Menggunakan megafon, seorang mahasiswa berbicara serius di pendopo Student Center Universitas Diponegoro (Undip). Di hadapannya, beberapa mahasiswa lain duduk melingkar. Ia adalah Narendra Wicaksono. Sore itu (14/3) ia memandu jalannya diskusi “Johar Menuntut” yang digelar Bidang Sosial-Politik (Sospol) Badan Eksekutif Mahsiswa (BEM) Undip.
Diskusi diawali dengan pembacan press release berjudul “Dilema Pasar Johar” yang sebelumnya telah dibagikan kepada peserta. Dari press release tersebut, Sospol BEM Undip lalu menjelaskan perkembangan relokasi Pasar Johar, yang rencananya akan berlokasi di lahan seluas 6 hektare di belakang Masjid Agung Jawa Tengah (MAJT). Narendra menuturkan, daerah relokasi itu sebelumnya telah diresmikan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, pada 20 Januari 2016. Namun hingga sekarang mandek, belum ada kejelasan lebih lanjut terkait proses relokasi tersebut. Lapak Sementara yang sudah sudah berdiri di Jalan Arteri Soekarno-Hatta itu pun mangkrak lantaran belum ada pedagang yang berjualan. Dan sebab alasan itulah, imbuhnya, Sospol BEM Undip menggelar diskusi.
Sayangnya, sebagai penyelenggara diskusi, Sospol BEM dinilai belum memiliki data yang cukup tentang kondisi di lapangan. Misalnya, ketika muncul pertanyaan: apakah relokasi Pasar Johar bersifat permanen atau sementara. Hal ini memicu berbagai reaksi dari peserta diskusi. Salah satunya Rionaldo. Mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat ini menuturkan, ketika relokasi pasar johar didirikan di atas lahan produktif, biasanya akan untuk sulit mendapatkan izin Amdal. Ia juga berspekulasi, bahwa ada maksud lain terkait pemilihan tempat relokasi tersebut. “Kalau pun itu pasar sementara berarti, menurut saya pribadi, ada hal terselubung. Kenapa? Karena 6 hektare itu mematikan lingkungan sawah. Gak mungkin ahli lingkungan akan mengeluarkan izinnya kalau itu enggak jelas”, ujarnya.
Lain halnya dengan yang diutarakan Tessa Revananda. Ia justru mengkritisi cara Sospol BEM Undip dalam mengkaji isu pasar Johar. “Saya melihat adanya isu yang terlalu besar. Dan teman-teman bingung, mau mengelolanya seperti apa. Teman-teman ingin pro dengan pemerintah, tapi teman-teman bergerak di grassroot. Sehingga di sini tidak terjadi sinkronisasi”, kata mahasiswi yang juga anggota Senat Mahasiswa Undip tersebut. Ia juga menyayangkan bahwa dalam pencarian data, Sospol BEM Undip hanya berjalan sendiri tanpa bekerjasama dengan pihak lain, seperti stake holder, sehingga data yang didapatkan belum mampu mendukung asumsi yang dilontarkan. ”teman-teman gak bisa hanya sekedar berasumsi. Kalau tadi saya mengingatkan bahwa pendapat teman-teman hanya sekedar asumsi saja, begitu, mana relevansinya?”, tandasnya.
Senada dengan Tessa, Odang dari jurusan Arsitektur mengatakan, dalam mencari data BEM Undip seharusnta banyak menggaet kerjasama dengan komunitas-komunitas yang ada di Semarang. “Pasar Johar ini kan yang mendekati banyak mas. Banyak komunitas-komnitas Semarang yang jalan bahkan sudah beberapa persen. Nah, ini takutnya teman-teman tidak memanfaatkan potensi. Seperti data-data yang teman-teman gak dapet ini, sebenarnya bisa dibantu sama orang lain” ungkapnya.
Di luar hal tersebut, Sospol BEM mengatakan bahwa kedepannya akan membangun gerakan simpatik bersama Bidang Pengandian Masyarakat BEM Undip, dan juga pihak-pihak lain di luar Undip, dalam mengangkat isu Pasar Johar.
Acara diakhiri dengan merumuskan enam tuntutan yang akan disampaikan ke pemerintah Semarang, diantaranya: Revitalisasi Pasar Johar; dibukannya akses jalan dari dan ke lokasi relokasi Pasar Johar; dibukannya trayek angkutan umum ke tempat relokasi Pasar Johar; disediakannya sarana-prasarana penunjang di lokasi relokasi sementara Pasar Johar; pencairan dana kompensasi dari Gubernur Jawa Tengah; dan menjadikan Pasar Johar sebagai sentral pemasaran produk masyarakat Semarang.
(Hendra Friana)