dari kiri Rektor Undip, Dekan FIB Undip, Ketua LPPM dan Dosen Olah raga. Ketua LPPM sedang menyampaikan sambutan
Pluralitas merupakan hal yang ingin ditunjukkan dalam rangkaian Parade Seni Undip Rumah Kita. Berbagai kegiatan sejak pagi dilangsungkan dengan semangat baik dari panitia maupun partisipan. Sayang, penutup rangkaian acara yang dilaksanakan malamnya tak seramai siang. Pentas wayang dua dalang tetap tak semenarik parade band.
Meskipun mirip, mendung dan suasana pagi bukanlah hal yang sama. Jumat (22/7) lapangan Widya Puraya Universitas Diponegoro (Undip) terlihat berbeda dengan hari kerja biasanya. Pukul 6. 30, lapangan yang lebih sering lengang, setengahnya telah dipenuhi oleh para peserta Senam Pagi sebagai pembuka acara Parade Seni Undip Rumah Kita (PSURK) yang diadakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro. Dua puluh menit berikutnya lapangan telah benar-benar penuh oleh peserta yang meskipun terlambat datang tetap mengikuti senam. Berpengaruh atau tidak, tetapi bisa jadi instruktur yang begitu bersemangat dan energik menjadikan senam yang hanya berlangsung 30 menit tersebut menjadi semarak.
Sebelum masuk ke rangkaian acara berikutnya yaitu balap karung, tarik tambang sekaligus parade band, acara senam ditutup dengan beberapa sambutan. Diawali dengan ucapan terima kasih dari ketua LPMP. Kemudian Dr. Agus Maladi Irianto, M.A, selaku Dekan FIB menyampaikan bahwa kemungkinan acara semacam ini akan terus dilakukan di Undip, tidak hanya dilakukan di akhir semester melainkan juga di awal semester dan dijadikan sebagai suatu “tradisi”. Terlaksananya acara ini berhasil meraih apresiasi dari Rektor Undip, Prof. Sudarto yang diwakilkan kepada dekan FIB karena telah mengkoordinir acara Undip Rumah Kita. Ternyata, selain adanya senam pagi, hari itu juga bertepatan dengan Car Free Day ke-3 di Undip. Undip rumah kita/ tempat mengukir prestasi/ hiasi dengan sinergi/ tempat berkarya/ hilangkan salah sangka/ mari bekerja dengan cinta//, itulah puisi yang dibacakan rektor Undip di akhir sambutannya.
Mendung telah berganti cerah, sebagai band pembuka, Nol Nam 30 mendendangkan “Selamat Pagi Terang” yang sekaligus mengiringi pembukaan lomba tarik tambang dan balap karung oleh pasukan rektorat dan jajarannya melawan pasukan keamanan Undip. Hal yang cukup menarik perhatian adalah berhasilnya tim mahasiswa FKM melawan tim Dekanat Psikologi. Meskipun secara fisik tim FKM tak seimbang dengan para bapak-bapak berbadan besar tersebut, semangat mereka tak bisa diremehkan. Ini menjadi bukti bahwa pemuda memang tonggak peradaban bangsa.
“Bangga. Tiap tahun mesti ada. Sebab acara ini bisa menyatukan semua elemen dari cleaning servis, dekanat dan LPPM”, itulah pernyataan yang disampaikan oleh vokalis Nine at Campus seusai pentas. Dan itu hanya satu dari beberapa komentar positif yang disampaikan oleh partisipan acara PSURK. Selain Nine at Campus ada pula berbagai peserta parade dari Fakultas Psikologi (Psyke), Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Fakultas Peternakan (Saga) yang membawakan 3 lagu ciptaan sendiri, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Budaya dan beberapa peserta luar kampus yaitu Sending Message, Nol Nam 30, bahkan dari SMA3 Semarang. Siang itu para band yang sebelumnya membayar kontribusi sebebesar Rp 50.000,00, menurut keterangan Penanggung Jawab band, Nova, mereka tidak sedang berkompetisi, hanya sekedar parade dengan diberi kesempatan menyanyikan 3 lagu dan di akhir acara mereka hanya akan mendapatkan doorprize.
