Beda Peran Mahasiswa dalam Pesta Demokrasi

Oleh : Fakhrun Nisa
Reporter : Ayu Mumpuni

Selayaknya warga negara lain, mahasiswa juga dihimbau untuk ikut berpartisipasi dalam terselenggaranya Pemilu Legislatif (Pileg) 2014. Mahasiswa yang notabene merupakan orang-orang yang diyakini berintelektual tentu diharapkan mampu mengambil andil lebih dalam pemilu dibanding warga negara lain. Mahasiswa dinilai netral terhadap permainan politik yang ada dalam negeri ini. Selain itu, mahasiswa juga dianggap tahu dan dekat dengan birokrasi negara juga dengan kehidupan rakyat jelata.

Mahasiswa adalah Agent of Change, istilah ini rupanya mulai memudar dewasa ini. Padahal dengan bangganya dulu mahasiswa menyandang status sebagai agen perubahan yang mampu menggulingkan rezim orde baru pada tahun 1998. Hedonisme seolah telah merenggut idealisme mahasiswa yang seharusnya kritis, idealis, independent, dan netral terhadap pemilu. Padahal mahasiswa mempunyai catatan sejarah manis sebagai agen perubahan yang pro kaum marginal. Berkaca pada hal itu, terlihat dengan jelas bahwa mahasiswa seharusnya mampu menjadi agen perubahan yang memperjuangkan nasib bangsa agar bisa menjadi lebih baik lagi. Namun kini, peran-peran penting itu mulai tak nampak lagi disandang oleh mahasiswa.

dok.opini
Suasana acara “Rock The Vote” di kampus FISIP Undip

Kembali pada masalah pemilu dan peran mahasiswa sekarang ini, yang kemudian menimbulkan pandangan baru bahwa mahasiswa bisa ikut membangun bangsa dengan berpartisipasi aktif dalam mensukseskan pemilu yang digelar pada tahun ini. Berbagai cara pun dilakukan mahasiswa untuk bisa disebut aktif dalam pemilu, seperti pengadaan diskusi tentang pemilu dan ikut mensosialisasikan pemilu kepada masyarakat umum. Atas inisiatif tersebut, maka Central of Election Political Party (CEPP) menggelar kegiatan “Rock The Vote” pada 25 Maret 2014 di kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Poltik (FISIP) Undip Tembalang. CEPP merupakan sebuah lembaga yang telah berjejaring dengan 42 perguruan tinggi di Indonesia, dan Universitas Diponegoro menjadi unilink CEPP yang ke-32. CEPP ini dipelopori oleh Universitas Indonesia dan berpusat di sana. Dra. Fitriyah, M.A., selaku direktur CEPP Undip menuturkan bahwa kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pastisipasi dengan mengajak anak-anak muda menggunakan hak pilih, karena mereka mempunyai ciri pemilih cerdas yang diperlukan oleh bangsa ini. “Jadi tidak hanya tentang pemilu tapi kita juga memulainya berdiskusi tentang demokrasi, pentingnya demokrasi, kemudian tentang politik sebagai keputusan bersama, jadi jangan sampai ada persepsi negatif tentang politik, karena politik dalam kehidupan kita sehari-hari itu mengambil keputusan”, tuturnya lebih lanjut. Acara yang bekerja sama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP ini menjadikan siswa-siswa SMA pemilih pemula sebagai target kegiatan. Dengan adanya acara ini, panitia berharap pemilih pemula yang semula apriori dan apatis terhadap pemilu bisa ikut aktif dalam mensukseskan pemilu 2014.

Selain menyelenggarakan acara yang berbau pemilu, peran mahasiswa pada Pileg 2014 juga terlihat pada saat hari H. Beberapa mahasiswa Undip tampak berada di Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan ikut berperan membantu petugas TPS. Dikonfirmasi tentang hal ini, Muhammad Ikbaluddin, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Undip sekaligus panitia “Rock The Vote” memberikan keterangan bahwa peran mahasiswa di TPS sebagai pengawas yang memantau kedisiplinan dan memastikan tidak adanya pelanggaran pemilu. Lebih lanjut dia menjelaskan, “Nah untuk di Fisip sendiri kemarin juga ada, khususnya di Ilmu Pemerintahan ya juga banyak yang mendaftarkan diri langsung ke Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), terus ditempatkan di TPS-TPS sebelumnya sudah diberikan bimbingan teknis dengan Bawaslu sendiri.”

