Sejarah, Perkembangan, dan Idealisme Organisasi Mahasiswa; Wadah Pergerakan atau EO (Event Organizer)


Sesuai
dengan perkembangan usianya yang secara emosional sedang bergejolak menuju
kematangan dan berproses menemukan jatidiri, sebagai sebuah lapisan masyarakat
yang belum banyak dicemari kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, alam
fikiran mahasiswa berorientasi pada nilai-nilai ideal dan pembelaannya pada
kebenaran, sebagian ahli memasukkannya ke dalam cendekiawan”
-Arif Budiman

28
OKTOBER 1928
, Gedung Oost-Java Bioscoop di Jalan
Merdeka Utara, Jakarta diramaikan oleh rapat yang digelar para pemuda bangsa
Indonesia. Tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesian (PPPI), mereka
membahas masalah pendidikan. Sampai pada seorang pemuda bernama Sarmidi, tampak
vokal menyuarakan pendapatnya. “Anak harus mendapat pendidikan kebangsaan!
Harus pula ada keseimbangan antara pendidikan di sekolah dan si rumah! Anak
juga harus dididik secara demokratis!”, serunya. Budi Utomo, telah bertuah.

Budi
Utomo merupakan organisasi pemuda Indonesia yang pertama, kebanyakan anggotanya
berasal dari kalangan para mahasiswa.Dengan adanya konggres pemuda yang telah
berhasil melahirkan sumpah pemuda sebagai pijakan awal langkah menuju
kemerdekaan, Budi Utomo terbukti mampu menjadi wadah yang ampuh guna menampung
kemampuan yang dimiliki anggotanya. Keberadaan Budi Utomo sama saja dengan
menyimbolkan sumbu semangat perjuangan dari para pemuda revolusioner bangsa.

Kemunculan
Budi Utomo sebagai sebuah organisasi, mulai dipelajari dan berkembang di dunia
kemahasiswaan setelah adanya politik etis yang dilakukan oleh pemerintahan
Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Salah satu dari politik etis tersebut
adalah membuka kesempatan lebih banyak pada pemuda pribumi untuk menuntut ilmu
ke jenjang pendidikan tinggi. Pemuda pribumi dari kalangan pedagang kaya dan
priyayi diperbolehkan untuk menuntut pendidikan tinggi di Stovia maupun sekolah
tinggi ilmu teknik di Bandung (baca: cikal bakal dari Institut Teknologi Bandung).

Masuk
di masa pasca kemerdekaan 45, organisasi mahasiswa berkembang semakin dinamis
dan menempatkan posisinya sebagai salah satu pilar demokrasi. Memunculkan nama
tenar semisal Soe Hok Gie, sebagai salah satu tokoh aktivis mahasiswa
Indonesia. Kehadiran universitas-universitas besar seperti ITB, UI, UGM, sangat
berpengaruh pada masa itu di mana para aktivis mahasiswanya fokus menyuarakan
perjuangan revolusi pemerintahan melalui media pers, seperti yang dilakukan
Gie. Pada masanya, gerakan mahasiswa pasca kemerdekaan 45′, lahir dari
sumbangsih keberadaan organisasi mahasiswauniversitas yangberhasil menjalankan
fungsinya sebagai wadah untuk berpikir kritis. Gerakan pasca kemerdekaan 45′
disebut-sebut mencapai puncak keberhasilannya setelah menghasilkan Tritura
(Tiga Tuntutan Rakyat), yang akhirnya mengakhiri rezim orde lama.

Setelah
itu, gerakan mahasiswa Indonesia melalui organisasinya akhirnya mengalami
puncak semangat revolusionernya ketika memasuki masa orde baru. Ketidakadilan,
dan pembungkaman hak kebebasan berpendapat oleh pihak pemerintah membuat
gerakan mahasiswa menjadi semakin gencar dan massif.

Organisasi
mahasiswa yang pada watu itu dikenal sebagai Dewan Mahasiswa (DEMA)–sekarang
BEM (Badan Eksekutif Mahasiwa)–di setiap universitas memiliki peranan penting
dalam melakukan kontrol terhadap kebijakan pemerintah karena memiliki kekuatan
yang besar apabila disuarakan melalui presidium nasional DEMA. Presidium
nasional DEMA (baca: sekarang disebut BEM SI) merupakan lembaga yang mewadahi
DEMA universitas di seluruh Indonesia sehingga pengaruhnya sangat besar
terhadap pemerintah. Pimpinan perguruan tinggi tidak bisa campur tangan
terhadap kebijakan DEMA di tiap universitas. Bahkan di internal universitas,
seluruh ormawa yang ada, tergabung dalam DEMA sehingga kekuatannya di tingkat
universitas pun cukup besar. Dampaknya, setiap presidium nasional DEMA
memprotes kebijakan pemerintah maka seluruh mahasiswa di Indonesia juga
bersuara sama. Satu suara.

