![]() |
Oleh Ahmad
Ali Fakhruri |
Tak perlu perkenalan. Aku benci
nama. Aku benci diri sendiri. Bagaimana cara menyapaku? Terserah. Semua ini
berasal dari kisah masa laluku. Aaaaaah,
Aku lahir dari keluarga terpandang di Dukuh Pesawahan. Anak ke delapan dari 11
bersaudara. Kelahiran tahun 1968, banyak anak banyak rejeki kata orang
terdahulu. Emak hamil 21 kali, namun hanya 11 yang hidup sampai dewasa. Mungkin
karena belum adanya fasilitas yang memadai seperti saat ini, banyak kehamilan
yang mengalami keguguran. Atau bayi meninggal setelah lahir mungkin juga sang
ibu yang meninggal karena kurangnya pertolongan pertama.
Banyaknya saudara sepersusuan,
kerepotan yang dialami Emak luar biasa. Hingga anak juga yang akhirnya menjadi
korban. Seperti didikan yang kurang adil, sampai pukulan-pukulan yang biasa aku
alami sejak kecil. Semua masih aku bisa terima, namun satu hal yang tidakku
terima sampai kapanpun. Aku terlahir sebagai wanita. Yaaah wanita yang di anggap sebagai makhluk rapuh tetapi sering
dipakai untuk memikul yang sangat berat.
Berawal dari saatku berusia 14
tahun, kelas 3 SLTA. Aku bertekad untuk melanjutkan sekolah sampai setinggi
mungkin. Kebetulan di kelas selalu mendapatkan bintang kelas, dari pertama kali
mengenal sekolah sampai tamat. Kecerdasanku sering disanjung para guru. Kepintaranku
membuat semua teman-teman iri. Tapi semua itu hanya hanya omong kosong, aku tak
dapat dukungan dari orang tua. Bahkan setiap kali akan berangkat sekolah aku
harus bersembunyi, harus mengumpet bak maling supaya tidak ketahuan orang tua.
Bukannya orang tua tak mampu menyekolahkan anaknya. Alasannya sepele, kodratnya
wanita masak, macak, manak.
Seakan dipersulit, setiap waktunya
akan berangkat sekolah. Emak selalu memberikan tugas yang sangat banyak. Intinya
seperti menahanku untuk bersekolah, mungkin dipemikirannya aku bakal malas
sekolah. Tapi, aaah masa bodoh aku
harus semangat, harus segera selesai urusan yang diberikan Emak dan langsung
berangkat sekolah. Jadi setiap pagi harus bangun jam empat lalu mandi, sholat,
masak nasi, bikin teh hangat buat seluruh keluarga. Walaupun aku mempunyai
empat saudara wanita, namun hanya aku yang diberikan tugas sebanyak ini.
Mungkin karena empat saudaraku yang lain manut terhadap orang tua terutama
masalah sekolah.
Semua anak laki-laki keluargaku bersekolah.
Bahkan sangat didukung orang tua. Semua harta diberikan untuk mencerdaskan saudara
lelakiku. Banting tulang memeras keringat berdagang tiada henti supaya para saudara
lelakiku ini bersekolah setinggi mungkin. Mereka diberi kebebasan untuk
bersekolah bahkan didukung penuh dengan fasilitas yang ada. Sedangkan saudara
wanita? Sedangkan aku?
Dua saudara wanita sudah menikah. Mereka dijodohkan,
dijodohkan sesuai keinginan orang tua. Dengan melihat bibit, bebet, bobot menurut mereka sempurna. Dalam pikiranku yang
masih remaja dan polos saat itu, aku pikir “Laaah
siapa yang mau nikah? Loh kok yang memilih orang tua”. lanjutku dalam hati
bicara “Tanpa tau bahkan mengenal saja tidak tiba-tiba kawin? laah bagaimana nanti nasibku nanti? apa
bakal seperti saudara yang lain? Umur yang belum matang harus seranjang dengan
laki-laki yang baru dikenal. Tak bisa dibayangkan. Seperti inikah nasib wanita?”.
