Oleh: Qur’anul Hidayat Idris
Reporter: Syaiful Romadhan, Rizka, Diaz Marandi
Rabu malam (02/11/11) pukul 21.09 WIB, tim redaksi LPM Hayamwuruk bergegas menuju GSG (Gedung Serba Guna) Undip guna melakukan liputan mendadak. Naluri jurnalistik mereka dikejutkan oleh info yang didapat beberapa menit sebelumnya, pukul 20.05 WIB, menyatakan Pasar Malam yang seyogianya akan berakhir tiga hari lagi sudah mulai melakukan pembongkaran wahana permainan yang tersedia di sana.
Keramaian terlihat dari halaman GSG sampai area pinggir jalan yang dijadikan lahan parkir. Tim redaksi yang malam itu tampak kusut karena persiapan menuju lokasi yang singkat, meninggalkan lahan parkir dengan wajah heran. Bagaimana tidak, mereka baru saja mengeluarkan uang Rp. 2000 untuk membayar jasa parkiran. Mereka merasa tarif itu mahal jika acara tersebut diperuntukkan bagi mahasiswa dan masyarakat sekitar kawasan Undip, melunturkan nilai pengabdian masyarakat yang terkandung di dalamnya.
Pasar Malam merupakan bagian dari rangkaian kegiatan yang terangkum dalam Pesta Budaya oleh BEM FIB Undip. Konsep ini menawarkan sesuatu yang berbeda di kawasan kampus Undip dan masyarakat sekitar Tembalang. Pasar Malam merupakan budaya tradisional masyarakat yang coba diangkat kembali, mengingat keberadaannya sudah semakin berkurang, terutama dalam kebudayaan modern.
“Muncul ide seperti itu kan (pasar malam) permulaannya saya membuat konsep untuk Pesta Budaya, Pasar Malam merupakan bagian dari serangkaian acara Pesta Budaya itu sendiri. Untuk memeriahkan Pesta Budaya, saya memiliki dua konsep, yang pertama Workshop Wayang, terus Tari Nusantara. Untuk menambah lagi saya pengen ngadain pasar malam” Tutur Meigo, mahasiswa Sastra Inggris angkatan 2010 yang menjadi ketua panitia Pesta Budaya BEM FIB Undip.
Direncanakan acara tersebut berlangsung selama 15 hari, mulai tanggal 22 Oktober sampai 5 November 2011. Jangka pelaksanaan yang terhitung lama ini tentu melalui perijinan yang ketat dari pihak rektorat, mengingat penggunaan GSG yang secara bergantian untuk berbagai macam kegiatan dan acara, baik oleh mahasiswa, dosen, dan civitas akademika lainnya. “Untuk masalah proses tempat itu sih, kita harus menghubungi pihak-pihak yang masih berwenang di atasnya yang ngurusin bagian-bagian seperti itu,” jawab Meigo sambil memberikan senyumnya.
Tim redaksi menemui Edi Surahmad, Kabagtarkum (Kepala Bagian Tata Usaha dan Hukum) Undip, tanggal 18 November 2011 di ruangannya di gedung Rektorat. Salah satu petinggi birokrasi Undip itu memakai baju batik dengan rambut yang tertata rapi. Kabagtarkum mengelola urusan rumah tangga, salah satunya adalah urusan penggunaan fasilitas yang ada di lingkungan Undip.
Edi Surahmad berpandangan bahwa GSG tidak terlalu relevan untuk sebuah acara Pasar Malam. Selain halaman GSG yang dinilai sempit, ia juga mengkhawatirkan masalah keamanan, ketertiban, kebersihan, dan lingkungan sekitar. Masalah yang muncul menurutnya adalah masalah sosial, masyarakat sekitar lokasi yang heterogen bertemu dengan anggota pasar yang hidupnya nomaden (berpindah-pindah). Apalagi, ia agak “ngeri” bila melihat posisi GSG yang berseberangan langsung dengan SPBU (Stasium Pom Bensin Umum), menambah besar peluang terjadinya bahaya di sana.
