Revolusi Pendidikan Harga Mati

Oleh: Akbar Ridwa1

            Revolusi itu bukan sebuah ide yang luar biasa dan istimewa, serta bukan lahir atas perintah seorang manusia
yang luar
biasa. Sebuah revolusi disebabkan oleh pergaulan hidup, suatu akibat tertentu dari tindakan-tindakan masyarakat atau dalam kata-kata yang dinamis. Dia adalah akibat tertentu dan tak terhindarkan
yang timbul
dari pertentangan kelas
yang kian
hari kian
tajam.
2

            Dari apa yang dikatakan Tan Malaka tentang revolusi, saya
berpendapat, sejatinya sifat-sifat revolusioner itu ada di dalam diri manusia,
bagai sebuah naluri yang terus berproses hingga suatu saat naluri revolusi itu akan
meledak.3 Revolusi bagaikan seseorang yang sedang mencari pasangan
yang terbaik dalam hidupnya, namun semakin dicari, semakin tiada didapatkan.
Revolusi bagai sebuah titik yang tiada pernah dipijak walau kaki sudah melangkah jauh. Sampai hari akhir itu tiba, revolusi tiadakan selesai,
terus
berproses, terus berdialektika.
              Pendidikan, apa itu pendidikan?
Pendidikan
adalah proses
perubahan
sikap dan tata laku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.4 Lantas bagaimana hakekat pendidikan?
Pendidikan yang sejati
tidak dilaksanakan oleh
A untuk B atau
oleh A tentang B,
tetapi
justru oleh
A bersama B, dengan
dunia sebagai medianya-dunia
yang mempengaruhi
dan menantang keduanya,
yang melahirkan
pandangan dan pendapat mereka tentang dunia itu.5 Pada akhirnya tujuan pendidikan adalah untuk pembebasan, dan dalam prosesnya tidak boleh ada dikotomi,
karena
semuanya mempunyai akses yang sama dalam dunia pendidikan.