Kembali ke cerita sekolahku. Pagi
itu, aku sedang memikirkan kemana bakal lanjut sekolah. Aku berpikir akan
sekolah di kota. Yah walaupun lumayan jauh dari desaku. Mungkin aku bisa nebeng
motor bersama saudaraku saat berangkat berkuliah. Seperti biasa, saat aku bantu
menyiapkan dagangan bapak disitu saatnya aku merayu bapak supaya diijinkan
melanjutkan sekolah. Bapak orangnya jujur bukan main. Semisal aku sedang
menyiapkan dagangannya, sedang menimbang-nimbang lalu timbangan tersebut hanya
pas. Maka aku bakal langsung dibentak. Kata beliau “Tambah lagi, jangan ngepas.
Akhirat tanggungannya” dalam pemikiranku “Lah wong sudah ngepas, yang penting
tidak mengurangi”. Tapi bapakku tetap bersikukuh. Mungkin juga inilah mengapa
keluarga tidak pernah kekurangan berkah yang selalu didapat. Kejujuran seorang
lelaki yang luar biasa.
Sembari membantu dagangan saat
ngobrol-ngobrol santai aku ngomong ke Bapak supaya diijinkan melanjutkan dan
membiayai keperluan sekolah. Jawaban bapakku singkat. “Ngomong sama emakmu dulu, kalo Emak setuju Bapak ikut setuju”. Duuuuh bisa-bisa semisal minta
melanjutkan sekolah kepada Emak yang ada hanya bentakan! Ntahlah anakmu ini Cuma ingin sukses dengan jalannya sendiri.
Benar saja, aku memberanikan diri
ijin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi kepada Emak. Namun apa? Aku
hanya mendapatkan cacian tentang kodrat wanita. Walhasil aku bahkan tidak
diajak berbicara sepatah katapun. Berhari-hari tanpa diajak berbicara, hampa
rasanya. Bahkan dianggap seperti tidak pernah ada sosok diriku dihadapannya.
Suatu hari sepulang sekolah, ada
seorang tamu. Lelaki menggunakan kemeja putih bercelana cutbray dengan kumis tipis dan rambut gondrong namun disisir rapi.
Aku tersenyum ramah selayaknya menyambut tamu seperti biasanya. Dia pun
tersenyum manis. Sembari beristirahat di kamar sambil membaca ulang apa yang
diajarkan sekolah tadi. Emak lalu mengetuk pintu dan masuk ke kamarku. Waaah akhirnya Emak mau mengakui sosokku
di dalam keluarga. Sebuah kabar gembira kurasa. Aku awali pembicaraan, “Ada apa
mak?” Lantas beliau menjawab “Ndak ada
apa-apa”. Tumben sekali Emak berbicara seperti ini. Cuek dan melanjutkan
membaca. Lantas emak membuka pembicaraan “Tadi kamu lihat tamu lelaki?” cuek ku
menjawab “Iya” lanjut emak “Lelaki tersebut dengan orang tuanya akan datang kesini
melamarmu besok”. Seketika jantung berhenti, bak di tabrak kereta yang sedang
melaju kencang. Serontak aku jawab “TIDAK!”. Tanpa memberi jawaban, Emak
meninggalkan kamarku. Tiba-tiba air mata mengalir deras dengan sendirinya.
Seperti tak ada hari esok yang indah seperti yang aku bayangkan selalu. Aku
paham hal ini tidak bisa terelakkan.
Cita-citaku sebagai seorang guru pun
sirna. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hidupku. Benar saja keesokkannya lelaki
tersebut bersama orang tuanya datang ke rumah. Aku pun tak mungkin membuat malu
keluarga karena penolakan. Sedangkanku mengenal saja tidak, haruskah waktunya
datang secepat ini? Bagaimana dengan sekolahku?
Orang tuaku menyambut dengan ramah.
Sudah di ujung tanduk kehidupanku. Menggigil sekujur tubuh ini. Dingin sedingin
kutub. Gelap seperti dalamnya samudera yang tak pernah tertembus sinar sang
surya. Teh manis hangat yang aku bawakan untuk mereka berbanding dengan
keadaanku. Setelah menyuguhkan minuman lantas Emak mengenalkanku kepada mereka.
Dengan tersenyum masam aku lemparkan kepada mereka. Bahkan nama mereka pun takku ingat. Tak inginku ingat mereka. Dengan
alasan urusan dapur, aku segere meninggalkan mereka. Terburu-buru! muak! Berada
diantara mereka seakan di kandang macan pada malam hari. Mencekam, gelap gulita
seperti masa depanku!