“Mereka bukan orang sini, orang luar kota, berpindah-pindah dengan keluarga, dan hidupnya ya di tempat mereka berada. Sehingga mengesampingkan nilai-nilai sosial, seperti ketertiban MCK (Mandi Cuci Kakus) dan keamanan. Kemudian kalau menjemur pakaian dan sebagainya kaya gitu (tidak teratur), jadi terkesan kumuh” terangnya lebih lanjut.
Bisa dibilang, perizinan yang diberikan pihak Rektorat bersyarat. Artinya, ketika keamanan, ketertiban, kebersihan, dan lingkungan sekitar (sosial) tidak dapat terpenuhi, maka pihak Rektorat dapat menarik kembali perizinan tersebut. Hal tersebut menurut Edi harus ditegaskan karena GSG juga merupakan representasi wajah Undip yang terletak di gerbang masuk kampus.
Edi Surahmad telah melakukan komunikasi berkala dengan BEM FIB sampai ke Dekannya, Agus Maladi. Bahkan, pada hari ketiga pelaksanaannya, ia sudah menyampaikan pada Dekan FIB kondisi yang ia lihat dalam pelaksanaan Pasar Malam. “kemaren saya sudah sampaikan ke Pak Dekan, “Pak Dekan, ketika ini sudah berjalan 3 hari, bapak bisa lihat ternyata seperti kami duga awal”. Betul, mereka sulit untuk mengendalikan orang luar, pihak ketiga.” Tuturnya.
Tutup Lebih Awal
Faktanya, Pasar Malam tutup lebih awal. Informasi yang tim redaksi kami dapatkan benar adanya. Malam itu merupakan malam terakhir keberadaannya mengisi halaman GSG. Selain tidak terpenuhinya syarat perizinan yang diberikan oleh rektorat (pihak kedua), masalah koordinasi antara BEM FIB (pihak pertama) dengan pengelola pasar (pihak ketiga) juga menjadi sebab munculnya berbagai masalah setelahnya.
Pihak kedua memang tidak berurusan langsung dengan pihak ketiga, namun memunyai kapasitas untuk menghentikan acara apabila tidak tercapai koordinasi yang baik antara pihak kedua dan ketiga, otomatis syarat yang tertulis dalam MoU (Memorandum of Understanding) tidak dapat dipenuhi.
Kesepakatan yang tidak ditepati pihak ketiga berkaitan dengan jumlah tenda dan wahana permainan. Pihak BEM FIB menetapkan hanya ada 2 wahana permainan, yakni bianglala dan permainan anak-anak. Namun, pihak pasar juga memasukkan permainan roda gila yang tidak ada dalam kesepakatan sebelumnya. Bahkan, di MoU ditegaskan kalau pihak ketiga hanya boleh membawa 1 truk untuk mengangkut wahana dan tenda. Kesepakatan ini dibuat agar halaman GSG tidak terisi terlalu penuh. Namun, kenyataannya pihak ketiga membawa 10 truk yang tentu saja 9 kali lebih banyak dari perkiraan panitia.
Menanggapi masalah ini, Meigo menyatakan bahwa BEM FIB mendapat efek kesalahan dari kesalahan pihak ketiga tersebut. “Untuk masalah itu, emang benar adanya seperti itu. Salahnya itu bukan di kita, (atau) forum kita sendiri, tapi kan salahnya juga disana, tapi balik ke kita lagi”
Kesalahan awal inilah yang dinilai menjadi sebab runtuhnya kepercayaan pihak Rektorat akan pelaksanaan Pasar Malam di GSG. Banyaknya wahana permainan dan membeludaknya tenda membuat tata letak di halaman GSG tidak lagi tertata rapi. Kesan kumuh itu tak terelakkan dan semakin memperkuat pernyataan Edy Surahmad bahwa pihak pertama kesulitan mengendalikan pihak ketiga.
