Murtini dan Ultramen Dalam Konflik Geger Kendeng





Oleh: Ubaidillah Achmad


Malam ini, tanggal 30 12 2016,
saya terkejut setelah mendapatkan kabar, bahwa ada pemanggilan terhadap warga
seputar persoalan identitas diri yang ditemukan dalam daftar surat. Sehubungan
dengan kabar ini, saya meminta kepada teman, bukti surat pemanggilan, sebagai
data atau acuan saya, bahwa apa yang saya tulis ini, karena ada persoalan yang
serius yang harus saya tanggapi.

Sebelum saya menanggapi, saya
mencoba mengingat ingat pada sebuah tayangan program
Mata Najwa yang bertema bergerak demi hak.
Dalam pandangan saya, tema yang dibuat program Mata Najwa di Metro ini sangat
bagus dan relevan dengan kondisi masyarakat sekarang ini. Kondisi masyarakat
ring pertama rembang sekarang ini, adalah masyarakat yang mempunyai hak suara
dan berpendapat terhdap kondisi lingkungannya yang lestari yang dihadapkan
dengan rencana pengembangan industri. Karena menjaga lingkungan lestari, adalah
hak, maka seseorang yang bersikap untuk membela hak, adalah merupakan bentuk
membela hak terhadap lingkungannya.

Bagaimana jika hak membela
lingkungan lestari dikaitkan dengan kebijakan Ganjar yang langsung berdampak
pada objek kebijakan? Dampak dari objek kebijakan ini, misalnya, berupa,
industrialisasi yang berdampak buruk terhadap lingkungan lestari. Karenanya,
untuk menghindari dampak buruk ini, diperlukan kajian yang serius dan penuh
kejujuran. Dengan demikian tidak terjadi konflik akar rumput seperti sekarang
ini.
Martini: Pejuang Kendeng
Martini, adalah di antara
sekian petani yang masih gigih dan sabar menjadi tanda. Sebagai tanda Martini
telah menandai kesadaran manusia terhadap arti lingkungan lestari dan relasi
suci kosmologi. Kesadaran inilah yang melahirkan pengatahuan yang tidak diduga
oleh para kapital dan para ilmuwan, bahwa industri akan berdampak buruk pada
lingkungan, ekologi, lapisan ozon, dan psikis masyarakat korban industri.
Artinya, industri akan berpengaruh pada lingkungan secara umum maupun
lingkungan hidup.

Adanya tanda yang bernama
Martini ini, telah mengundang perhatian masyarakat luas yang tidak hanya terbatas
pada masyarakat Rembang, namun juga masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat
dunia. Fenomena ini telah menggugah banyak pihak untuk turut berpartisipasi
mengingatkan kepada pemerintah maupun swasta, yang mengizinkan pendirian
industri di lingkungan masyarakat padat penduduk. Peringatan ini, sudah dikirim
ke Gubernur malalui sosmed, surat resmi, dan media elektronik dan cetak.

Sebagai sebuah tanda, Martini
telah menghadapi resiko yang berat, yang di antaranya: pertama, terkait dengan
sikap berkorban yang harus menyisakan waktu untuk perjuangan menjaga lingkungan
lestari. Kedua, terkait dengan resiko berhadapan dengan pihak industri dan
aparat keamanan. Misalnya, kondisinya yang berusia 35 tahun (sebagaimana yang
beredar di jejaring sosial) harus berhadapan dengan aparat yang pernah
melemparnya kesemak berduri.

Kejadian na’as ini terjadi
tanggal 16 Juni 2014. Pada peristiwa ini, Murtini bersama puluhan perempuan
dari Desa Timbrangan dan Tegaldowo Gunem Rembang telah berani menghentikan
masuknya alat berat ke dalam area tapak pabrik semen di desa mereka. Keberanian
Murtini ini dibentuk oleh kesadarannya, bahwa pabrik dan tambang semen akan
mengancam suply air yang mereka butuhkan untuk pertanian dan penghidupan
masyarakat, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang untuk
kebutuhan anak cucu.

Kesadaran Murtini yang
berdampak pada jangka panjang ini, sudah ia lakukan sama yang dilakukan para
leluhur sebelumnya. Misalnya, adanya sikap kearifan masyarakat lokal untuk
menanam pohon jati yang diharapkan akan dapat dipetik oleh anak cucu. Model
kearifan lokal yang berupa sikap menanam pohon itu, bukan untuk keuntungan diri
sendiri, namun untuk jangka panjang anak cucu. Karnanya, berulang kali, setiap
Murtini ditanya, tidakkah usia masih muda memerlukan lapangan kerja, segera ia
akan menjawab, kami hanya ingin anak cucuk menyaksikan gunung kendeng yang
mampu menopang kebutuhan air masyarakat Rembang. Hal inilah yang menjadi alasan
mengapa Murtini dan sedulur kendeng yang lain bertahan di tenda yang sudah berlangsung
terhitung selama 929 hari.

