Ganjar dan Resolusi Konflik Kendeng Pasca Perintah MA

Oleh: Ubaidillah Achmad*

Tulisan ini akan menganalisis konferensi pers Ganjar bersamaan dengan pembacaan keputusan-keputusan MA. Dalam konferensi ini, Ganjar menegaskan pencabutan Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia (Persero) Tbk. Pencabutan ini tertuang dalam Surat Keputusan Gubernur No 660.1/4 Tahun 2017 tertanggal 16 Januari 2017.

Betapa tidak mengejutkan? Ternyata dalam konferensinya ini, Ganjar menegaskan telah membuka peluang industri untuk melanjutkan operasional dan melengkapi syarat-syarat sesuai dengan putusan MA. Dengan membuka peluang ini, dapat dipahami, bahwa Ganjar telah meresmikan sikapnya secara langsung untuk menerima kembali pengajuan izin. Sehubungan dengan sikap Ganjar ini diungkapkan dalam konferensi pers di gedung Wisma Perdamaian, Senin (16/1) malam.

Dalam konferensi ini telah disampaikan sebagai konferensi untuk merespon keputusan MA dari kajian tim yang dibentuk Ganjar. Hasilnya, pencabutan izin lingkungan seperti disebut di atas. Mengapa dalam judul tulisan ini ditegaskan sebagai bentuk sikap Ganjar meresmikan konflik Kendeng jilid II? Tentu saja, penulisan judul di atas bukan tanpa dasar, namun analisis terhadap bahasa dan peluang sikap Ganjar yang secara tegas diberikannya kepada industri untuk melakukan izin baru.

Jika fokus pada keputusan merespon putusan MA, maka Ganjar bisa menyampaikan kebijakan pada satu persoalan perizinan yang dicabutnya. Karenanya, jika ada materi lain yang disampaikan dalam waktu yang bersamaan, maka dapat dikatakan sebagai bagian dari kebijakan yang bisa ditindaklanjuti oleh pihak-pihak yang berkepentingan. Sehubungan dengan kebijakan yang disampaikan melalui konferensi pers ini, sekaligus dapat dipahami sebagai bentuk peresmian sikap yang membuka peluang pada pihak terkait, yaitu industri semen.

Tentu saja, kebijakan mencabut kebijakan lama tentang kasus Kendeng sudah dianggap selesai, namun membuka peluang baru terhadap kasus yang sama bisa membentuk kasus baru. Jika ada kisah kasuus yang saling berurutan satu tema, maka dapat dikatakan sebagai bentuk kisah berseri. Dengan demikian, kisah kasus yang pertama bisa disebut konflik Kendeng jilid I. Sedangkan kisah kasus yang dibuka berikutnya, bisa disebut sebagai kasus Kendeng jilid II.

Ganjar seharusnya mempertimbangkan bahwa cara pemerintah Jawa Tengah dan pihak industri yang memastikan perizinan baru industri ini akan membuka persoalan baru atau konflik baru di tengah masyarakat. Jika melihat respon masyarakat Kendeng, aktivis lingkungan dan akademisi, sudah bisa terbaca akan tetap memunculkan gerakan para pembela petani Kendeng menjaga kepastian kelangsungan lingkungan lestari.

Konflik Kendeng sudah menjadi luka bagi masyarakat, sementara belum ada upaya pemerintah untuk melibatkan para akademisi sesuai bidang keahliannya untuk mengapresiasi kebenaran pejuang petani Kendeng tolak industri sebagai penguat keputusan MA. Sudah seharusnya, pemerintah Jawa Tengah tidak hanya merespon keputusan MA, namun juga perlu memikirkan resolusi konflik yang melibatkan akademisi. Misalnya, dengan melibatkan sosiolog dan antropolog yang sekiranya dapat memulihkan mental para pejuang petani Kendeng yang pada akhirnya dibenarkan melalui keputusan MA.


Hukum tanpa Resolusi Konflik 
“Pemerintah ibarat ibu bagi rakyatnya”. Demikian pesan bijak yang sudah menjadi bahasa masyarakat Rembang. Karenanya, pemerintah tidak hanya menyelesaikan persoalan masyarakat hanya dari aspek hukum, namun perlu resolusi yang baik menjawab konflik masyarakat. Misalnya, dengan berbagai pendekatan antropologis dan sosiologi untuk mengembalikan mental masyarakat tolak industri yang dipandang sebelah mata oleh kelompok kepentingan dan masyarakat pro industri.