Apa yang harus aku lakukan? Bingung
tak mengerti, atau memang tidak ada yang bisa aku lakukan selain menerima semua
ini. Tapi aku harus berontak, harus! Pahlawan seperti R.A kartini pun harus
berontak sehingga dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan. Tapi pemberontakan
yang seperti apa yang harusku lakukan? Kabur dari rumah? Lari dengan laki-laki
lain pilihanku sendiri? Beranikah aku menjadi anak durhaka dan tak akan mencium
wangi surga? Ah lagi-lagi dilema.
Aku pasrah, takdir yang menentukan.
Tak mempunyai ruang gerak lagi. Bersekolah sekarang hanya impian yang tidak
bakal terlaksana. Pada saat hari dimana penentuan tanggal pernikahan, aku
meminta kepada kedua belak pihak supaya menanti sampai aku lulus SLTA. Aku menundanya, selagi mempersiapkan mentalku
menghadapi semua dengan alasan “Aku ingin lulus SLTA”. Akhirnya merekapun
menyetujuinya. Setidaknya ijazahku nanti bakal jadi kenangan yang mengingatkan
akan manisnya kehidupanku.
Pada hari pernikahan 21 juli 1983,
semua merasakan kebagiaan, tersenyum, tertawa, meriah sekali pada waktu itu.
Hanya aku, tidak bisa dibayangkan senyumanku waktu itu. semua hanya topeng yang harus digunakan
demi semua orang disekelilingku. Termasuk pria yang sedang bersanding denganku
dipelaminan. Otot-otot pipi yang harus berkerja keras supaya tetap tersenyum
manis dihadapan semua tamu. Apa kabar hatiku?
Semua hancur, cita-citaku bagaimana? Semua impianku hanya mimpi semata
didalam lelapku saat itu, karena terlalu capeknya bersandiwara supaya terlihat
bahagia.
Hari demi hari, minggu demi minggu
hingga bulan aku jalani dengan hampa rasa. Hingga suatu hari suamiku ini
mengajakku hidup disebuah kota besar, Semarang nama kota tersebut. Yaaah aku kenal betul kota ini. Kota
yang membuat keluargaku bertahan hidup. Karena dagangan bapakku semua dijual di
Pasar Johar ini. Sebuah pasar legendaris. Lagi pula pasti ketika Bapak ke Semarang
bakal ada tempat untuk istirahat sementara sebelum balik ke desa. Akhirnya aku
putuskan untuk pindah ke Kota Semarang dengan suamiku. Aku dan suamiku
menggunakan mobil sewaan. Supaya tak repot membawa barang-barang yang bakal
dibutuhkan. Sampai juga di sebuah rumah yang bakal aku tinggali. Rumah itu
berarsitektur Belanda. Konon rumah tersebut milik bos suamiku dan suamiku
diberi tugas supaya meng-hendle usaha
yang ada di Semarang sekalian merawat rumahnya.
Rumah itu luas, seperti ciri rumah
jaman kuno, dengan halaman sangat luas dengan pohon mangga tua di depan rumah.
Sepertinya pohon mangga itu sama tuanya dengan bangunannya. Rumah yang kami
tinggali berletak di sekitar kawasan kota tua Semarang. Nyaman sekali tinggal
rumah itu. Halaman depan berisikan kursi terbuat dari rotan. Dengan meja bundar
kecil dan vas bunga diatasnya. Ruang tengah terdapat sofa berwarna kecoklatan.
Meskipun kurang cocok dengan bangunan yang terlihat klasik dengan sofa, tapi
perpaduan warna coklat membuat indah ruangan. Rumah itu terdapat juga dua kamar
tidur, dapur, dan kamar mandi.
Suatu malam, suamiku mengajak
jalan-jalan sekedar menikmati malam di kota tua. Indah sekali malam itu. Kami
sempatkan untuk berfoto di tempat indah itu. Foto tersebut adalah foto pertama
dan terakhir selama hidupku di Semarang.
Hingga suatu hari usaha suamiku
dengan bosnya hancur karena krisis ekonomi. Kami harus segera hengkang dari
rumah karena akan dijual. Disitu mulailah perubahan suamiku. Dari awal
hubunganku dengan suamiku baik-baik saja sekarang tiada hari tanpa pertikaian.
Semua perabotan rumah tangga hancur. Tak kalah juga aku sebagai pelampiasan.