Bentrokan
mahasiswa dengan pemerintah yang didukung militer, menjadi puncak kejengahan
mahasiswa terhadap perlakuan semena-mena dari pemerintah, sampai mengakibatkan
Peristiwa Malari(lima belas januari). Kebijakan pembangunan pemerintah untuk
mendatangkan produk luar negeri tidak sesuai dengan kemampuan daya beli
masyarakat dan mengakibatkan ketergantungan terhadap negara lain, diantaranya
produk Negara Jepang. DEMA mengadakan unjuk rasa untuk menolak produk-produk
Jepang dan bertepatan dengan kunjungan perdana menteri Jepang ke Indonesia.
Setiap ada kebijakan yang menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat, DEMA selalu
mengadakan unjuk rasa.

Besarnya
kekuatan DEMA bagi pemerintah dianggap bisa mengganggu stabilitas dan
menghambat pembangunan sehingga perlu ada aturan yang bisa mengebiri kekuatan
DEMA. Pada tahun 1978, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan membekukan DEMA (SK
No. 037/U/1979) dan mengeluarkan peraturan tentang Normalisasi Kehidupan Kampus
dan Badan Koordinasi Kampus (SK No. 0156/U/1978). Tujuan utama peraturan ini
adalah untuk mengebiri kekuatan DEMA yang tadinya bersifat nasional menjadi
bersifat lokal universitas (HRW: 1998).

Siasat
pengontrolan pemerintah orde baru kepada gerakan mahasiswa terjadi pada tahun
1982, di mana pemerintah mengeluarkan peraturan tentang senat mahasiswa
diperguruan tinggi dan diperkuat dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
No. 0457/0/1990 tentang Pola Pembinaan dan Pengembangan Kemahasiswaan di
Perguruan Tinggi yang semakin mengubah profil organisasi kemahasiswaan di
tingkat universitas (Sudarma: 2005). Organisasi Kemahasiswaan pada tingkat
Perguruan Tinggi bernama SMPT (senat mahasiswa perguruan tinggi) dan
koordinasinya berada di bawah rektor. Dengan peraturan ini, ormawa semakin
dikebiri karena dipecah-pecah menjadi kecil. Bahkan untuk tingkat fakultas
berada dibawah Pembantu Dekan III. Tujuannya adalah untuk mengurangi kegiatan
mahasiswa dalam berpolitik dan mengembalikan mahasiswa ke kampus untuk belajar.
Hal ini kita kenal bersama dengan istilah, “normalisasi kampus”.

Kebiri
yang dilakukan pemerintah pada ormawa, mengakibatkan realita pahit bagi
kesejahteraan masyarakat. Negara semakin melarat (sengsara) karena pemerintah
yang tidak becus, dengan hadirnya krisis moneter yang terjadi pada masa akhir
1990-an.

Meski
dikebiri, gerakan mahasiswa tidak sepenuhnya lenyap. Terbukti dengan hadirnya
demonstrasi besar-besaran bersama rakyat pada dekade 98′, membuat peraturan
tentang SDSB (Sumbangan Dana Sosial Berhadiah) di ranah pendidikan dihapuskan.
Sehingga aksi massa pun tambah gencar dilakukan. Organisasi mahasiswa, telah menemukan
kembali jalur nafas perjuangannya.

Puncak
dari jalur nafas perjuangan tersebut ialah gedung DPR RI yang menjadi saksi
bisu berakhirnya orde baru, ketika atap hijaunya diduduki ribuan mahasiswa
Indonesia hingga memaksa Soeharto turun dari jabatannya. Mahasiswa menganggap
kredibilitas orde baru sudah jatuh dan tidak becus mengurus Negara sehingga
Negara terpuruk pada krisis multidimensi. Kasus penembakan di Trisakti,
Semanggi dan Salemba yang memakan korban mahasiswa menunjukkan bahwa gelombang
aksi yang dilakukan mahasiswa tidak bisa dihentikan dengan kekuatan senjata
maupun militer. Mahasiswa bersama idealismenya menjadi tokoh sentral
terbentuknya era baru bernama reformasi.