Deret kisah perjuangan Murtini
tidak hanya di tapak pabrik, namun bersama ibu-ibu Kendeng terus melakukan
serangkaian aksi. Misalnya, aksi mengiringi proses persidangan, aksi Kartini
Mencari Jokowi, aksi Long March Menjemput Keadilan, aksi budaya Kupatan
Kendeng, aksi menghantarkan surat undangan untuk mengadakan Pembuktian
kebenaran AMDAL.

Hasilnya, perjuangan Murtini
telah mencengangkan semua pihak, baik akademisi maupun para politisi secara
nasional dan dunia. Sesuatu yang dianggap tidak mungkin oleh pihak yang pura
pura mendukung pejuang kendeng melalui jalur hukum, ternyata setelah keputusan
hukum MA belum kunjung bersikap sesuai dengan harapan para petani kendeng.
Yang menjadi ironis, pada saat
tulisan ini dibuat, Ganjar Pranowo belum segera melanjutkan putusan MA.
Misalnya, melanjutkan isi amar keputusan MA. Fenomena sikap Ganjar ini,
berimplikasi pada peristiwa yang seharusnya tidak terjadi: pertama, menerbitkan
ijin baru bagi PT. Semen Indonesia di Rembang. Ini artinya, selain Ganjar
menjanjikan akan mematuhi keputusan hukum yang tidak direspon segera, ia juga
telah terbaca mendukung kelanjutan industri semen di rembang.

Bagaimana sekarang Murtini?
Tanggal 16 Desember 2016, Murtini bersama Sutrisno  menerima surat pangilan dari Polda Semarang.
Kejadian pemanggilan ini bermula dari laporan legal officer PT Semen Indonesia.
Analogi Berbeda Konteks
Dalam kasus pemanggilan
Murtini, telah memunculkan pandangan yang serba kemungkinan. Misalnya, Murtini
akan tetap selamat dari pemeriksaan karena beberapa alasan: pertama, tanda
tangan tersebut masih belum jelas dan relevansinya dengan persoalan substansi analisis
lingkungan. Kedua, Pihak pengadu atau penyidik menyadari objek persoalan tidak
merupakan objek yang menjadi substansi industri apakah berhenti atau berlanjut
di Rembang?

Bagaimana analogi gugatan Joko
Prianto dibandingkan dengan laporan legal officer PT Semen Indonesia terhadap 
Ultramen? Gugatan Joko Prianto tersebut terkait dengan masalah substansi yang
mendasari bukti substansial, apakah sudah ada sosialisasi tentang hal yang
seharusnya disosialisasikan? Sementara itu, persoalan ultramen sebagai bentuk
pilihan rakyat untuk bebas mengidentifikasi diri sebagai peserta yang diminta
berpendapat. Secara sosiologis, hal ini merupakan dampak dari arus teknologi
informasi, sehingga ultramen tidak hanya tren di kalangan masyarakat kota,
namun juga menjadi tren masyarakat desa.

Kemunculan ultramen merupakan
bentuk yang dipersoalkan yang akan berdampak pada penambahan kuantitas tolak
semen versus pro semen. Peran ultramen sebenarnya berfungsi sebagai penanda
tangan dan berfungsi sebagai data pandangan masyarakat yang mengikuti
sosialisasi, bukan diambil sebagai fungsi keabsahan sosialisasi. Karena tanpa
ultramen, baik untuk dukungan sosialisasi maupun untuk dukungan tolak,
sebenarnya tidak berpengaruh apa apa.
Yang menjadi persoalan,
mengapa untuk menanggapi keputusan MA, keberadaan ultramen menjadi kuat? Hal
ini tentu saja, kekuatan ultramen bukan karena dzat fisiknya, namun karena
dikuatkan kehendak kepentingan untuk merespon kepitusan MA.