Lagi-lagi wanita yang menjadi korban.
Aku adalah korban dari kemarahan
suamiku. Suamiku frustasi dengan pekerjaannya namun aku yang menjadi korban.
Tekanan-tekanan selalu aku terima, karena tersadar juga kebutuhan berkeluarga,
namun aku sebagai seorang istri tidak dapat membantu. Lagipula sudah tugasnya
seorang suami mencari nafkah untuk keluarganya.
nama. Aku benci diri sendiri. Bagaimana cara menyapaku? Terserah. Semua ini
berasal dari kisah masa laluku. Aaaaaah,
Aku lahir dari keluarga terpandang di Dukuh Pesawahan. Anak ke delapan dari 11
bersaudara. Kelahiran tahun 1968, banyak anak banyak rejeki kata orang
terdahulu. Emak hamil 21 kali, namun hanya 11 yang hidup sampai dewasa. Mungkin
karena belum adanya fasilitas yang memadai seperti saat ini, banyak kehamilan
yang mengalami keguguran. Atau bayi meninggal setelah lahir mungkin juga sang
ibu yang meninggal karena kurangnya pertolongan pertama.
Banyaknya saudara sepersusuan,
kerepotan yang dialami Emak luar biasa. Hingga anak juga yang akhirnya menjadi
korban. Seperti didikan yang kurang adil, sampai pukulan-pukulan yang biasa aku
alami sejak kecil. Semua masih aku bisa terima, namun satu hal yang tidakku
terima sampai kapanpun. Aku terlahir sebagai wanita. Yaaah wanita yang di anggap sebagai makhluk rapuh tetapi sering
dipakai untuk memikul yang sangat berat.
Berawal dari saatku berusia 14
tahun, kelas 3 SLTA. Aku bertekad untuk melanjutkan sekolah sampai setinggi
mungkin. Kebetulan di kelas selalu mendapatkan bintang kelas, dari pertama kali
mengenal sekolah sampai tamat. Kecerdasanku sering disanjung para guru. Kepintaranku
membuat semua teman-teman iri. Tapi semua itu hanya hanya omong kosong, aku tak
dapat dukungan dari orang tua. Bahkan setiap kali akan berangkat sekolah aku
harus bersembunyi, harus mengumpet bak maling supaya tidak ketahuan orang tua.
Bukannya orang tua tak mampu menyekolahkan anaknya. Alasannya sepele, kodratnya
wanita masak, macak, manak.
Seakan dipersulit, setiap waktunya
akan berangkat sekolah. Emak selalu memberikan tugas yang sangat banyak. Intinya
seperti menahanku untuk bersekolah, mungkin dipemikirannya aku bakal malas
sekolah. Tapi, aaah masa bodoh aku
harus semangat, harus segera selesai urusan yang diberikan Emak dan langsung
berangkat sekolah. Jadi setiap pagi harus bangun jam empat lalu mandi, sholat,
masak nasi, bikin teh hangat buat seluruh keluarga. Walaupun aku mempunyai
empat saudara wanita, namun hanya aku yang diberikan tugas sebanyak ini.
Mungkin karena empat saudaraku yang lain manut terhadap orang tua terutama
masalah sekolah.
Semua anak laki-laki keluargaku bersekolah.
Bahkan sangat didukung orang tua. Semua harta diberikan untuk mencerdaskan saudara
lelakiku. Banting tulang memeras keringat berdagang tiada henti supaya para saudara
lelakiku ini bersekolah setinggi mungkin. Mereka diberi kebebasan untuk
bersekolah bahkan didukung penuh dengan fasilitas yang ada. Sedangkan saudara
wanita? Sedangkan aku?
Dua saudara wanita sudah menikah. Mereka dijodohkan,
dijodohkan sesuai keinginan orang tua. Dengan melihat bibit, bebet, bobot menurut mereka sempurna. Dalam pikiranku yang
masih remaja dan polos saat itu, aku pikir “Laaah
siapa yang mau nikah? Loh kok yang memilih orang tua”. lanjutku dalam hati
bicara “Tanpa tau bahkan mengenal saja tidak tiba-tiba kawin? laah bagaimana nanti nasibku nanti? apa
bakal seperti saudara yang lain? Umur yang belum matang harus seranjang dengan
laki-laki yang baru dikenal. Tak bisa dibayangkan. Seperti inikah nasib wanita?”.