26
tahun sudah reformasi berjalan, dan organisasi mahasiswa beserta gerakannya
telah mengalami banyak perkembangan. Ada hal-hal lama yang mulai ditinggalkan,
dan ada pula hal-hal  baru yang dinilai
patut jika digunakan. Salah satu hal baru tersebut ialah, wajah organisasi
mahasiswa sebagai sarana untuk membuat suatu event besar.

Pudi
JA, mahasiswa sastra Indonesia 2013 yang juga menjabat sebagai ketua KMSI
(Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) FIB Undip, memberikan sedikit
pandangannya terkait wajah organisasi mahasiswa yang digunakan sebagai sarana
untuk membuat event-event besar di lingkungan kampus. “Aku kok agak bingung ya,
di himpunan mahasiswa sastra Jepang kita setiap tahun punya rutinan Orenji
(baca: event tahunan yang dibuat dengan kemasan budaya populer Jepang oleh
Himawari dan Sakura, himpunan mahasiswa sastra Jepang, FIB Undip). Tapi, kalau
melihat sejarah gerakan organisasi mahasiswa, rasa-rasanya jadi gimana gitu.
Mungkin hal seperti ini dianggap menjadi wajar 
jika melihat pengaruh pasar dan kondisi tren yang dibentuk anak-anak muda
kita sekarang.”, ujarnya.

Kehadiran
Orenji (sastra Jepang), Libration (ilmu perpustakaan), E-Day (sastra Inggris),
Bulan Bahasa (sastra Indonesia), maupun Mahakarya (BEM) memang bisa dibilang
hasil dari buah karya organisasi mahasiswa FIB Undip yang berorientasi sebagai
bagian dari EO. Memang secara pasar atau promosi, acara-acara tersebut bisa
dibilang sangat menarik antusiasme pengunjung yang kebanyakan dari kalangan
anak muda. Budaya populer yang berkembang di Indonesia sekarangterutama budaya
populer dari luar negeri tanpa bisa kita tolak telah menjangkiti gaya hidup,
cara berpikir, dan sistem sosial anak-anak muda.

Organisasi
mahasiswa yang bisa membuat event besar dan sukses di pasar, dalam artian
dikenal sampai ke anak-anak muda luar daerah, secara langsung akan dikenai
anggapan sebagai sebuah organisasi mahasiswa yang mumpuni untuk diikuti dan
dicap prestise. Berbeda jauh tentunya, jika ditilik dari segi sejarahnya di
mana organisasi mahasiswa pada masa sebelum kemerdekaan sampai pada akhir era
orde baru, dijadikan sebagai wadah/ sarana untuk mengawal perjuangan
bersama-sama dengan rakyat.

Jika
memang dengan adanya orientasi bahwa menjadi EO merupakan suatu hal yang sangat
dibutuhkan dan sesuatu yang prestise karena masa sekarang sudah bukan masanya
perjuangan. Lalu bagaimana dengan long march 144 km ibu-ibu Pati untuk
memenangkan tuntutan melawan pabrik semen? Ibu-ibu Rembang yang sesak nafas
karena bertahan di tenda kecil selama tiga tahun lebih untuk menghentikan
pembangunan pabrik semen? Para nelayan di Batang, Kebumen yang kehilangan mata
pencahariannya karena tiang-tiang PLTU? Dan masih banyak masalah lain yang
dialami rakyat selama ini.

Idealnya
sekarang, tidakkah lebih bijak jika Sakura dan Himawari membuat acara
menggambar anime bareng dengan tema-tema yang mengawal perjuangan rakyat?
Tidakkah lebih bijak jika KMSI datang ke tenda ibu-ibu Rembang guna membacakan
puisi untuk menyemangati perjuangan mereka ketika Bulan Bahasa tiba? Tidakkah
lebih bijak jika Libration tersebut merupakan Libration yang membagi-bagikan
buku untuk anak-anak kampung yang tidak bisa membaca dan menulis?
Kembali
kepada apa yang telah dikatakan oleh Arif Budiman, pengertian dari mahasiswa
ialah “sebagai sebuah lapisan masyarakat yang belum banyak dicemari
kepentingan-kepentingan praktis dan pragmatis, alam fikiran mahasiswa
berorientasi pada nilai-nilai ideal dan pembelaannya pada kebenaran, sebagian
ahli memasukkannya ke dalam EO”. Oh maaf salah tulis, maksudnya ialah
“cendekiawan”.



(Oleh: Reszha Mustafa. Tulisan sebelumnya dimuat di Buletin Hayamwuruk Edisi IV 2016 )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top