Saling Lempar Kesalahan
Tim redaksi berhasil menemui ketua pasar pada malam terakhir tersebut. Anwar namanya, pria berkumis tipis dan memakai jaket biru serta jeans hitam itu tampak agak tertutup dari media. Namun, setelah dilakukan pendekatan, Ia akhirnya mau menjelaskan beberapa hal, terutama tentang alasan mengakhiri Pasar Malam lebih cepat, tentu saja dari perspektif mereka.
“Lha ini makanya kenapa kita pindah, kenapa komitmen awal itu tidak sesuai dengan komitmen sekarang?” Ucapnya dengan suara agak serak. Saat ditanya bentuk komitmen yang dipermasalahkan tersebut, ia mengatakan kalau mereka seperti ditelantarkan, mengacu dari tidak diperbolehkannya mereka berjualan walau sudah berdiri dua hari. “Ya kita mau ngapain, yo kita itu terlantar kaya gini” tambahnya.
Menanggapi pandangan pihak ketiga ini, Meigo mengatakan kalau pihak BEM FIB bukannya tidak berkomitmen, tapi pihak ketiga telah melanggar aturan dan perencanaan yang telah mereka buat. “Bukan masalah tidak ada komitmen kepada Dia (pihak pasar), bukan. Tapi dari awal sendiri, dari perjanjian apa itu? MoU, MoUnya sendiri kita sudah menargetkan ini, ini, dan ini. Saya pilih ini saya pilih ini satu-dua! Tapi Dia malah membuatnya satu, dua, tiga, empat. Karena itu menyalahi MoUnya juga ya?” terangnya kali ini dengan wajah serius.
Meigo kemudian menjawab alasan pihak ketiga baru boleh membuka pasarnya setelah 2 hari berada di lokasi. Hal itu dikarenakan pihak pasar lebih cepat 2 hari datang ke GSG. “Mulainya itu tanggal 22 Oktober, tapi mereka sudah membangunnya (pasar) tanggal 20 Oktober”
Pihak pasar sendiri sebenarnya sudah ingin pindah lebih awal, namun niatan tersebut tidak bisa terlaksana karena mereka membutuhkan dana yang cukup besar untuk berpindah ke Salatiga—tujuan pasar malam mereka selanjutnya. Biaya yang mereka butuhkan termasuk untuk penyewaan truk, biaya bongkar tenda, dan wahana permainan. “Sewa tempatnya kan kita sudah dirugiin ongkos kita, jadi tidak dipungut lagi. makanya kita itu kita dapat ongkos ya pindah. Sebenarnya kita dari kemaren tu sudah mau pindah tp ya lum ada ongkos ya.” Ujarnya sambil sesekali memperhatikan beberapa orang yang sedang membongkar tenda.
Mengenai biaya sewa GSG, Edi Surahmad menjelaskan bahwa biaya tersebut hanya dikenakan bagi pihak luar yang menggunakan GSG. Itu pun menurutnya lebih tepat biaya perawatan daripada biaya sewa. Untuk jumlah, Edi Surahmad mengaku tidak mengetahui dan mengatakan bahwa biaya tersebut masuk ke PNbP (Penerimaan Negara bukan Pajak). “Kalau itu dengan pihak luar, seperti ini tadi (pihak pasar). Tapi kalau murni untuk mahasiswa, anda pakai seminar, olahraga, dan sebagainya itu nol”
Meigo menambahkan kalau biaya transportasi yang disebutkan oleh pihak pasar tersebut memang bukan menjadi tanggung jawab BEM FIB. “Setelah dia datang kita tidak membiayai dan kita tidak menjanjikan juga untuk transportasi, istilahnya untuk pulangnya itu tidak!” tegasnya.