Kembali ke cerita sekolahku. Pagi
itu, aku sedang memikirkan kemana bakal lanjut sekolah. Aku berpikir akan
sekolah di kota. Yah walaupun lumayan jauh dari desaku. Mungkin aku bisa nebeng
motor bersama saudaraku saat berangkat berkuliah. Seperti biasa, saat aku bantu
menyiapkan dagangan bapak disitu saatnya aku merayu bapak supaya diijinkan
melanjutkan sekolah. Bapak orangnya jujur bukan main. Semisal aku sedang
menyiapkan dagangannya, sedang menimbang-nimbang lalu timbangan tersebut hanya
pas. Maka aku bakal langsung dibentak. Kata beliau “Tambah lagi, jangan ngepas.
Akhirat tanggungannya” dalam pemikiranku “Lah wong sudah ngepas, yang penting
tidak mengurangi”. Tapi bapakku tetap bersikukuh. Mungkin juga inilah mengapa
keluarga tidak pernah kekurangan berkah yang selalu didapat. Kejujuran seorang
lelaki yang luar biasa.
Sembari membantu dagangan saat
ngobrol-ngobrol santai aku ngomong ke Bapak supaya diijinkan melanjutkan dan
membiayai keperluan sekolah. Jawaban bapakku singkat. “Ngomong sama emakmu dulu, kalo Emak setuju Bapak ikut setuju”. Duuuuh bisa-bisa semisal minta
melanjutkan sekolah kepada Emak yang ada hanya bentakan! Ntahlah anakmu ini Cuma ingin sukses dengan jalannya sendiri.
Benar saja, aku memberanikan diri
ijin melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi kepada Emak. Namun apa? Aku
hanya mendapatkan cacian tentang kodrat wanita. Walhasil aku bahkan tidak
diajak berbicara sepatah katapun. Berhari-hari tanpa diajak berbicara, hampa
rasanya. Bahkan dianggap seperti tidak pernah ada sosok diriku dihadapannya.
Suatu hari sepulang sekolah, ada
seorang tamu. Lelaki menggunakan kemeja putih bercelana cutbray dengan kumis tipis dan rambut gondrong namun disisir rapi.
Aku tersenyum ramah selayaknya menyambut tamu seperti biasanya. Dia pun
tersenyum manis. Sembari beristirahat di kamar sambil membaca ulang apa yang
diajarkan sekolah tadi. Emak lalu mengetuk pintu dan masuk ke kamarku. Waaah akhirnya Emak mau mengakui sosokku
di dalam keluarga. Sebuah kabar gembira kurasa. Aku awali pembicaraan, “Ada apa
mak?” Lantas beliau menjawab “Ndak ada
apa-apa”. Tumben sekali Emak berbicara seperti ini. Cuek dan melanjutkan
membaca. Lantas emak membuka pembicaraan “Tadi kamu lihat tamu lelaki?” cuek ku
menjawab “Iya” lanjut emak “Lelaki tersebut dengan orang tuanya akan datang kesini
melamarmu besok”. Seketika jantung berhenti, bak di tabrak kereta yang sedang
melaju kencang. Serontak aku jawab “TIDAK!”. Tanpa memberi jawaban, Emak
meninggalkan kamarku. Tiba-tiba air mata mengalir deras dengan sendirinya.
Seperti tak ada hari esok yang indah seperti yang aku bayangkan selalu. Aku
paham hal ini tidak bisa terelakkan.
Cita-citaku sebagai seorang guru pun
sirna. Tidak ada yang bisa menyelamatkan hidupku. Benar saja keesokkannya lelaki
tersebut bersama orang tuanya datang ke rumah. Aku pun tak mungkin membuat malu
keluarga karena penolakan. Sedangkanku mengenal saja tidak, haruskah waktunya
datang secepat ini? Bagaimana dengan sekolahku?
Orang tuaku menyambut dengan ramah.
Sudah di ujung tanduk kehidupanku. Menggigil sekujur tubuh ini. Dingin sedingin
kutub. Gelap seperti dalamnya samudera yang tak pernah tertembus sinar sang
surya. Teh manis hangat yang aku bawakan untuk mereka berbanding dengan
keadaanku. Setelah menyuguhkan minuman lantas Emak mengenalkanku kepada mereka.
