Kupu-kupu Taman Firdaus

Oleh Annaskaryadi

Bambang
tak mengenal firasat, ia tetap berangkat ke pelabuhan seperti malam-malam
sebelumnya. Meski langit begitu pekat tak seperti purnama biasa, meski kaok
gagak terdengar jelas di genting rumah petak yang dikontraknya. Ia tetap pergi
bekerja, meninggalkan Nur seorang diri di rumah berteman radio butut yang baru
lunas kreditannya tadi pagi, mendendangkan lagu-lagu cinta.


***


Sudah
sebulan lebih aku tidak melihat Nur di sekitaran gereja, tidak juga di taman,
bar, dan ruas-ruas jalan Kota Lama. Biasanya ia memilih sebuah gang sempit yang
pernah dijadikan setting sebuah film
ternama. Kenapa Nur memilih gang itu aku tak pernah mengerti sebabnya.
Mungkin  karena ada bangku kecil tak
bertuan sehingga ia bisa duduk menunggu pelanggan, atau karena cahaya di sana cukup
remang supaya kecantikannya tidak menarik perhatian, atau bisa jadi Nur memang
lebih menyukai kegelapan? Entahlah, tapi yang jelas aku menyukai Nur, seperti
halnya pemilikku, pemain biola di salah satu angkringan dekat gereja. Aku tahu
pemilikku menyukai Nur, sebab setiap manggung kami sama-sama tak bisa
melepaskan pandangan darinya. Nur yang cantik, Nur yang bercahaya.                                                                     


Nur
tak pernah benar-benar sendirian di kegelapan gang, dua atau tiga kali dalam
semalam seorang pria bertato naga memanggilnya, menyuruhnya masuk ke sebuah
mobil yang segera meluncur ke salah satu hotel berbintang. Nur akan kembali
lagi ke gang itu dalam dua jam, duduk di atas bangku tak bertuan sambil sekali
dua meringis menahan kesakitan entah dimana namun disamarkan dengan ketenangan
dalam kegelapan. Oh Nur, betapa di saat-saat itu aku ingin segera meninggalkan
panggung, menyusul di kegelapan gang membawa segelas teh hangat untukmu. Tuanku
barangkali berpikiran sama, sebab matanya selalu sembab tiap kau kembali,  kadang air matanya menetes di tubuhku,
meneriakkan jerit bisu atas ketidakmampuannya melindungimu.


Pria
bertato naga itu Si Pemegang Kuasa, Nur. Aku dan pemilikku telah mengetahuinya
bahkan sejak sebelum kau tiba di sini. Kami tak pernah berani melakukan apa-apa
selain melantunkan tembang-tembang yang ia minta, sekali tak patuh siapa pun di
Kota Lama bisa pulang dalam keadaan tidak utuh dan tak bisa kembali mencari
penghidupan di sana. Bukankah pipi kananmu pernah ditamparnya pada takbir
pertama suatu Subuh? Kau bukan yang pertama Nur, sebab dari cerita yang beredar
beberapa perempuan lain yang pernah singgah juga pernah mengalami hal yang
sama. Tapi entah kenapa kau terasa berbeda Nur, Tuanku tak pernah mengajakku
bersembunyi di balik gereja sampai semburat fajar memudar, hanya padamu Nur,
hanya untukmu  ia rela berangkat sebelum
senja dan pulang setelah subuh. Entah mata sendu atau lesung pipimu yang telah
memikat aku dan tuanku, tapi kami telah menyayangimu sejak pertama kali kau
duduk di kegelapan gang yang persis menghadap ke arah panggung tempat kami
mencari penghidupan.


Kenapa
kau kembali lagi malam ini Nur? Bukankah kau sudah meninggalkan kegelapan gang
dan hidup bahagia dengan seseorang bernama Bambang? Setidaknya begitulah cerita
yang kudengar dari anak buah pria pria bertato naga dua pekan lalu. Kabar ini
membuat tuanku sedih sekaligus senang. Ia senang sebab kau tak perlu melewati
malam-malam panjang, meladeni pria-pria hidung belang dan berakhir mengisak
pelan di kegelapan gang, tetapi ia juga sedih sebab tak pernah melihatmu
sebulan belakangan. Dulu matanya selalu awas memandangimu dari kejauhan,
sekarang ia selalu menunduk, seringkali matanya dipejamkan ketika menggesek
dawai-dawaiku, mungkin di benaknya ia membayangkan dirimu, Nur.


Tunggu,
kau tidak mengenakan pakaian seperti yang basa kau kenakan di kegelapan gang
Nur. Kau resah dan gelisah. Ada apa gerangan? Aku ingin memberitahu tuanku tapi
ia telah larut dalam gesekan dawai-dawaiku. Kucoba menarik perhatian
tuanku,mengulur salah satu dawaiku sampai kendur supaya ia membuka mata. Perlu
waktu cukup lama bagi tuanku untuk menyadari ada Nur di sana.


Plak!


Tangan
kiri pria bertato naga itu sudah mendarat di pipi kanan Nur,disusul makian yang
terdengar samar-samar. Salah satu dawaiku putus, tuanku baru menyadari
kehadiran Nur setelah pria bertato naga itu memaksa Nur masuk ke dalam mobil
butut, mendorong sambil sesekali memukulnya keras. Tuanku turun dari panggung,
bersamaan dengan mobil butut yang melaju menembus kegelapan. Sekali lagi kami
tak berdaya melindungi Nur, tuanku hanya bisa mengumpat,
“Asu!”