Menimbang Kedewasaan BEM FIB Undip
Ketika berani memegang api, harus pula berani merasakan panasnya. Berani membuat acara besar, tentu saja membutuhkan perencanaan yang matang, bukan saja sebelum acara berlangsung, tapi juga dalam menghadapi masalah tak terduga ketika acara sedang berlangsung. Menghadapi masalah kedua, tentu dibutuhkan kedewaasaan dalam mengambil keputusan cepat, sehingga semua pihak yang dinaungi dalam acara tersebut dapat berkoordinasi dengan baik demi kesuksesan bersama.
“Kita sudah ambil berbagai solusi, pertama kita ambil masalah kita bantu dari pihak internal kita sendiri, dari segi teknisnya. Tapi dari pihak sana tidak ada dukungan untuk mendukung kita. Terus menyalahi aturan yang kita buat” jelas Meigo ketika ditanya mengenai penanganan masalah yang terjadi di atas.
Banyaknya pelanggaran terhadap aturan ini juga tidak lepas dari tindakan yang terlalu memercayai sepenuhnya kredibilitas pihak pasar, sehingga tidak terjadi kontrol yang tepat dari BEM FIB ke pihak Pasar Malam. Jika kontrol bisa dilakukan, hal-hal kecil seperti biaya parkir pun dapat disesuaikan dengan lingkungan masyarakat sekitar. Menanggapi ini, Meigo menyadari kesalahan tersebut. “Pertama sih percaya (kepada pihak ketiga), kita dari pihak kita sendiri dari forum kita sendiri belum pernah ngadain acara seperti ini sebelumnya.” Ucapnya cepat.
Kedepannya, alasan “baru pertama kali mengadakan acara” hendaknya tidak lagi keluar, karena itu menjadi parameter yang menunjukkan kredibitas dan profesionalitas sebuah lembaga. Menjadi pembelajaran tentu saja, namun semoga tidak ada pandangan negatif lainnya, cukuplah Anwar saja yang mengatakan mahasiswa terbiasa tidak berkomitmen. “Karena mahasiswa itu kan belum betul-betul komitmen, Kita itu nggak apa-apa, mahasiswa itu kan generasi penerus. Kita yang ngikutin aja.” Tutup Anwar.
Publikasi kegiatan juga harus menjadi perhatian khusus, karena rata-rata mahasiswa FIB yang tim redaksi kami temui tidak mengetahui bahwa Pasar Malam tersebut merupakan acara FIB Undip. Jika mahasiswa sendiri saja tidak tahu, bagaimana dengan mahasiswa luar FIB, atau masyarakat sekitar? Dian, mahasiswa Sastra Indonesia ’08 menjawab tegas. “Nggak tau, pokoknya ada acara disini!”
Saat ditanya pendapatnya tentang acara tersebut ia menjawab. “Bagus buat hiburan saja, yang membuat tidak logisnya itu permainan-permainan itu lohkan ditembalang itu isinya mahasiswa. Laku nggak permainan permainan seperti itu (permainan yang lebih tepatnya buat anak-anak)” Ujarnya setelah melihat-lihat Pasar Malam di hari terakhir pengadaannya.
Terlepas dari semua permasalahannya, BEM FIB sudah melakukan sebuah terobosan konsep yang menarik. Bahkan hal ini diakui oleh Edi Surahmad sebagai ide baru. “Sebetulnya kami dari pihak Rektorat mendukung kegiatan FIB tentang pesta budaya, pesta rakyat itu sangat luar biasa. Dan ini belum pernah dilakukan kan? Ketika semester baru belum pernah, saya waktu itu disampaikan oleh Pak Dekan FIB, Pak Agus Maladi. Seneng gitu (dengan) konsepnya.”
Apakah tahun depan akan diadakan Pasar Malam kembali? “Untuk masalah mau bikin lagi atau tidaknya itu kita liat aja nanti!” Jawab Meigo retoris.