Dengan tersenyum masam aku lemparkan kepada mereka. Bahkan nama mereka pun takku ingat. Tak inginku ingat mereka. Dengan
alasan urusan dapur, aku segere meninggalkan mereka. Terburu-buru! muak! Berada
diantara mereka seakan di kandang macan pada malam hari. Mencekam, gelap gulita
seperti masa depanku!
Apa yang harus aku lakukan? Bingung
tak mengerti, atau memang tidak ada yang bisa aku lakukan selain menerima semua
ini. Tapi aku harus berontak, harus! Pahlawan seperti R.A kartini pun harus
berontak sehingga dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan. Tapi pemberontakan
yang seperti apa yang harusku lakukan? Kabur dari rumah? Lari dengan laki-laki
lain pilihanku sendiri? Beranikah aku menjadi anak durhaka dan tak akan mencium
wangi surga? Ah lagi-lagi dilema.
Aku pasrah, takdir yang menentukan.
Tak mempunyai ruang gerak lagi. Bersekolah sekarang hanya impian yang tidak
bakal terlaksana. Pada saat hari dimana penentuan tanggal pernikahan, aku
meminta kepada kedua belak pihak supaya menanti sampai aku lulus SLTA. Aku menundanya, selagi mempersiapkan mentalku
menghadapi semua dengan alasan “Aku ingin lulus SLTA”. Akhirnya merekapun
menyetujuinya. Setidaknya ijazahku nanti bakal jadi kenangan yang mengingatkan
akan manisnya kehidupanku.
Pada hari pernikahan 21 juli 1983,
semua merasakan kebagiaan, tersenyum, tertawa, meriah sekali pada waktu itu.
Hanya aku, tidak bisa dibayangkan senyumanku waktu itu. semua hanya topeng yang harus digunakan
demi semua orang disekelilingku. Termasuk pria yang sedang bersanding denganku
dipelaminan. Otot-otot pipi yang harus berkerja keras supaya tetap tersenyum
manis dihadapan semua tamu. Apa kabar hatiku?
Semua hancur, cita-citaku bagaimana? Semua impianku hanya mimpi semata
didalam lelapku saat itu, karena terlalu capeknya bersandiwara supaya terlihat
bahagia.
Hari demi hari, minggu demi minggu
hingga bulan aku jalani dengan hampa rasa. Hingga suatu hari suamiku ini
mengajakku hidup disebuah kota besar, Semarang nama kota tersebut. Yaaah aku kenal betul kota ini. Kota
yang membuat keluargaku bertahan hidup. Karena dagangan bapakku semua dijual di
Pasar Johar ini. Sebuah pasar legendaris. Lagi pula pasti ketika Bapak ke Semarang
bakal ada tempat untuk istirahat sementara sebelum balik ke desa. Akhirnya aku
putuskan untuk pindah ke Kota Semarang dengan suamiku. Aku dan suamiku
menggunakan mobil sewaan. Supaya tak repot membawa barang-barang yang bakal
dibutuhkan. Sampai juga di sebuah rumah yang bakal aku tinggali. Rumah itu
berarsitektur Belanda. Konon rumah tersebut milik bos suamiku dan suamiku
diberi tugas supaya meng-hendle usaha
yang ada di Semarang sekalian merawat rumahnya.
Rumah itu luas, seperti ciri rumah
jaman kuno, dengan halaman sangat luas dengan pohon mangga tua di depan rumah.
Sepertinya pohon mangga itu sama tuanya dengan bangunannya. Rumah yang kami
tinggali berletak di sekitar kawasan kota tua Semarang. Nyaman sekali tinggal
rumah itu. Halaman depan berisikan kursi terbuat dari rotan. Dengan meja bundar
kecil dan vas bunga diatasnya. Ruang tengah terdapat sofa berwarna kecoklatan.
Meskipun kurang cocok dengan bangunan yang terlihat klasik dengan sofa, tapi
perpaduan warna coklat membuat indah ruangan. Rumah itu terdapat juga dua kamar
tidur, dapur, dan kamar mandi.
Suatu malam, suamiku mengajak
jalan-jalan sekedar menikmati malam di kota tua. Indah sekali malam itu. Kami
sempatkan untuk berfoto di tempat indah itu. Foto tersebut adalah foto pertama
dan terakhir selama hidupku di Semarang.
