk pergi ke mal, langkah Butet tertahan lagi oleh suara kucing yang semakin meraung-raung. Narasi tentang kucing itu pun bermula, kucing milik tetangganya itu merengek-rengek di depan lemari, walau sudah coba diusir, ia tetap bersikukuh disana. Butet penasaran, ia lalu mendekat ke lemari, membuka dan mendapati di dalam telah tersedia sepiring ikan bakar rica-rica kesukaannya dan potongan ubi yang sudah diberi bumbu. Jelas saja Butet kegirangan, ia membawa ubi berbumbu terlebih dahulu ke atas meja lalu memuji kucing yang telah memberinya petunjuk hingga menemukan makanan itu. Dengan piawai butet membalut handuk kecil ditangannya, terbentuk layaknya kucing, dipeluk dan dimanjainya kucing yang telah memberinya keberuntungan itu. Butet mulai berfatwa tentang kucing.
“Kucing itu lebih baik dari koruptor. Kucing tahu mana makanannya dan mana yang bukan. Seburuk-buruknya kucing pasti masuk surga, tapi sebaik-baiknya koruptor pasti masuk neraka!” Tuturnya percaya diri sambil melihat-lihat makanan di atas meja.
Suasana berubah kacau ketika Butet mendapati kucing tersebut sudah masuk ke lemari dan akan mencuri ikan bakar rica-rica kesukaannya. Ia sontak mengamuk, lalu melempar piring ubi berbumbu ke arah kucing tersebut, semua makanannya tumpah ke lantai. Penilaiannya yang baru sebentar ia utarakan berubah total, ia melempar kucing tersebut dengan barang apa saja yang ada di rumah tersebut, dari pakaian hingga buku-buku. Kucing itu pun kena batunya dan lari terbirit-birit keluar rumah. Butet meralat pernyataannya yang baru sebentar ia ucapkan.
“kita tidak boleh memberi hati pada kucing, ia tak ubahnya koruptor!” ucapnya ketus.
Butet melampiaskan kemarahannya dengan membuang ikan bakar rica-ricanya ke tempat sampah, namun beberapa saat kemudian ia mendekati kembali tong sampah itu dengan malu-malu,lalu coba mengambil satu potongan ikan bakar rica-ricanya dari sana. Namun, akhirnya ia kalah oleh kegengsiannya. “Makan bekas kucing, tak sudi aku!”
Keesokan paginya, Butet yang baru bangun tidur dikagetkan dengan suara pintunya yang digedor. Ia lantas membuka dan mendapati pak RT sudah disana. Layaknya warga yang baik ia menyambut tamu yang juga diperankan olehnya sendiri. Pak RT datang menyampaikan komplen dari Michel, pemilik kucing yang dipukuli Butet. Pemiliknya yang sangat menyayangi kucing itu harus membawa kucingnya ke dokter. Percakapan ujung-ujungnya mengarah pada penebusan bukti pengobatan kucing tersebut. Butet tersinggung, ia tidak merasa bersalah dan mengatakan kucing itulah yang telah mencuri makanannya.
Entah dikarenakan kelupaan pada jalan cerita atau memang telah diskenario, Butet secara mengejutkan mengatakan kalau sebenarnya istrinya sudah pulang waktu ia sudah tertidur, ia juga menambahkan kalau istrinya sudah mulai lunak terhadapnya. Itu terbukti dengan munculnya tokoh istrinya yang marah-marah ke pak RT yang telah menuduh Butet melakukan kesalahan. Namun, Butet dan istri tidak bisa mengelak dan akhirnya menyerahkan uang 200 ribu untuk mengganti rugi. Saat diluar rumah, pak RT melakukan tindakan tidak terpuji dengan membagi dua uang 200 ribu, artinya hanya separuh yang diberikannya ke Michel.
Dibalik kejadian itu, Butet mengambil hikmah bahwa pertengkarannya dengan kucing tersebut telah menyebabkan hubungannya dengan istrinya harmonis kembali, ia pun dapat bermesraan dengan istrinya hari itu.
Sore harinya, Butet berdialog dengan anaknya yang berumur 5 Tahun. Saat itu, ia mulai sombong karena merasa telah membuat kucing tetangganya itu sudah takut untuk sekedar mampir ke rumahnya, pengalaman kekerasan tersebut membuatnya trauma. Butet lantas dengan gamblang mengajarkan anaknya yang masih kecil tentang cara mengusir kucing dari rumah. Mulai dari melempar dengan batu sampai dengan buku-bukunya.
Istrinya yang baru keluar dari kamar langsung marah-marah karena anaknya telah diajari kekerasan dan terjadilah perdebatan singkat, sampai pada titik Butet yang kembali menemukan ikan bakar rica-rica kesukaannya sudah tersedia di lemari. Ia kegirangan dan mengeluarkan seluruh makanan dari lemari itu ke atas meja, untuk persiapan membatalkan puasa.
Secara mengejutkan, ia kembali melihat kucing itu mondar mandir di teras rumahnya. Keluarlah ide nakal Butet untuk menantang kucing tersebut. Meski sudah dicegah oleh istrinya, ia tetap menyebarkan makanan kesukaannya itu di lantai untuk memancing keberanian kucing itu. Awalnya kucing itu tidak melakukan gerakan mencurigakan sampai anaknya keluar membawa batu dan mendekati kucing itu, persis seperti yang diajarkan Butet padanya. Melihat ancaman, kucing itu mulai berang dan siap menerkam anaknya, namun si anak tidak takut sama sekali. Pada akhirnya kucing itu benar-benar kembali jadi beringas, ia masuk ke rumah dan mengambil makanan yang disebarkan Butet ke lantai.