Doc. http://citizen.education/index.php/tag/paulo-freire/

Persoalan Pendidikan di Indonesia

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia, yang terbentuk
dalam suatu susunan Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan
rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang adil dan beradab,
persatuan Indonesia, dan
kerakyatan
yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,
serta
dengan mewujudkan suatu keadilan social bagi seluruh rakyat Indonesia”6
Dari
pembukan UUD 1945 alenia ke-4 kita
dapat mengetahui bahwasannya negara harus mencerdaskan kehidupan bangsa,
yang mana
pendidikan sudah menjadi tanggungjawab negara. Hal
itu
diperkuat dengan
UUD 1945 Pasal 31 tentang
Pendidikan dan Kebudayaan,
yang
berisi tentang tanggungjawab negara atas pendidikan rakyatnya.
Terlepas dari pada itu John Locke berpendapat, bahwa negara diciptakan karena suatu perjanjian kemasyarakatan antara rakyat. Tujuannya ialah melindungi hak milik,
hidup dan kebebasan, baik terhadap bahaya-bahaya dari dalam maupun bahaya-bahaya
dari luar.
Orang memberikan hak-hak alamiah kepada masyarakat,
tetapi
tidak semuanya.7 Dengan demikian negara haruslah melindungi dan memfasilitasi rakyatnya, bukan sebaliknya. Karena pada dasarnya,
rakyat
itu daulat
alias raja atas dirinya.
8
Lantas apa hubungannya dengan persoalan pendidikan Indonesia saat ini? Saya tiada menggeneralisasikan pendidikan, akan tetapi lambat laun, pendidikan Indonesia berubah sifatnya, dari yang mencerdaskan menjadi “membodohkan”, dari yang membentuk pejuang, menjadi membentuk “budak”, dari murah, sampai mahal. Tanpa disadari hal tersebut terjadi di dalam pendidikan Indonesia kini, peran negara seolah menghilang, negara yang sejatinya melindungi dan memfasilitasi tanpa disadari tak lagi ada.
Belumlah selesai persoalan pergeseran tujuan pendidikan, sudah sejak lama pula pendidikan Indonesia
mengalami
persoalan di metode pengajarannya. Tidaklah asing terdengar sebuah kalimat “ganti
menterinya, ganti pula kurikulumnya”. Dengan berbagai alasan, mereka menggantinya
dengan mengatasnamakan kebaikan untuk rakyat, tapi pada akhirnya semua itu hanya
kebaikan bagi dirinya sendiri atau lebih jauh golongannya saja.
Sungguh keruh sekali pendidikan Indonesia saat ini. Jika kita melihat sistem pendidikan, yang berlangsung adalah sistem pendidikan bercerita, dan sistem pendidikan gaya
bank yang menghasilkan mental-mental budak, dan
hal itu saya rasakan sendiri ketika berada
di SD hingga SMA.
Sistem pendidikan bercerita sendiri ialah
guru membicarakan
realitas seolah-olah sesuatu
yang tidak
bergerak, statis,
terpisah
satu sama lain, dan dapat diramalkan. Tugasnya adalah mengisi para murid dengan bahan-bahan
yang dituturkannya
bahan-bahan
yang lepas
dari realitas, terpisah dari totalitas
yang melahirkannya
dan dapat memberinya arti. Pendidikan bercerita membuat murid-murid mencatat,
menghafal, dan
mengulangi ungkapan-ungkapan tanpa memahami. Pendidikan bercerita mengarahkan murid-murid untuk menghafal secara mekanis apa isi pelajaran yang diceritakan. Lebih buruk lagi murid diubah menjadi “bejana-bejana”, wadah-wadah kosong untuk di isi oleh guru. Pendidikan karenanya menjadi sebuah kegiatan menabung,
di mana
para murid adalah celengannya dan guru adalah penabungnya.9
Sedangkan dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan
sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan
kepada mereka yang dianggap tidak memilki pengetahuan apa-apa. Guru menampilkan
diri di hadapan murid-muridnya sebagai orang yang berada pada pihak yang
berlawanan; dengan menganggap mereka mutlak bodoh, maka ia mengukuhkan keberadaan
dirinya sendiri.10
Dari
penjelasan
pendidikan bercerita dan pendidikan gaya
bank, sesungguhnya
sistem itulah
yang masih
terjadi di
Indonesia
.
Saya, atau bahkan para pembaca yang terhormat pun pernah merasakan hal itu ketika duduk dibangku
SD sampai SMA
. Barulah pada tingkat universitas,
gaya
pengajaran seperti itu tidak lagi dirasakan,
atau
bahkan masih ada tetapi intensitasnya sedikit sekali karena adanya sistem Student
Center Learning
.
Lalu apa solusinya?
Solusinya
adalah sistem pendidikan hadap-masalah. Dalam pendidikan hadap-masalah, manusia mengembangkan kemampuannya untuk memahami secara kritis cara mereka mengada dalam dunia dengan mana dan dalam mana mereka menemukan dirinya sendiri; mereka tidak akan memandang dunia sebagai realitas
yang statis, tetapi
sebagai realitas yang berada dalam proses, dalam gerak perubahan.
Pendidikan hadap-masalah menegaskan manusia sebagai mahluk berada dalam
proses menjadi (becoming)-sebagai
sesuatu yang tak pernah selesai,
mahluk yang tidak
pernah sempurna dalam dan dengan realitas yang juga tidak pernah selesai. Lebih lanjut, pendidikan hadap-masalah adalah sikap revolusioner terhadap masa depan.11
Pendidikan kini makin hitam masa depannya. Jika tiada perubahan,
hancurlah
masa depan bangsa Indonesia. Sampai kapan sistem pendidikan
yang mencetak
budak diterapkan? Sampai kapan pendidikan mahal dibiarkan? Sampai kapan sistem yang buruk tetap diterapkan? Sampai kapan
orang-orang yang tidak pro-rakyat
dibiarkan menjabat?
Revolusi pendidikan haruslah disadari keberadaannya,
revolusi
pendidikan haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya, dengan sebenar-benarnya, dan dengan seadil-adilnya. Jalankanlah keadilan meskipun langit akan
runtuh!12
Sesungguhnya kemerdekaan haruslah diterapkan dengan merdeka,
jika belum, maka perjuangan menerapkan kemerdekaan dengan merdeka harus dilakukan,
harus dijalankan.
Kemerdekaan, begitulah
kami sering-sering
terangkan di dalam rapat-rapat umum, kemerdekaan tidaklah bagi kami. Kemerdekaan adalah buat anak-anak kami, buat cucu-cucu kami, buat buyut-buyut
kami yang hidup dikelak kemudian hari!” (
Bung Karno, Indonesia Menggugat.)


1.       
Penulis adalah mahasiswa Ilmu Sejarah
FIB Undip
angkatan 2014
2.       
Tan Malaka, Aksi
Massa, (Yogjakarta, Narasi, 2013) hal. 15
3.       
Menurut Freud,
naluri
dapat digambarkan memiliki sumber,
objek
dan tujuan.
Maksud
sumber adalah keadaan eksitasi
(keadaan yang mudah
sekali dipicu) dalam tubuh. Tujuan menghilangkannya eksitasi itu sendiri; dalam perjalanan dari sumber kepencapaian tujuan, naluri telah beroperasi secara mental. Lihat Reuben Osborn,
Marxisme
dan Psikoanalisis,
terj. N. Huda Effendi, ( Yogyakarta, Alenia, 2005) hal. 17
4.       
KBBI
5.       
Paulo Freire,
Pendidikan
Kaum Tertindas, terj. Tim Redaksi, (Jakarta,
LP3ES, 1985) hal. 80-81
6.       
Pembukaan UUD 1945
Alenia ke-4
7.       
Arief Budiman, Teori Negara: Negara, Kekuasaan,
dan
Ideologi, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama,
1996) hal. 29
8.       
Bung Hatta,
Demokrasi Kita, (Bandung, Sega Arsy, 2008) hal. 24
9.       
Paulo Freire, op,
cit. hal. 49-50
10.     Ibid,
hal. 51
11.     Ibid,
hal. 66-67
12.     Tan
Malaka, op.cit, hal. 69

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top