Sekitar pukul 10 pagi car free day berakhir. Jalanan sekitar Widya Puraya yang sejak pagi bersih mulai dilalui berbagai kendaraan. Ketika itu Psyke sempat menggoyang lapangan dengan aransemen “Kopi Dangdut-nya”, semakin menambah semangat peserta yang sedang saling menarik tambang, membawa lari karung ataupun yang sekedar duduk berteduh di bawah tenda. Aksi tarik masa juga dilakukan oleh Waton Suloyo yang menadakan “Kau Mati Saja” kepunyaan Souljah. Mendengar musik yang catchy para penonton yang juga terdiri atas panitia menuju ke depan panggung dan berjoged sambil membentuk lingkaran dengan tangan saling memegang punggung.
Berjalannya suatu acara memang tidak bisa dilepaskan dari peran host atau pembawa acara. Dan sepertinya dua mahasiswa Sastra Indonesia yang belakangan menjadi langganan acara yang diadakan mahasiswa FIB, berhasil memegang kendali panggung. Acara yang oleh Heri dan Akhlis ditangani sejak pukul 7 pagi tersebut berakhir sukses sampai pukul 5 sore. Sebagai band penutup Secret for The Last Night menampilkan 2 lagu underground dengan sebelumnya BeatBox membuat penonton takjub dengan aksi beatbox-nya yang berdurasi hampir setengah jam. Sebelum turun dari panggung, Secret for The Last Night tak lupa menyampaikan apresiasinya kepada BEM FIB Undip yang telah mneyelenggarakan acara tersebut dan berharap akan ada acara semacam itu di tahun depan, “Keren banget!”, tutup gitaris yang merangkap vokal tersebut.
Ditemui disela wara-wiri-nya dalam kesibukan acara, Febri Taufiqqurohman yang merupakan Ketua BEM FIB Undip menyampaikan bahwa ide acara ini muncul di luar program kerja mereka. “Acara ini semacam classmeeting tetapi lebih pada mencoba untuk sekalian menggarap konsep Undip Rumah Kita. Kita ingin melibatkan masyarakat dan anak-anak mahasiswa dari kalangan orangtua. Ya! Karena memang kegiatan ini diluar program yang direncanakan oleh BEM, jadi kemarin kita keliling ke seluruh masyarakat Tembalang pakai mobil kalau gak pagi ini, ya mungkin malam wayangan ramai. Tepatnya itu akhir Juni baru ada konsep kita buat proposal” paparnya.
“Parade Seni Undip Rumah Kita” bukan merupakan acara pertama BEM FIB Undip yang berhasil merangkul peserta dari berbagai fakultas bahkan masyarakat luar kampus. Beberapa waktu lalu badan eksekutif yang memang sedang getol meneriakkan bahwa FIB bukan milik satu golongan, telah mengadakan acara seminar di Gedung Sudarto secara gratis dengan mengahadirkan berbagai pembicara salah satunya Annis Basweda.
Bagi Taufiq kesulitan yang biasa muncul dalam suatu koordinasi adalah komunikasi, dan itu bukan hal besar baginya. Apalagi mengenai sponsorship, itu lebih mudah lagi. “Sebenarnya gak susah, tergantung bagaimana kita bisa menggaet sponsor tidak hanya pada profit money. Kan orang biasanya kan profit money, itu yang susah untuk sponsor masuk. Tapi ketika kita media partner ketika kita butuh support apa sih, nah kita bisa dukung apa…”, ujarnya santai. Sepertinya Taufiq paham betul bahwa setiap perusahaan mempunyai program sendiri-sendiri. Meskipun tak mendapat bantuan berupa nominal, yang terpenting berbagai keperluan seperti kaos panitia, panggung, dan lainnya pihak sponsor mau menanggungnya. Bahkan konsumsi senam pun disponsori oleh pihak LPPM Undip.
Harapan yang kemudian diinginkan adalah acara ini bisa menjadi suatu percontohan. “Belum pernah ada, pertama kali lho!”. Memang, acara terbuka di lapangan Widya Puraya baru kali ini ada. Dari Taufiq juga diketahui bahwa nantinya akan ada program Sekolah Pemimpin setelah ospek guna mempersiapkan bentuk organisasi di FIB kedepan agar bisa plural dan terbuka. Termasuk didalamnya pelatihan mengenai pengolahan proposal sponsorship.
