Sukarno dan Jejak Pemikirannya

Oleh:
Iqbal Firmansyah
Sukarno
pernah mengakui bahwa ia seorang marxis, namun dalam pidato-pidatonya, Sukarno
tidak pernah menyebut bahwa ia adalah PKI.
Pendapat
tersebut dikemukakan oleh Peter Kasenda, pembicara dalam acara bedah dan
diskusi buku Sukarno, Marxisme & Leninisme yang diselenggarakan oleh BEM (Badan
Eksekutif Mahasiswa) FIB (Fakultas Ilmu Budaya) Undip (Universitas Dipongoro) bersama
Komunitas Bambu, Rabu (29/10/2014), di kampus FIB Undip Pleburan, Semarang.
Peter
Kasenda, yang juga merupakan penulis buku Sukarno, Marxisme & Leninisme: Akar
Pemikiran Kiri & Revolusi Indonesia itu mengungkapkan, Sukarno dalam
pikiran-pikirannya memiliki persamaan dengan PKI. Keduanya sama-sama menentang kolonialisme,
kapitalisme, imperialisme, dan neo-kolonialisme.
“Pikiran
apa yang sama dengan PKI? Sukarno menentang yang namanya kapitalisme,
imperialisme, kolonialisme, yang kita kenal kemudian dengan nama nekolim.”
Ungkap Peter.
Oleh
karena itu, lanjut peter, keduanya bekerja sama dalam hal merebut kembali Irian
Barat dari tangan Belanda dan juga menolak berdirinya Federasi Malaysia.
Namun
demikian, antara Sukarno dan PKI juga memiliki perbedaan, Sukarno
memperjuangkan persatuan nasional, sementara PKI perlawanan kelas.
“Sukarno
itu pada dasarnya orang yang gandrung terhadap menyatukan ide-ide yang ada dan
menyatukan elit-elit yang ada. Sedangkan PKI itu berjuang demi perlawanan,
perjuangan kelas.” Ungkap Peter.
Lalu
di mana pemikiran Sukarno yang dikaitkan dengan pemikiran Marx? Pikiran Sukarno
dikaitkan dengan pemikiran Marx, menurut Peter, adalah ketika Sukarno
membicarakan tentang marhaenisme.
“Pikiran-pikiran
Sukarno yang dikaitkan dengan marxisme, ketika Sukarno bicara tentang
marhaenisme.” Ungkapnya.
Marhaen
digambarkan oleh Sukarno sebagai cerminan masyarakat Indonesia yang tidak
memiliki tanah luas, namun cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Cangkul dan
kerbau berfungsi sebagai alat produksi untuk menggarap sawah atau kebun. Meski sederhana,
mereka hidup bahagia.
Sementara
proletar adalah sebutan bagi pekerja yang tidak memiliki modal. Mereka bekerja pada
pemilik modal, dengan semata-mata mengandalkan tenaga yang mereka miliki.
Marhaen
dan proletar sama-sama kelas pekerja, kaum kecil, atau wong cilik. Sukarno
menerjemahkan kaum proletar di Barat, menjadi orang marhaen di Indonesia. Sukarno
juga tidak menyebut masyarakat Indonesia sebagai kaum proletar karena mereka
masih memiliki alat produksi dan tidak bekerja untuk orang lain.
“Kalau
proletar itu orang yang bekerja untuk orang lain, ia tidak mandiri, beda dengan
marhaen. Kalau marhaen muncul dari masyarakat agraris, tapi kalau proletar
muncul dari masyarakat industri.” Ungkap Peter.
Peter
juga menjelaskan perbedaan antara marxisme dan leninisme. Leninisme adalah tafsiran
dari pada marxisme oleh Lenin, kemudian disebut marxisme-leninisme.
“Marxisme
itu pikiran-pikiran dari Marx yang ditafsirkan oleh Lenin, itu menjadi
marxisme-leninisme, tapi kemudian ketika Lenin hilang diganti oleh Stalin, itu
ada yang namanya stalinisme, jadi pikiran pikiran yang dikembangkan oleh Stalin.”
Ungkapnya.
Selain
itu, Peter menambahkan, marxisme tidak pernah dibakukan, sehingga terdapat
perbedaan dalam menafsirkan marxisme.
“Marxsisme
itu tidak pernah dibakukan, makanya orang kalau ngomong marxisme, itu tafsirnya
beda-beda karena tidak pernah dibakukan. Beda dengan leninisme.” Ungkap Peter.
Pembicara
kedua adalah Indriyanto, pengajar pada Jurusan Sejarah FIB Undip. Ia mengungkapkan
bahwa marxisme menjadi metode perjuangan bagi negara-negara di Asia-Afrika
untuk melawan kolonialisme. Sukarno, ungkap Indri, menyebut bahwa marxis adalah
metode berpikir tentang sosial ekonomi, yang isinya adalah perjuangan.
“Marx
itu adalah metode. Bung Karno mengatakan marxis itu adalah metode berpikir
tentang sosial-ekonomi, dan isinya dari metode itu adalah berjuang.” Ungkapnya.
Menurut
Indri, metode berpikir Marx ditambah pemikiran Lenin menghasilkan komunis
Rusia, yang selanjutnya diperbaiki oleh Stalin.
“Marx
itu metode berpikirnya, ditambah pemikiran lenin menghasilkan komunis.
Komunisnya ya komunis Rusia, tapi diperbaiki oleh Stalin.” Ungkap Indri.
Pemikiran
Marx juga digunakan oleh Mao Zedong, maka menghasilkan Maoisme. Pemikiran Marx
digunakan oleh Sukarno, menghasilkan marhaenisme.
“Marx,
sama pemikirannya marx, digunakan oleh Mao Zedong, maka jadi maoisme. Marx
digunakan oleh Sukarno jadilah marhaenisme.” Ungkap Indri.
Oleh
karena itu, lanjut Indri, bagi negara-negara yang terkena dampak kapitalisme
dan kolonialisme, marxis menjadi efektif untuk dijadikan sebagai metode
perjuangan karena ia menentang kapitalisme dan kolonialisme di mana kolonialisme
adalah anak dari kapitalisme.
“Marxis
itu sangat efektif untuk dijadikan metode perjuangannya, karena yang ditentang
kapitalisme, yang ditentang kolonialisme. Sementara kolonialisme itu adalah
anaknya kapitalisme, lha embahnya (kakeknya) itu imperialisme.” Terangnya.
Menurut
Indri, sesungghuhnya inti dari pembahasan seputar pemikiran Sukarno, tidak lain
adalah soal persatuan dan keadilan.
”Tetapi
intinya saudara-saudara bahwa itu metode perjuangan, yang paling penting di
dalam pembahasan-pembahasan di sekitar pemikiran Sukarno itu adalah persatuan
dan keadilan.” Tegasnya.
Acara
bedah dan diskusi buku Sukarno, Marxisme & Leninisme dimoderatori oleh
Joseph Army Sadhyoko, mahasiswa angkatan 2010 yang baru saja menyelesaikan
pendidikan S1-nya pada Jurusan Sejarah FIB Undip. Sesi diskusi juga berlangsung
seru dengan adanya beberapa peserta yang memberikan tanggapan maupun pertanyaan.
Acara yang digelar dari pukul 19.30 itu berlangsung hingga pukul 22.00 WIB.
Usai acara, sejumlah peserta tampak bergantian berfoto bersama Peter Kasenda. ***

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top