Selain itu, fenomena Ultramen
berbeda dengan fungsi AMDAL. Karenanya, tidak dapat dianalogikan secara
seimbang, apabila dikaitkan antara ultramen dan AMDAL. AMDAL memiliki arti
penting sebagai dasar perizinan industri. Sementara itu, ultramen merupakan
bentuk tren media informasi yang dipahami masyarakat yang akan berdampak pada
model karakter seseorang yang suka figur ultramen. Sedangkan, model AMDAL jika
tidak dilakukan dengan jujur akan berdampak langsung pada lingkungan lestari
dan kelangsungan ekologis.
Karenanya, jika keberadaan
ultramen dipersoalkan, maka apakah itu masuk kawasan substansial yang akan
berdampak pada lingkungan lestari dan kelangsungan ekologis.
Hukum Islam Terhadap Ultramen
Fenomena Ultramen dalam kasus
konflik akar rumput di lingkungan masyarakat, perlu untuk mendapatkan kajian
pespektif Islam. Alasannya, fenomena adanya ultramen di tengah konflik industri
semen versus warga tolak semen ini berada di lingkungan tradisi santri
masyarakat Pamotan dan Rembang. Tradisi masyarakat santri ini, sangat lekat
dengan perspektif hukum Islam.

Dalam hukum Islam menghindari
kerusakan itu wajib dibandingkan dengan menarik kemaslakhatan hidup. Karenanya,
Amdal untuk melihat dampak lingkungan itu wajib. Sama halnya dengan menjaga
lingkungan lestari, juga dapat dikatagorikan sebagai perbuatan yang mulia. Jika
lingkungan lestari tidak dijaga dengan baik, maka akan berdampak pada kerusakan
lingkungan. Oleh kare itu, hukum menjaga lingkungan lestari itu, adalah Wajib.

Dalam konteks hukum wajib ini
tergantung pada konteks. Jika penjagaan terhadap lingkungan lestari cukup
dengan sebagian perwakilan, maka hukum wajibnya menjadi fardlu kifayah.
Sebaliknya, jika menjaga lingkungan lestari tidak cukup dengan perwakilan, maka
setiap muslim baligh wajib melakukannnya. Istilah hukum untuk katagori ini
disebut fardlu ain.

Yang menjadi persoalan
bagaimana analisis terhadap dampak lingkungan dapat dilakukan dengan jujur
tanpa ada relayasa. Karena kesalahan awal melakukan kajian lingkungan akan
sangat membahayakan bagi generasi yang akan datang. Berikut ini dasar hukum
yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan kepantasan menganalogikan antara
analisis dampak lingkungan dengan kasus Ultramen.

Dasar hukum dimaksud: Al-ashlu
fil asy-yaa’i al-ibaahatu maa lam yarid daliilut tahriim”. Artinya, hukum asal
dari segala benda adalah boleh, selama tidak ada dalil yang mengharamkan,
adalah kaidah yang benar. Sehubungan dengan kaidah “al-ashlu fil asy-yaa’i al
ibaahah” ini, terkait dengan konteks pemanfaatannya. Apa relasinya dengan
pegunungan kendeng? Jika pemanfaatan gunung kendeng tidak mengancam kerusakan
ekologis, maka boleh dilakukan penam
bangan.

Sebaliknya,
jika pemanfaatan gunung kendeng akan merusak kelangsungan lingkungan hidup,
maka haram dilakukan penambangan. Jadi, gunung kendeng merupakan konteks yang
dimaksudkan oleh kata al asya’ yang konteks pemanfaatannya lebih baik bertahan
dan tetap tanpa pertambangan. Kata Al asya’ dijelaskam secara istilah, sebagai
berikut: al mawaadul-latii yatashorrofu fiihaa al-insaanu bi-af’aalihi.
Artinya, materi-materi yang digunakan oleh manusia dalam perbuatan-perbuatannya.

Jadi,
kaidah ini berlaku bagi benda ketika dia dikaitkan dengan perbuatan. Atas dasar
itu, kaidah “al ashlu fil asy-yaa-i al ibaahah maalam yarid daliilut tahriim”
ini bukanlah kaidah yang sia-sia. Jika kita meletakkannya pada tempat yang
benar, maka kita akan menemukan urgensi dari kaidah ini. Misalnya, untuk
konteks menjaga lingkungan lestari dikaitkan dengan mempertahankan gunung
kendeng. Sebaliknya, jika tidak ditempatkan pada konteks yang benar, maka kita
tidak akan menemukan urgensi dari kaidah ini. Misalnya, persoalan ultramen di
tengah konflik antara masyarakat ring pertama dengan industri semen.
Rembang,
1 1 2017

Ubaidillah
Achmad, Penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng, Khadim Majlis
Kongkow As Syuffah Sidorejo Pamotan Rembang

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top