Oleh: Risky mega Susanti
Peliput: Risky Mega Susanti & Syaiful Romadhon
Tukang Foto: Syaiful Romadhon
Penyunting: Destaayu Wulandari
Malam itu (22/5) Halaman Parkir Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Undip, Semarang, mulai memperlihatkan pekatnya. Gerimis yang sebelumnya turun berangsur mereda. Pukul 19.31 WIB acara Pentas Kampung teater EMKA dimulai dengan pembukaan terlebih dahulu dari pembawa acara yang membangunkan para penonton dari kesibukannya masing-masing. “Matahari di Sebuah Jalan Kecil”, naskah saduran karya Arifin C. Noer yang distrudarai oleh Akhlis Fuadi itu akan segera dipentaskan.
Pementasan yang dalam pamflet dituliskan harga tiket ‘seikhlasnya’, ternyata menarik banyak perhatian mahasiswa. Terbukti dari jumlah penonton yang terus bertambah. Mengisahkan tentang kehidupan sosial yang sering terjadi di lingkungan masyarakat. Simbok (Rere) seorang pedagang pecel, yang setiap harinya menjadi langganan pakdhe (Heri Irfani), tukang pakir (Dian), Kokoh (Ochim), dan Gembul (Bastian) adalah para pemainnya.
“Pementasan Kampung ini dilakukan di dua tempat yang berbeda, yang pertama di lingkungan masyarakan atau perkampungan. Pastilah kita mengangkat isu-isunya yang mengena untuk para kalangan orang perkampungan, sedangkan pementasan yang kedua ini dilaksanakan di lingkungan kampus yang notabene penontonnya pasti kalangan mahasiswa. Maka kami mengangakat isu-isunya tentang hal yang hangat di kalangan mahasiswa” ujar sutradara. Maka tidak heran bila pementasan ini juga menyangkut tentang NII, pemerintahan yang tidak beres dan pendidikan.
Kehadiran Lingling (Sae) menyebabkan suasana di warung simbok mulai mencair. Ternyata Kokoh menyimpan rasa terhadap gadis itu. Iseng, Kokoh pun diledek untuk mengatarkan Lingling pulang. Setelah Kokoh dan Lingling pergi, satu-persatu pengunjung pun menyusul hingga tersisa Simbok dan seorang pemuda yang sedang makan pecel.
Konflik pun dimulai saat pemuda yang tak dikenal (Asyhar) tersebut selesai makan dan pura-pura tidak membawa uang. Ia mencari-cari alasan untuk pergi dari warung Simbok. Tetapi wanita yang telah cukup makan asam garam kehidupan itu tak lantas percaya begitu saja kepada pemuda yang baru dikenalnya itu. Apalagi ia bukan warga asli lingkungan sekitar. Lama-lama terjadilah keributan di antara mereka. Hingga datang Kokoh yang siap membantu Simbok dari kasus yang biasa tapi sering terjadi. Karena pemuda tersebut terus memberontak mencari alasan, Kokoh pun memanggil Pakdhe.
Pemuda itu semakin terpojok karena diintimidasi, perlahan matanya berkaca-kaca.
Pemuda itu terus meronta-ronta agar cepat keluar dari cengkaraman Pakdhe yang bagaikan macan siap menerkam. Karena pemuda itu terus mengelak, akhirnya tercetuslah ide nakal dari Pakdhe untuk mencopot celana pemuda itu sebagai jaminan. Dengan sekuat tenaga Kokoh dan Pakdhe memaksa si Pemuda itu untuk menanggalkan celana, lalu datanglah si tukang parkir yang siap membantu. Ketegangan terjadi sampai muncul Pak Sopir (Danang) yang dimintai tolong untuk menyelesaikan masalah. Akhirnya baju si pemuda itu dicopot untuk jadi jaminan, dan apabila si pemuda itu ingin bajunya kembali ia harus membayar lunas Rp 7000 – sebab ia telah menghabiskan 2 porsi pecel dan 4 buah gorengan. Baju itu akhirnya dibawa Pakdhe agar aman dari pada dibawa Simbok.
Isak tangis pemuda itu masih terdengar jelas hingga Simbok merasa iba lalu memberanikan diri untuk mendekat. Dengan laga penipuan yang dipunya, Simbok luluh berhasil mengambil alih baju si pemuda itu dari tangan pakdhe. Akhirnya Simbok memberikan baju tersebut. Namun akhirnya ia mengetahui dari Gembul bahwa pemuda itu adalah pencuri.
Pentas kampung teater EMKA pun selesai, lalu dilanjutkan ke acara diskusi yang dimoderatori oleh Sony. Seorang penonton bernama Gaplek bertanya, “Kiranya ada apa ingin memunculkan naskah karya Arifin C Noer dari sutradara untuk kehidupan sehari-hari?” Sutradara menjawab ingin mengimplikasikan sesuatu dengan yang ingin dipentaskan dan mengangkat permasalahn yang ada. Tujuan konsep awal pentas kampung mendekatkan realita antara kampung dan kampus. Bahkan dari isu-isu yang ada bisa diketahui dan dikembangkan. Dari diskusi tersebut dapat disimpulkan pentas kampung ini menceritakan tentang sinar dari matahari. Matahari menjalani hari tanpa ada halangan bahkan di jalan kecilpun ia tetap dapat menembus celahnya. Dan implikasinya dalam kehidupan adalah masalah-masalah yang kecil sampai besar pun seharusnya dapat diselesaikan.
Pementasan kali ini meninggalkan kesan bagaimana kita menyikapi masalah kecil hingga masalah besar yang dapat diselesaikan dengan jalan damai bukan dengan main hakim sendiri. Memahami realita yang terjadi disekitar kita, masalah sosial yang terjadi di lingkungan perkampungan.