Di FIB sendiri, pemilu tetap mendapat perhatian mahasiswa meskipun mahasiswa FIB tidak mendapat mata kuliah yang berbau politik seperti di FISIP. Seperti yang dilakukan oleh BEM FIB Undip yang berusaha mengadvokasi teman-teman mahasiswa rantau yang berkeinginan untuk mencoblos di Semarang. Namun kenyataanya, advokasi yang diusahakan oleh BEM FIB dan BEM KM Undip tidak menemui jalan terang. Diakui oleh Ridwan, staf ahli Kementrian Sosial dan Politik BEM FIB Undip, bahwa terjadi miss komunikasi antara BEM dan KPU, mahasiswa rantauan yang ingin mencoblos di Semarang tidak bisa diwakilkan dalam proses pengurusan pindah TPS, masing-masing harus datang ke posko pindah TPS Undip yang berada di kantor polisi Undip dan Kelurahan yang ada di sekitar Undip. “Jadi setiap mahasiswa harus datang langsung sendiri, intinya kami itu udah berusaha mengadvokasi tapi kenyataannya itu harus sendiri-sendiri”, jelasnya.

Beberapa mahasiswa di luar BEM FIB pun rupanya ada yang ikut aktif dalam penyelenggaraan Pileg 2014. Saiful Munir, mahasiswa Sastra Indonesia 2013 adalah salah satunya. Mahasiswa yang kerap disapa Saiful ini mengaku, bahwa keterlibatannya dalam pemilu memang sudah lama berjalan, ketika dia masih duduk di bangku SMA, tepatnya sejak dia berhasil menjabat sebagai ketua pertama Forum Komunikasi Demokrasi OSIS (FKDO) Kota Semarang untuk tingkat SMA/SMK/MA se-Semarang. Pada tahun 2014 ini, dia menjadi salah satu dari 25 orang Relawan Demokrasi (Relasi) di Semarang yang bertugas untuk menggelar acara “KPU Go To School” ke 180 SMA/SMK/MA yang ada di Semarang.

Berbicara tentang pemilu, mahasiswa semester dua ini berpendapat bahwa  mahasiswa harus meningkatkan kesadaran demokrasinya. Tidak menjadi mahasiswa yang cuek terhadap pemilu namun senang melakukan tindak anarki yang merugikan. Seperti demo yang berujung anarki yang sering dilakukan oleh mahasiswa dewasa ini. “Menimbulkan demo-demo yang anarki, demo yang tidak sesuai dengan aturan demo. Kesadaran diri yang penting bahwa kalau ingin menuju Indonesia yang baik, pemimpin yang bersih maka harus dimulai dari pemilu yang benar. Intinya kayak gitu”, lanjutnya. Fitriyah juga menambahkan, “Mahasiswa itu, mereka punya pengetahuan, pemahaman, cuma persoalannya mereka kan ngga percaya. Artinya mereka kan menganggap partai kita itu tidak benar, karena anti partai”.

Namun, di tengah ingar-bingar Pileg 2014 tetap saja ada mahasiswa yang apatis dan tidak ikut berpartisipasi dalam pemilu. Mahasiswa yang apatis ini menilai bahwa pemilu yang diselenggarakan belum efektif dan mereka sudah apriori terhadap hasil pemilu. Seperti yang diutarakan oleh Annas Chairunnisa, mahasiswa Sastra Indonesia asal Blitar yang memilih untuk tidak ikut mencoblos. Alasan regulasi dan prosedur yang rumit dalam pengurusan pindah TPS membuat mahasiswa rantau sengaja untuk merelakan hak pilihnya hilang.

Beberapa mahasiswa yang tim Hayamwuruk temui mengaku bahwa prosedur yang harus mereka lalui agar bisa mencoblos di Semarang begitu rumit dan membingungkan. Pengurusan pindah TPS itu tidak bisa diwakilkan, harus diurus oleh masing-masing perseorangan. Padahal awalnya, BEM FIB telah memberikan pengumuman bahwa pengurusan pindah TPS bisa dilakukan secara kolektif. Mahasiswa yang pada awalnya berminat dan berniat ikut mencoblos di Semarang, menjadi malas sehingga mengurangi jumlah pemilih dalam Pileg 2014.

Hal ini juga diceritakan oleh Taufik Aulia Rahmat, Presiden BEM KM Undip melalui akun twitternya. Ketika mahasiswa berhasil mendapatkan form A5 dan C6 sebagai syarat untuk bisa mencoblos, mahasiswa luar daerah pun masih dihadang oleh kesulitan, yakni jarak TPS yang kurang terjangkau dari Tembalang. Mahasiswa-mahasiswa ini harus berputar-putar mencari lokasi TPS mereka sesuai yang tertera di form C6. Alhasil beberapa mahasiswa sampai di TPS lebih dari pukul 13.00, yang berarti TPS telah ditutup. Bagi mahasiswa yang tidak mau rumit mengurus kepindahan seperti di atas, maka mereka lebih memilih untuk merelakan hak pilihnya hilang.***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top