***


Dua
bulan lalu aku sudah mati jika seorang perempuan jelita tidak menyelamatkanku
dari godaan malaikat maut. Aku sudah hampir pasrah ketika napasku mulai
terengah-engah menuju desah pelan tak teratur. Sialan memang, demi melepaskan
birahi pada seekor anjing betina kampung aku harus berkelahi dengan pejantan
lain yang juga menginginkannya. Tak banyak yang bisa kulakukan, sebab memang
ukuran tubuhku tak seberapa. Tapi aku bukan 
pecundang, kulawan anjing berukuran dua kali dari tubuhku habis-habisan
demi Mona, betina yang sudah lama kuidamkan. Cakar dan gigi Boni, si pejantan
dari gang sebelah, memang terlampau tajam untuk kutandingi. Luka-luka cukup
dalam menghiasi hampir sekujur tubuhku, bercak-bercak darah mulai terlihat dan
di sebagian tempat masih mengalir, menguarkan aroma anyir. Setidaknya aku kalah
setelah melakukan perlawanan, supaya Mona tahu aku benar-benar berniat ingin
mengawininya malam itu. Aku tahu Mona sebenarnya juga menginginkanku, tapi Boni
yang memenangkan duel, begitulah aturannya.



Aku
segera menyingkir, membiarkan Boni menyalak meneriakkan kemenangannya berhasil
mengawini Mona. Di sebuah gang gelap aku berjalan tertatih-tatih, langkahku tak
seimbang dan kepalaku mulai pusing berhias kunang-kunang. Duniaku mulai gelap,
meski samar-samar masih kudengar kokok ayam jantan dan suara adzan. Lalu
tiba-tiba sepasang tangan lembut membelaiku,
“Kamu
kenapa? Habis berkelahi ya? “


Tentu
aku tak bisa menjawab tanya suara merdu itu, namun serta merta ia menggendongku
ke sebuah tempat yang belum ku ketahui. Di sebuah ruang sempit ia membasuh
lukaku, meneteskan cairan yang membuatku merasa perih (sesekali aku menyalak
ketika cairan itu diteteskan), kemudian menutup lukaku dengan lembar-lembar
kain seadanya. Tak lupa ia memberiku semangkuk susu hangat. Aku tertidur
sesaat.


Segera
setelah kesadaranku terkumpul aku menyadari betapa jelita malaikat penolongku
ini. Wajahnya berbentuk oval, kulitnya kuning langsat, dengan mata sendu dan
lesung pipi cukup dalam di pipi kirinya. Malaikat ini merawatku dengan sangat
telaten sampai lukaku benar-benar sembuh, bahkan ia tak segan membawaku ke
dokter dan memberiku makanan mahal. Di siang hari ia senang bermain-main dan
becerita denganku, mengisahkan kisah-kisah pilu tentang dirinya yang membuatku
semakin menyayanginya. Sedang di malam hari ia pergi entah ke mana dan baru
pulang ketika fajar tiba, yang kutahu ia selalu kelelahan setiap pagi. Sampai
suatu hari ia berkata padaku,


“Guk,
kamu sudah sehat kan? Kamu ndak papa
kalau tak tinggal? Aku harus segera pindah dari sini.”
Ia
terlihat sedang bahagia dengan seorang lelaki yang merangkul mesra bahunya,
maka aku tidak protes, kuelus pipinya dengan sisi kepalaku. Kurelakan ia pergi
meninggalkanku sebab aku tak ingin malaikatku merana seperti ketika Mona harus
kawin dengan Boni. Toh aku sudah berutang terlalu banyak padanya.


Sebulan
sudah aku tak berjumpa dengan malaikatku, tiba-tiba aku disekap rindu.
Kuputuskan berjalan-jalan di sekitar gang tempat dulu pertama kali ia
menolongku. Malaikatku tak ada di sana, gang itu sepi-sepi saja. Kucoba
berjalan ke gang lain, mencari kucing pemalu sekadar untuk ditakut-takuti. Di
gang lain itu ada sebuah mobil butut berhenti, seorang lelaki nampak sedang
berjaga-jaga jika ada seseorang lewat. Tapi aku seekor anjing, mungkin ia tak
merasa perlu mengkhawatirkanku. Ketika aku lewat persis di depan mobil butut
itu, terdengar jerit tertahan. Suara itu terasa tak asing. Malaikatku! Aku
langsung melompat ke kap mobil, mengawasi siapa yang berada di dalam. Benar
saja, malaikatku ada di sana! Tubuh kurusnya ditindih seorang pria bertato
naga, mulut dan hidungnya dibekap kain. Hanya ada satu hal yang terbersit di
pikiranku, aku harus menolongnya. Aku menyalak keras-keras, memprotes pria yang
sedang menjaga mobil, melompat-melompat menggedor pintu mobil. Jeritan
malaikatku yang teredam semakin membuatku ingin mengeluarkannya dari dalam
mobil. Tiba-tiba sebatang balok kayu menghantam kepalaku.

***


Bambang
memecah keheningan subuh, menyebabkkan tetangganya terbangun lebih cepat dari
biasanya ketika muadzin mengumandangkan takbir. Masih dalam balutan kabut dan
sisa embun dini hari, ia pulang ke rumah, menemukan sosok Nur di atas sebuah
becak yang diparkir tepat di samping rumah petak tempat ia tinggal. Istrinya
sudah tak bernyawa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top