Hingga suatu hari usaha suamiku
dengan bosnya hancur karena krisis ekonomi. Kami harus segera hengkang dari
rumah karena akan dijual. Disitu mulailah perubahan suamiku. Dari awal
hubunganku dengan suamiku baik-baik saja sekarang tiada hari tanpa pertikaian.
Semua perabotan rumah tangga hancur. Tak kalah juga aku sebagai pelampiasan.
Lagi-lagi wanita yang menjadi korban.
Aku adalah korban dari kemarahan
suamiku. Suamiku frustasi dengan pekerjaannya namun aku yang menjadi korban.
Tekanan-tekanan selalu aku terima, karena tersadar juga kebutuhan berkeluarga,
namun aku sebagai seorang istri tidak dapat membantu. Lagipula sudah tugasnya
seorang suami mencari nafkah untuk keluarganya.
Hingga suatu hari aku benar-benar muak.
Aku putuskan ingin menceraikan suamiku. Aku tak kuat lagi sebagai bahan
pelampiasan. Aku tak kuat lagi untuk disiksa fisik maupun batinnya. Tapi
akankah aku bakal dilaknat Tuhan? Bukankah perceraian adalah suatu hal yang
diperbolehkan namun dibenci Tuhan? Tapi mau bagaimana lagi. Aku tak kuat dengan
perlakuannya. Aku harus bercerai dengan suamiku.
Aku mengurus semua syarat-syarat
perceraian di pengadilan. Aku tak memikirkan lagi. Aku harus pergi dari semua
siksaan. Hingga akhirnya aku resmi bercerai. Kembalilah aku dirumah orang
tuaku. Namun apa tanggapan mereka? Mereka hanya menggapku sampah karena tidak
bisa mempertahankan pernikahan yang baru berumur jagung. Terkesan aku yang
salah, atau memang aku yang salah. Tapi mengapa aku yang salah?
Tiada tempat lagi untukku pulang.
Pergi kemana ini? Aku lelah Tuhan. Hinggaku bertemu dengan kawan lama yang
sekarang jadi pengusaha penyalur pembantu rumah tangga. Aku mempunya ide untuk
lari dari segala permasalahan dengan cara menjadi pembantu di Arab Saudi.
Akhirnya aku lari dari semua masalah
yang ada. Aku pergi meninggalkan tempat kelahiranku. Ke negara yang sangat jauh
sebagai pembantu. Berbeda sekali dengan kondisi rumah. Tempat ini sangat panas
disiang hari dan dingin dimalam hari. Tanah gersang dan berbatu. Jarang sekali
terlihat pepohonan. Berdebu, membuat mata terasa pedih.
Akhirnya aku mendapatkan majikan, Seorang
nenek dan seorang laki-laki tampan. Pekerjaan ini sangat melelahkan, tetapi
dengan lelah ini aku melupakan masalahku. Semua terlupakan karena lelah
seharian dari memasak hingga membersihkan seluruh ruangan yang terbilang sangat
luas untuk seukuran rumah. Aku bersyukur hidup disini meskipun lelah justru itu
aku melupakan masalah yang ada dulu.
Suatu hari aku dikagetkan dengan
majikan laki-laki tampan itu. Ia tiba-tiba melamarku untuk dijadikan istrinya.
Maksudnya apa ini? Benakku berbicara. Apakah semua ini hanya omong kosong
belaka? Mana mungkin seorang majikan melamar pembantu? Tak mungkin seorang
majikan jatuh cinta kepada pembantunya sendiri? Apalagi posisiku sebagai janda.
Dengan lagi aku masih trauma dengan seseorang laki-laki. Langsung saja aku
tolak lamaran itu. Tak masuk akal!
Benar saja, suatu hari ketika aku
sedang memasak. Laki-laki itu yang tak lain majikanku mendekapku kuat dari
belakang. Karena aku sedang memasak di dapur, dan kebetulan sebilah pisau sedangku
pegang. Aku manfaatkan untuk mengancamnya dan melindungi diri. Hingga akhirnya
ia melepaskan dekapannya. Namun ia tetap berusaha untuk memperkosaku. Aku ingat
hukum di negara itu, bahwa membunuh artinya hukuman mati. Percuma sekali jika
aku membunuh walaupun aku membela diri tapi intinya aku membunuh. Akhirnya aku
menggertak akan bunuh diri jika laki-laki itu macam-macam. Supaya ia yang akan
dihukum mati jikaku mati. Akhirnya ia pergi ntahlah
kemana ia meninggakan tempat ini. Setelah kejadian itu aku memutuskan untuk
pergi dari rumah itu. Aku minta resign
jadi pembantu disana kepada nenek. Namun ia menolak. Lalu aku memaksa hingga
akhirnya diijinkan dan mengambil gaji selama beberapa bula. Hingga aku akhirnya
pergi meninggalkan rumah laknat itu.