Woro sedang mendalang membawakan lakon “Wisanggeni lahir”
Malamnya, rangkaian acara PSURK ditutup dengan pertunjukan wayang 2 dalang yang dihadiri oleh diantaranya Prof. Sudarto (Rektor Undip), Dr. Agus Maladi (Dekan FIB), Prof. Sardanto (Guru Besar FIB), para dosen FIB, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi), warga Tembalang dan mahasiswa baik dari FIB sendiri maupun dari Fakultas Teknik bahkan beberapa mahasiswa Institut Teknologi Surabaya dan Universitas Hassanudin.
Malam itu lagi-lagi dekan FIB menyampaikan sambutannya, disusul Ketua Pepadi, dan Prof. Sudarto yang menepati janjinya untuk kembali berpartisipasi setelah sempat meninggalkan acara seusai senam paginya.
Pementasan wayang ke-2 sejak pindahnya FIB dari Pleburan ke Tembalang tersebut terasa spesial karena hadirnya 2 dalang muda. Lakon pertama berjudul “Wisanggeni Lahir” dibawakan oleh Woromustiko Siwi. Gadis kelas 4 SD tersebut merupakan Dalang Berpotensi versi Festival Dalang Cilik Nusantara IV yang diadakan di Solo Juni lalu. Sebagai anggota keluarga yang menyukai karawitan dan mocopat, Woro telah mengikuti aktivitas nembang sejak kecil. Saat ditanya mengenai asal-usul kemampuan mendalang, “Bakat itu memang ada, tapi kalau bakat itu lingkungannya tidak mendukung kan gak bisa. Dia punya bakat dan lingkungannya mendukung”, terang Retno Mustisari, Ibunya.
Malam itu Woro mendalang di depan para orang tua dengan suaranya yang membahana namun khas anak-anak. Bahkan penonton sempat dibuat tertawa karena lakon yang dibawakan. Sampai saat ini Woro telah menguasai 2 lakon yang sering dibawakan saat pentas. Menurut ibunya, biasanya Woro hanya tampil dengan durasi 30- 60 menit saja.
Salah satu warga Tembalang yang malam itu hadir adalah Sobirin (39). Pria yang mengaku berprofesi sebagai pedagang somay tersebut mengetahui adanya acara pentas wayang saat ia sedang berjualan di sekitar kampus FIB. Ia mengaku bahwa menonton wayang adalah hobi, menurutnya warisan budaya semacam ini harusi diuri-uri (diteruskan), sebab iapun merasakan bahwa betapa remaja saat ini lebih menyukai hobi di luar budaya lokal. Hal senada juga disampaikan oleh Dani (Sejarah 2009) yang meskipun datang terlambat tetapi mengaku menyukai wayang secara biasa. “Remaja sekarang kurang apresiasi, yang nonton bapak-bapak, ibu-ibu. Mereka kurang apresiasi”, katanya sambil memperhatikan penonton lain.
Sementara Jalil, salah satu Mahasiswa ITS yang sedang berada di Semarang dalam rangka Rakernas yang dilaksanakan di Undip mengaku sangat apresiatif, “Saya sangat apresiasi dengan yang menekuni bidang budaya, sangat sedikit sekali. Jadi keberagaman ini perlu dilestarikan agar jadi kekayaan yang kita miliki dan bisa kita banggakan.” Jalil juga berharap kepada para mahasiswa FIB untuk bisa menemukan inovasi baru dalam bidang kebudayaan. Ia dan rombongan datang ke acara yang diadakan oleh FIB Undip karena diberitahu oleh teman-teman Teknik Perkapalan Undip.
Acara yang malam itu direncanakan berlangsung hanya sampai pukul 12 malam memang sepi dari kunjungan mahasiswa. Bahkan para panitia yang siangnya begitu ramai berkutat dengan acara parade band tidak semuanya terlihat berlalu lalang, hanya satu-dua saja panitia yang hadir termasuk Taufiq diantaranya. Memasuki pukul 10 malam, acara wayang kembali hanya diaksikan oleh para orang tua. Mereka khusyuk menyaksikan lakon “Pedulungan Gulo” yang juga dibawakan oleh dalang muda.***