Perguruan tinggi di negeri ini, sudah memiliki banyak jurusan keahlian, namun jikalau ada konflik pendekatan yang selalu digunakan hanya pendekatan hukum. Hal ini terbaca dari pernyataan Ganjar dalam konferensi pers yang hanya menyampaikan persoalan hukum di satu sisi, namun di sisi yang lain mengabaikan masyarakat yang tolak industri semen, pihak yang dimenangkan putusan MA.

Benarkah tidak terpikirkan oleh Ganjar kebijakan hukum yang disampaikan dalam konferensi pers, telah mengundang konflik sosial bagi masyarakat Kendeng Utara. Benarkah tidak ada cara lain yang menyejukkan masyarakat dalam konferensi pers? Mengapa satu masalah kebijakan Kendeng yang baru diselesaikan atau diputuskan yang belum satu menit sudah dibuka persoalan baru? Dimana kasih sayang seorang ibu kepada anak yang sedang dibenarkan oleh keputusan MA dalam waktu yang bersamaan menunjukkan peluang keberpihakan pada anak yang benar-benar telah melakukan kesalahan prosedur perizinan?

Sebagai masyarakat Rembang yang sering mendapatkan keluhan dari masyarakat Kendeng ring pertama dan masyarakat pada umumnya, penulis sendiri merasakan untuk turut menjawab problem klasifikasi masyarakat pasca perizinan industri di Rembang yang sekarang ini dinyatakan batal karena adanya kesalahan prosedur hasil keputusan MA.

Ada tiga persoalan yang penulis hadapi sejak awal perizinan yang dinyatakan MA menyalahi prosedur ini: pertama, adanya klasifikasi masyarakat pro dan kontra industri. Klasifikasi ini menyita energi masyarakat ring pertama yang sebelumnya tertata kerukunannya dengan sesama warga masyarakat. Kedua, adanya silang tanggapan masyarakat terkait dengan dukungan dari beberapa Kiai yang menimbulkan saling berkomentar antar sesama Kiai tentang industri semen di Kendeng Utara. Hal ini juga menimbulkan friksi kecil yang tidak sehat antar para Kiai di Rembang. Ketiga, pemahaman masyarakat tentang arti penting lingkungan lestari sebagai kelompok yang dianggap menentang pemerintah, padahal keputusan MA telah bersimetris dengan gerakan pejuang petani Kendeng.

Sehubungan dengan fenomena di atas, perlu kiranya kerja tim yang profesional untuk mempererat kembali jalinan persaudaraan masyarakat Rembang yang direcoki rencana pendirian industri yang menyalahi prosedur proses perizinan.

Ketiga persoalan ini, mungkin bukan persoalan perspektif hukum, karena hukum hanya melihat dari persoalan industri menyalahi prosedur atau tidak. Di balik persoalan hukum ini, ketiga hal di atas justru menjadi hal yang penting dan tidak boleh diabaikan, sehingga masyarakat Rembang akan kembali harmonis seperti sebelum adanya rencana industri semen di Kendeng Utara tepatnya di Tegaldowo.

Oleh karena itu, seharusnya sebelum menegaskan peluang perizinan industri kembali pasca pencabutan izin industri, harus diselesaikan dulu luka konflik masyarakat Rembang yang berkembang sejak ada rencana industri.

Karena hidup ini tidak hanya harus dengan pendekatan hukum, maka perlu membangun kembali kasih sayang yang retak akibat kesalahan prosedur industri sebagaimana yang sudah dibuktikan tim  Ganjar merespon putusan MA. Perlu kinerja pemerintah yang mencoba mengerti persoalan masyarakat, bukan malah menjadi penyebab konflik masyarakat.

Sebagai pemimpin, juga tidak perlu menyalahkan di antara masyarakat yang tolak industri, bukankah keputusan MA membuktikan kebenaran pejuang tolak industri. Ibarat menyaksikan diskursus masyarakat, maka pihak pemerintah tidak boleh berat sebelah sehingga perlu memberikan penghargaan yang telah dibuktikan kebenarannya oleh hukum. Selain itu, pemerintah bisa mengembalikan suasana masyarakat yang lebih harmonis.

*Penulis adalah dosen UIN Walisongo Semarang sekaligus penulis Suluk Kiai Cebolek dan Islam Geger Kendeng

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top