Tentang Dongeng dan Merawat Kemanusiaan

Oleh: Faqih Sultan*

            Kalau saja bulan ini perhatian kita tidak tersandra oleh berita Kambing
Jokowi, mungkin kita bisa lebih sadar bahwa pada hari ini tengah berlangsung Hari
Mendongeng Dunia. Sebuah perayaan global, seni cerita lisan yang dirayakan tahunan,
setiap tanggal 20 Maret. Perayaan ini berakar pada hari nasional mendongeng di
Swedia, diawali pada tahun 1991-1992 oleh para pendongeng Swedia dengan nama
All Storytellers Day.


Belakangan, di Indonesia pada tanggal 28 November 2015 lalu, para
pendongeng di seluruh Indonesia juga mengumumkan Hari Dongeng Nasional. Mereka
memilih tanggal tersebut berdasarkan hari lahir bapak dongeng Indonesia, Alm.
Suryadi atau lebih akrab disapa Pak Raden. Penetapan ini memiliki arti legasi,
keteladanan atas perhatiannya terhadap perkembangan dongeng.
Bukan tanpa alasan perayaan hari dongeng semacam ini dibuat. Pasalnya, saat ini perhatian terhadap dongeng seakan
hanya jadi urusan peneliti, dosen, sastrawan, seniman, dan budayawan. Masyarakat
justru meninggalkan tradisi dongeng, dengan alasan, karena sibuk bekerja atau
menganggap dongeng sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman. Ditambah, siswa di
sekolah atau mahasiswa-pun kurang apresiatif terhadap dongeng karena pelbagai
alasan dan faktor.
Melihat fenomena ini, kita seolah sedang berkaca pada cermin yang
retak. Dongeng yang dulu lahir dan tumbuh dalam masyarakat, perlahan hilang
atau dilupakan karena tidak ada pola pewarisan yang efektif dan kreatif. Perubahan
zaman dengan ekspansi cerita-cerita modern menyebabkan tradisi lisan yang
memiliki ruang dan kepemilikan kolektif ikut berkurang dan mengecil. Ironisnya
anak-anak di tataran masyarakat modern justru menunjukkan ketertarikan dan
cenderung akrab dengan cerita-cerita modern berbentuk komik atau film.
Kita tidak perlu mengingkari, bahwa luntur dan memudarnya karakter
bangsa, pertama disebabkan oleh krisis keteladanan. Hal ini merupakan bagian
ujung dari seiring jarang ditemukannya kebiasaan mendongeng. Hilangnya tradisi
mendongeng artinya terbunuhnya kultur tatap muka. Kita menjadi makin kesulitan
untuk bertemu, berdialog, saling menyalami batin, mencium bau keringat, dan
mengenalai kemanusiaan. Sampai akhirnya kita mengalami keterasingan atas
hilangnya jati diri.
Kultur tatap muka tentu tidak sederhana “pertemuan saling  menatap wajah”, melainkan sebuah budaya solidaritas
sosial dalam merawat nilai-nilai kemanusiaan. Sudah sejak lama rakyat disuguhi
mental-mental keculasan, kemunafikan, dan ketidakjujuran. Kiranya penting kita
menemukan tokoh atau sosok dalam dongeng yang menjadi  inspirasi atau cermin, atas kerinduan kita
yang sangat panjang.
Dongeng beserta tokoh-tokohnya memang cendrung fiktif ketimbang
realistis, tidak jarang makna total meleset dari kenyataan hidup. Namun di satu
sisi, dongen memang mempesona dan menarik untuk dihayati. Lewat dongeng, pesan
moral berupa menyayangi saudara, teman, ayah-ibu, dan alam diajarkan tanpa
dengan menggurui. Dari dongeng pula manusia bisa banyak belajar untuk mencari
elemen pendukung keberhasilan perjuangan di kemelut realita hidup.
Mengenang, menggali, dan menghidupkan kembali budaya mendongeng adalah
bentuk penghormatan pada usaha manusia untuk merayakan kehidupan. Dengan menghidupkan
dongeng, kita sedang menghargai apa yang sudah dilakukan para perintis
peradaban ini demi mencapai kualitas kehidupan yang manusiawi.
Meskipun dongeng sering dianggap kurang penting karena tidak tampak
secanggih masa kini. Dongeng bisa dibongkar dan didayagunakan lalu dihubungkan
dengan masa kini. Dengan demikian, fantasi dan imajinasi manusia bisa
diaktifkan untuk secara leluasa memasuki masa lalu, masa kini dan masa yang
akan datang. Hal ini akan memacu lebih jauh kreativitas kita tanpa meninggalkan
akar budaya serta penghargaan atas keberlimpahan dan keramahan budaya.
Mungkin saja yang menakjubkan di masa ini sudah ketinggalan zaman
di tahun depan. Tapi peradaban manusia tetaplah membutuhkan dream (mimpi).
Mahakarya teknologi, seni-budaya, ilmu pengetahuan, dan budi lahir berkat
ayunan derap langkah nyata manusia di atas landasan mahamimpi. Tanpa dongeng
sebagai pupuk impian, tidak akan tumbuh karya dan karsa manusia.
Terakhir, nasib getir dongeng seharusnya membakar jiwa kita sebagai
pewaris kebudayaan untuk selalu mebuat agenda perbaikan. Karena sekali lagi,
bukankah tingkat apresiasi masyarakat terhadap dongeng itu ditentukan oleh
kualitas sebuah dongeng? Jika dongenng bisa merebut hati masyarakat, rasanya
dongeng takkan terlantar.
*Sastra Indonesia 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top