kembali menggelar Peka Kota Forum di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS), Semarang,
Senin malam (29/2). Dengan tajuk Bincang Strategi Kebudayaan Kota, Adin,
moderator yang sekaligus juga direktur Hysteria, memandu acara yang berlangsung
selama lebih kurang dua jam tersebut.
![]() |
Peka Kota Forum #12 (doc. internet) |
Pembicara yang
hadir malam itu antara lain: Tri Waluyo dari Dinas Sosial Pemuda dan Olahraga
(Dinsospora), Kasturi dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) dan
ketua Dewan Kesenian Semarang (DKS), Mulyo HP.
Tri Waluyo yang
menjadi pembicara pertama menyampaikan, bahwa Dinsospora berencana mendirikan
Kampung Pemuda sebagai program pengembangan generasi muda di Semarang.
Menurutnya, pemuda harus menjadi subjek yang proaktif dalam melestarikan budaya
tradisional. Sependapat dengan Waluyo, Kasturi menyampaikan, bahwa pengembangan
budaya di kalangan anak-anak muda mestinya berbasis pada pendidikan. Namun,
menurutnya, pendidikan kebudayaan tak cukup jika hanya diberikan dilembaga
formal. Keluarga harus turut berperan dalam pelestarian budaya tradisional, misalnya
dalam pemakaian bahasa Jawa.
ditujukan kepadanya tentang apa saja yang akan dilakukan Disbudpar dalam
merancang strategi kebudayaan, ia menjelaskan, bahwa rencana strategis
kebudayaan nantinya akan dirembukan bersama dengan komunitas dan pegiat seni
dan budaya yang ada di Semarang. “Bulan maret nanti, makanya, kita mau
merumuskan dialek semarang ini seperti apa sih? Dan kita merumuskannya
bersama komunitas, bukan dari kami sendiri” katanya.
hujan hampir sepanjang acara, diskusi tidak kehilangan atensi dari peserta yang
hadir. Setelah Mulyo HP menutup pembicaraannya seputar paradigma pemerintah
terhadap kebudayaan dan implikasinya di masyarakat, diskusi dipenuhi dengan
beragam pendapat dari peserta. Pengelolaan TBRS yang cenderung kurang
transparan pun, tidak luput dari perbincangan malam itu.
tempat di TBRS—yang dinilai mahal oleh beberapa kalangan—misalnya, menurut
Kasturi, semua telah diatur dalam Perda
dan akan masuk ke pendapatan daerah. Ia juga megatakan bahwa kondisi TBRS yang
tidak terawat hingga sekarang adalah sebab tidak adanya anggaran dari APBD. “jadi anggaran kita untuk perawatan tidak
ada, yang ada hanya listrik …” jelasnya.
berharap kegiatan kebudayaan di semarang tidak hanya terpusat di TBRS,
melainkan juga di tempat-tempat lain yang ada di Semarang. Sebab jika
dipusatkan di TBRS, kegiatan-kegiatan kebudayaan akan sulit dijangkau oleh
masyarkat sehingga potensi kesenian yang ada di Semarang akan kurang terdengar
gaungnya.