Doc. Google |
FIB resmi aklamasi di tingkat eksekutif. Hal ini tentu bukanlah yang kita
inginkan karena kejadian di tahun 2016 kembali terulang. Sempat optimis
lantaran pemilihan ketua dan wakil ketua BEM periode 2017 dimeriahkan oleh tiga
pasang calon, namun, nahas kemajuan tersebut tidak bertahan dipemilihan ketua
dan wakil ketua BEM untuk periode 2018. Dengan berat saya pun perlu mengatakan
saat ini FIB (kembali) krisis kader.
Hemat saya, saat ini FIB terlalu mengiyakan cara-cara kaderisasi yang sifatnya
konvensional. Kaderisasi yang berorientasi kepada sertifikat untuk menentukan
layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Materi-materi yang diberikan di
tingkat LKMMPD, LKMMD, bahkan sampai tingkat Madya pun saya tidak benar-benar
mengiyakan semua meteri tersebut bisa menjamin seseorang akan cakap menjadi
pemimpin. Bahkan, sebagai mahasiswa awam, saya cenderung mengatakan semua
materi yang diberikan biasa-biasa saja dan bisa dipelajari di buku-buku. Pun
hal ini saya utarakan karena saya bukanlah orang yang menilai seseorang dari
seberapa tinggi dia menempuh pelatihan kepemimpinan dan selembar sertifikat.
tersohor mengalami kegaduhan. Derasnya hujan dan kencangan angin bertiup
akhirnya membawa kabar tak sedap. Kabar angin itu mewartakan, bahwasannya ketua
BEM di kampus tersebut mengeluarkan surat larangan berpolitik bagi anggotanya
di masa-masa pemilihan ketua dan wakil ketua BEM yang baru. Sangat janggal
memang ketika ketua tersebut baru mengeluarkan kebijakannya saat demokrasi
sedang berjalan dengan baik di kampus tersebut. Kalaulah kebijakan itu di
keluarkan di awal kepengurusan, sudah barang tentu kebijakan tersebut tiada
membuat kegaduhan.
mengerikan kala jatuhnya disertai petir yang menyambar ke sana-sini. Layaknya
hujan yang mengerikan, kebijakan ketua BEM di kampus tersohor itu yang melarang
anggotanya terlibat dalam proses demokrasi pada gilirannya membawa malapetaka
di internal BEM-nya. Salah satu menterinya mengundurkan diri. Melalui maya,
menterinya memberitahu bawasannya dari kebijakan ketuanya itu, dia merasa
dikekang hak politiknya dan hal tersebut semestinya tidaklah terjadi.
kabar lagi. Kali ini angin mewartakan kalau-kalau sebelum kebijakan ketua BEM
tersebut di keluarkan mula-mulanya ketua BEM mengintervensi menterinya yang
akhirnya mengundurkan diri agar tidak mendukung salah satu calon. Tapi, di lain
hal yang membuat bingung adalah ketika ketua BEM tersebut membiarkan menterinya
yang lain menjadi timses “bayangan” untuk calon lainnya. Dari warta
yang dibawa angin, saya pun berspekulasi dengan sebuah pertanyaan, “Apakah ketua BEM kampus
itu memihak kepada calon lainnya dan dengan kekuasaannya dia melakukan segala
cara agar memenangkan calon yang disokongnya? Termasuk melarang menterinya
untuk mendukung calon yang memang menjadi lawan dari calon yang
disokongnya.” Ah, bila sudah seperti itu, tak pelak saya berpendapat kalau
ketua BEM kampus itu sungguh tak layak dan tidak cukup bijak menjadi pemimpin.
Ironisnya, ketua BEM kampus itu adalah jebolan dari kaderisasi yang menentukan
seseorang layak atau tidaknya jadi pemimpin dari tingkatan selembar sertifikat
tingkat Madya.
Kisah
itu adalah kisah yang dibawa angin dan kebetulan angin menyampaikan kepada
saya. Dari kisah tersebut, saya pikir, sudah semestinya FIB merubah orientasi
kaderisasi. Pemimpin yang dicetak sampai tingkat LKMM-Madya pun mempelihatkan
lelucon yang semestinya tidak dia lakukan. Bukan hal yang keliru ketika FIB
menentukan jalannya sendiri untuk sistem kaderisasi. Pun solusi yang saya
berikan, ada baiknya para ketua-ketua organisasi FIB duduk bersama dan mempertimbangkan
sistem kaderisasi yang berbasis literasi dan kesenian. Mengapa berbasis
literasi dan kesenian? Argumen saya ialah, di fakultas yang cenderung lekat
dengan literasi dan kesenian, sudah sebaiknya FIB menerapkan sistem kaderisasi
yang tidak bergeser dari citra FIB itu sendiri, yakni literasi dan kesenian.
Hemat saya, bukan hal yang keliru ketika FIB menerapkan sistem kaderisasi yang
menghasilkan pemimpin yang melek literasi dan kesenian. Saya pikir, akan
menjadi hal yang segar ketika FIB tidak lagi menjadikan sertifikat sebagai
indikator layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin, tetapi, menjadikan
literasi dan kesenian sebagai indikator baru layak atau tidaknya seseorang
menjadi pemimpin. Akhir kata, ada baiknya FIB meninggalkan sistem kaderisasi
usang yang berorientasi kepada sertifikat dengan materi-materi yang disampaikan
terlalu biasa, seperti teknik sidang, etika kepemimpinan, pengenalan
organisasi, teknik lobi, manajemen aksi, dan manajemen konflik.