Di jalan aku bingung ntah kemana. Duduk disebuah halte kecil.
Hingga ada seorang laki-laki datang menghampiriku. Dari perawakannya seperti
orang-orang Indonesia pada umumnya. Jelas ketika ia mulai berbicara “Apa yang
kau lakukan disini?”. Jelas laki-laki tersebut berasal dari Indonesia. Jawabku
“Aku bingung, aku kabur dari majikanku”. “Perkenalkan saya Herman, siapa
namamu? Hmmm ayo ikut aku ke suatu
tempat. Disitu tempat seperti sebuah penampungan pembantu yang kabur dari majikannya”
ucapnya. Aku jawab “baiklah aku ikut”. Akhirnya aku pergi dengan laki-laki
bernama Herman ke sebuah tempat penampungan pembantu-pembantu yang kabur dari
majikannya. Dalam perjalanan Herman bertanya kembali “Hmm siapa namamu?” aku jawab “Terserah kau panggil aku apa” “Saya
panggil tanpa nama ya?” hibur Herman. “Terserah” kataku. itu percakapan
terakhir dalam perjalanan menuju lokasi penampungan tersebut.
Setibanya di lokasi itu, aku
terkaget. Banyak sekali orang yang senasib denganku. Banyak sekali terutama
wanita. Tempatnya seperti kos-kosan kumuh. Kamar mandi yang selalu berebut jika
ingin memakainya. Kurangnya air bersih dan masih banyak lagi hal yang tak layak
dihuni disini. Tapi ah biarlah. Saat
ini aku yang penting bisa bertahan hidup disini. Dan Herman kenalan baruku
berjanji akan mencarikanku pekerjaan.
Benar saja, tiga hari aku tinggal di
tempat ini sudah mendapat pekerjaan yang diberikan Herman yaitu di sebuah
tempat cucian. Dengan gaji tidak sebesar menjadi pembantu tapi cukup untuk
hidup disini aku pikir. Hari demi hari ada perasaan aneh dihati. Aku jatuh
cinta kembali, kepada Herman. Untuk sekian lama aku trauma kepada laki-laki
akhirnya aku dapat jatuh cinta kembali kepada seorang lelaki.
Tiga bulan setelah tinggal dengan
Herman, tiba-tiba aku kangen keluargaku. Sebuah keluarga yang dulu seperti
mengusirku tapi ntah apakah ini
ikatan darah atau apa. Intinya aku harus pulang ke negaraku. Tempat
kelahiranku. Ke keluargaku.
Aku memutuskan pulang ke suatu
tempat yang disebut rumah. Meskipun dengan resiko bakal keingat kembali masa
dahulu yang kelam. Namun dengan bekal hasil dari kerja kerasku dan cinta dari
seorang lelaki. Aku yakin itu semua adalah bekal yang cukup untuk melupaknya.
Herman juga menyetujuinya. Ia akan ikut pulang dan akan meminangku. Namun Herman
menyusulku nanti setelah lebaran. Biar nanti Herman yang bawakan semua hasil
kerjaku disini. Tidak perlu membawa banyak uang atau harta benda berbahaya.
Rawan kejahatan katanya.
Aku pulang. Tak kusangka, kehangatan
keluarga yang dulu hilang sekarang aku dapatkan kembali. Tak sabar ku kenalkan
Herman kepada keluargaku. Akhirnya lebaran. Suatu perayaan yang meriah. Hari
besar Islam. Sebuah kebiasaan jika di hari itu adalah hari berkumpulnya keluarga.
Dan Herman janji akan datang. Kutunggu, kutunggu tak kunjung datang… .
A K U S U K A T U L I S A N N Y A
Membuat aku merasa beruntung di mana ayah ibuku tak memaksakanku layaknya mbk nya 😢