Dokumentasi: M. Chaerul Rais |
Selasa siang (5/4), lapangan Widya Puraya Undip dipenuhi ratusan mahasiswa aksi unjuk rasa. Unjuk rasa tersebut memprotes wacana pemberlakuan dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) dan kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang belakangan ramai diperbincangkan.
Aksi yang mengatasnamakan Aliansi Mahasiswa Undip ini membawa tiga tuntutan yang sebelumnya telah dirumuskan dalam konsolidasi akbar Senin lalu (4/4). Tiga tuntutan tersebut di antaranya, penolakan kenaikan UKT, tidak diadakannya SPI serta transparansi pengelolaan dana Undip.
Sejak pukul 14.00, massa yang merupakan mahasiswa dari tiap fakultas berbondong-bondong menuju Widya Puraya dengan membawa spanduk penolakan. Sebagian yang telah sampai di sana, melakukan aksi salat berjemaah sekaligus blokade jalan. Suasana semakin ramai setelah seluruh massa berkumpul dan mahasiswa dari masing-masing fakultas berorasi.
Sementara itu, di dalam Widya Puraya, beberapa perwakilan mahasiswa melakukan mediasi tertutup bersama staf dan jajaran Rektorat. Sayangnya, Rektor Undip, Prof. Yos Johan Utama, tak bisa hadir karena sedang berada di luar negeri.
Berlangsung selama kurang lebih 5 jam, unjuk rasa mencapai puncaknya ketika jajaran rektorat bersedia menemui mahasiswa di depan Widya Puraya. Ratna, Ketua Bagian Keuangan Undip mengungkapkan kepada massa aksi bahwa tujuan pengadaan dana SPI adalah untuk pemeliharaan alat dan aset universitas, bukan untuk yang lain. Sementara mengenai kenaikan UKT ia menuturkan “Biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) itu dihitung persemester. Nanti adik-adik bisa download ya, aturannya ada di Menteri Pendidikan Tinggi, Permenristek Dikti nomor 5 tahun 2016. Itu untuk penghitungan UKT. Mengapa UKT bisa naik tiap tahunnya”.
Selain itu, ia juga memaparkan bahwa proses mediasi belum bisa menghasilkan apa-apa. Ia berdalih hal tersebut bukan wewenangnya, dan mau tidak mau harus menunggu kedatangan Rektor sebagai pihak yang berwenang. “Kita bisa menyampaikan ke Pak Rektor, Insya Allah Selasa depan”, ujar Ratna.
Mendengar pernyataan tersebut, massa yang telah lama menunggu terlihat kecewa. Mereka mendesak agar Rektor ditelepon, namun hal tersebut tak digubris oleh jajaran rektorat. Hal itu lambat laun membuat suasana lepas kontrol. Massa sempat pecah koordinasi akibat tersulut emosi dan provokasi dari pihak tak dikenal. Proses mediasi yang dilakukan tidak berjalan sesuai harapan.
Unjuk rasa berakhir tanpa adanya kejelasan sikap dari kedua belah pihak. Para mahasiswa membubarkan barisannya, sedangkan jajaran dari pihak rektorat tetap berkukuh untuk memutuskan kebijakan setelah datangnya Rektor, dan hal tersebut baru dapat diputuskan minggu depan.
Rionaldo, koordinator aksi, mengonfirmasi lebih lanjut mengenai apa yang terjadi. Ia mengungkapkan bahwa suasana menjadi tidak terkontrol karena kesalahannya saat berbicara. “Saya pikir saya salah. Salahnya di sini, saya mencoba menganalogikan, tapi analoginya nggak kena. Saya menganalogikan gini, dari pihak rektorat itu mengutamakan pembangunan-pembangunan saja. Gimana kalau mahasiswa itu sepakat, udah nggak usah mbangun. Riset kita kaya kemarin, tapi SPI nggak usah ada, UKT nggak ada. Tapi menganalogikannya itu sebenernya salah. Itu membuat pecah. Pecah di kawan-kawan soalnya itu panas dan mungkin kata-kata analogi saya tidak tepat untuk menganalogikannya” ungkapnya. (HW/Qonita & Resza)