Butet melampiaskan kekesalannya secara brutal, ia mengambil sapu dan membombardil kucing itu dengan pukulan-pukulan. Kucing itu menyerah dan kabur lewat jendela, beberapa saat kemudian terdengar suara mobil mengerem hebat diiringi jeritan tertahan seekor kucing, orang diluar pun mulai heboh karena kejadian tersebut.
Keesokan paginya, Butet kembali kedatangan pak RT di rumahnya. Kali ini Butet tampak gugup, menyadari masalahnya bakal lebih besar dari yang sebelumnya. Ia mengajak pak RT mengobrol di luar rumah karena di dalam masih berantakan, sisa pertempurannya dengan kucing. Pak RT membuka cerita dengan mengatakan seekor kucing sudah mati. Butet yang awalnya takut akhirnya merasa senang karena pak RT malah membenarkan tindakannya, karena warga tidak ada lagi yang akan kehilangan makanan secara misterius.
Kenyataan pahit tetap menghampiri Butet, diakhir obrolan pak RT menyatakan kalau Michel baru saja membeli 3 (tiga) ekor kucing baru. Sebelum pulang, pak RT menyerahkan kwitansi harga ketiga kucing tersebut. Setelah pak RT pergi, Butet menjadi begitu marah. Monolog itu pun ditutup dengan beberapa kata pamungkas.
“Jika pak RT ingin tampil sebagai pahlawan di depan orang lain, kenapa harus ada yang dikorbankan, kenapa aku dikorbankan?”
“kertas ini, aku melihat ketidakberdayaanku di lembar-lembarnya, segalanya sobekan yang tidak penting, segalanya sobekan yang tidak penting, segalanya sobekan yang tidak penting!”
Lampu meredup diiringi suara kucing mencekam.
Pementasan ini jelas mendapatkan apresiasi luar biasa dari penonton, mereka bertepuk tangan ketika butet memberi hormat dengan menundukkan bahunya. Setelah lampu kembali terang, Butet mengucapkan rasa terimakasihnya pada seluruh pihak dibalik monolog ‘Kucing’.
Monolog yang berdurasi hampir satu jam itu memberikan banyak kesan dan pesan. Manusia terbiasa memanfaatkan kejadian yang menimpa orang lain untuk mendapatkan keuntungan bagi dirinya, bertingkah layaknya pahlawan dengan ucapan dan tindakan menjebak. Akhirnya, ada yang dikorbankan untuk memuluskan jalan kepahlawanan tersebut.
‘Kucing’ memiliki makna simbolis ketika penilaian terhadapnya berubah dalam sekejap, menandakan semuanya ‘kepercayaan’ kepada yang mengatakan dirinya pantas dipercaya. Kebenaran dimainkan, memberi paradigma bergelombang pada penonton untuk memutuskan makna yang didapatnya.
Butet tampil maksimal, walau permasalahan teknis dan non-teknis dalam penampilannya pasti ada. Menurut Reanes Putra (20), mahasiswa Unnes yang aktif di UKM Teater, banyak kekurangan dari penampilan Butet malam itu, “Butet terlihat tidak optimal, banyak kesalahan-kesalahan, mungkin karena faktor umurnya juga kali ya!”.
Penilaian berbeda diberikan Ayu Wulandari (20) Mahasiswa FIB Undip yang langsung datang ke monolog ketika tahu Butet bakal tampil, “Aku mau lihat pak Butet, mau membuktikan penampilannya di televisi secara langsung. Bagus, ternyata ia benar-benar hebat dalam beretorika. Aku sempat bingung diawal tentang pesannya, tapi setelah mengikuti sampai akhir, mulai mendapat maknanya.” Tuturnya saat ditanya di luar auditorium.
Lalu, bagaimana pendapat beberapa penonton lainnya. Akan kami rangkum di bawah ini!
Teguh Satrio (23), Teater Gema.
“kemampuan Butet dalam berteater atau pun bermonolog tidak usah diragukan lagi, namun khusus malam ini cenderung membosankan, tidak ada gebrakan. Saya suka musiknya, tataan panggung juga bagus. Saya merasa biasa menonton monolog ini karena sudah pernah saya tonton di pementasan lain oleh aktor yang lebih muda”
Royan (22), Teater Beta.
“mantep, pesannya tersampaikan banget!”.
Marta, Sawo Kecik.
“Bagus, Butet memang ahli dalam mengkritik. Konsep panggungnya kali ini berbeda dari pementasannya yang lain yang mewah. Butet mengajarkan bagaimana cara bersosial yang baik”
Agustinus, UNIKA.
“terkesan terlalu mengkritisi pemerintah, presiden. Bagusnya ia memerankan banyak karakterter, banyak ilmu yang saya dapat malam ini”
Ardi (26), UNIKA
“keren, sebelumnya saya sudah pernah melihat monolog ‘Matinya Tukang Kritik’, tapi yang ini lebih sederhana. Beberapa simbol yang digambarkan kurang saya mengerti. Monolog ini mengambil nilai dari keseharian untuk menggerakkan dunia dalam simbol”
Linda (21) IKIP PGRI Semarang.
“saya menangkap kekentalan politik yang digambarkan melalui keseharian”
Ira (24), Unika.
“excited, saya jadi mengenal politik. Masyarakat kecil telah diperalat oleh kegiatan politik”
Fajar, (21), Undip.
“dalem!. Perbedaan manusia dan hewan sekaligus persamaan manusia dengan hewan. Lakon ini menggambarkan apakah pantas seseorang disebut sebagai pahlawan sedangkan ia menindas banyak orang”