
Kepadatan dan kesumpekan di Semarang sepertinya menjadi keprihatinan bagi Flaudia
Wahidatin. Dalam Forum Peka Kota ke-14 di kampung Petemasan, Senin malam
(11/4), mahasiswi Teknik Planologi Unissula itu mempresentasikan hasil studi yang ia lakukan bersama teman-teman
satu timnya, Naufal Haidar, Muh Zulfikari dan Alfa Ardi. Hasil studi tersebut adalah Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) kawasan RW 01 dan 02, Kelurahan Purwodinatan,
Semarang.
Wahidatin. Dalam Forum Peka Kota ke-14 di kampung Petemasan, Senin malam
(11/4), mahasiswi Teknik Planologi Unissula itu mempresentasikan hasil studi yang ia lakukan bersama teman-teman
satu timnya, Naufal Haidar, Muh Zulfikari dan Alfa Ardi. Hasil studi tersebut adalah Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) kawasan RW 01 dan 02, Kelurahan Purwodinatan,
Semarang.
Dalam presentasi itu, Flaudia dan timnya
menawarkan solusi yang salah satunya adalah vertical living atau
pembangunan rumah susun. Menurutnya, kondisi rumah warga yang saling
berdempetan dan kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) membuat dua RW di Purwodinatan tersebut terlihat kumuh, terlebih dengan adanya pertambahan jumlah penduduk setiap
tahun. “Karena bagaimanapun juga lahan kita tidak bisa berkembang. Jadi kita
memutuskan untuk membangun vertical living di sana untuk mengatasi
masalah-masalah yang ada seperti RTH,” ungkap Flaudia.
menawarkan solusi yang salah satunya adalah vertical living atau
pembangunan rumah susun. Menurutnya, kondisi rumah warga yang saling
berdempetan dan kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) membuat dua RW di Purwodinatan tersebut terlihat kumuh, terlebih dengan adanya pertambahan jumlah penduduk setiap
tahun. “Karena bagaimanapun juga lahan kita tidak bisa berkembang. Jadi kita
memutuskan untuk membangun vertical living di sana untuk mengatasi
masalah-masalah yang ada seperti RTH,” ungkap Flaudia.
Selain itu, dalam RTBL yang dipresentasikan, mereka juga mendesain sarana
dan prasarana pendukung lain seperti lahan parkir, trotoar, ruang terbuka
hijau, tempat sampah, rambu lalu-lintas, dan sebagainya, disertai perkiraan
Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang mencapai 98 miliar.
Namun, apakah pembangunan
rumah susun merupakan solusi yang dibutuhkan warga, masih menjadi pertanyaan. Jonathan, warga Pemetasan, karena itu bertanya kepada Flaudia dan timnya: apakah data yang dipakai dalam RTBL telah mewakili setiap kepala keluarga di dua RW tersebut? Sebab menurutnya, konsep vertikal living tidak bisa serta merta dipakai tanpa melihat konteks kebutuhan warga.
dan prasarana pendukung lain seperti lahan parkir, trotoar, ruang terbuka
hijau, tempat sampah, rambu lalu-lintas, dan sebagainya, disertai perkiraan
Rencana Anggaran Biaya (RAB) yang mencapai 98 miliar.
Namun, apakah pembangunan
rumah susun merupakan solusi yang dibutuhkan warga, masih menjadi pertanyaan. Jonathan, warga Pemetasan, karena itu bertanya kepada Flaudia dan timnya: apakah data yang dipakai dalam RTBL telah mewakili setiap kepala keluarga di dua RW tersebut? Sebab menurutnya, konsep vertikal living tidak bisa serta merta dipakai tanpa melihat konteks kebutuhan warga.
Hal tersebut dibenarkan oleh Flaudia.
Dalam setiap perencanaan, planner memang diharuskan melakukan kelompok
diskusi terarah dan sosialisasi untuk mengetahui apa yang diinginkan warga sebelum membuat desain tata bangungan dan lingkungan. Namun,
hal itu tidak diakukan oleh ia dan teman-temannya karena keterbatasan waktu. “kita melakukan penelitian ini tidak dibarengi dengan sosialiasasi langsung karena kita tidak ada waktu dan tidak sampai melakukan FGD. semisal benar-benar ada proyek, kan harus benar-benar FGD (Focus Group Discussion, Red) ya pak. Jadi bagaimana baiknya, itu dimusyawarhkan dengan perwakilan-perwakilan masyarakat. Nanti dari FGD tersebut kita bisa tau apa sih yang diinginkan warga dan apa yang bisa disampaikan kepada warga” jelasnya.
Dalam setiap perencanaan, planner memang diharuskan melakukan kelompok
diskusi terarah dan sosialisasi untuk mengetahui apa yang diinginkan warga sebelum membuat desain tata bangungan dan lingkungan. Namun,
hal itu tidak diakukan oleh ia dan teman-temannya karena keterbatasan waktu. “kita melakukan penelitian ini tidak dibarengi dengan sosialiasasi langsung karena kita tidak ada waktu dan tidak sampai melakukan FGD. semisal benar-benar ada proyek, kan harus benar-benar FGD (Focus Group Discussion, Red) ya pak. Jadi bagaimana baiknya, itu dimusyawarhkan dengan perwakilan-perwakilan masyarakat. Nanti dari FGD tersebut kita bisa tau apa sih yang diinginkan warga dan apa yang bisa disampaikan kepada warga” jelasnya.
Dalam forum bertajuk “Berbagi Mimpi
Warga” itu, disinggung pula oleh Purna, moderator acara, bahwa
pembangunan tidak harus selalu merubah hal-hal fisik, dan harus pula memperhatikan hal-hal non-fisik seperti kebudayaan dan
nilai-nilai historis yang ada. “karena sebenarnya banyak contoh perencanaan yang tidak harus berganti (merubah fisik bangunan, red). karena kalau kita bicara kumuh atau tidak kumuh, ya rusun juga bisa menjadi kumuh. Jakarta bisa menjadi contoh bagaimana rusun terkadang tidak menjadi solusi,” ucapnya. (HW Friana)
Warga” itu, disinggung pula oleh Purna, moderator acara, bahwa
pembangunan tidak harus selalu merubah hal-hal fisik, dan harus pula memperhatikan hal-hal non-fisik seperti kebudayaan dan
nilai-nilai historis yang ada. “karena sebenarnya banyak contoh perencanaan yang tidak harus berganti (merubah fisik bangunan, red). karena kalau kita bicara kumuh atau tidak kumuh, ya rusun juga bisa menjadi kumuh. Jakarta bisa menjadi contoh bagaimana rusun terkadang tidak menjadi solusi,” ucapnya. (HW Friana)