Menyambung Kaderisasi Literasi dan Kesenian

Dokumentasi gambar ; Hayamwuruk

Oleh : Akbar Ridwan, Departemen Ilmu Sejarah 2014 

Sebelumnya saya menuliskan kekecewaan terhadap kaderisasi dengan sertifikat sejauh mana seseorang mengikuti latihan kepemimpinan yang  menjadi indikator guna menentukan layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Hal tersebut menjadi timpang lantaran secara serta merta mereka yang tidak mengikuti latihan kepemimpinan sudah otomatis dianggap tidak layak menjadi pemimpin karena tiada memiliki sertifikat tingkatan latihan kepemimpinan yang sudah ditentukan sebelumnya. Saya pikir, konsep seperti itu jauh dari kebijaksanaan dan keadilan.

Ditulisan sebelumnya saya berusaha memberikan solusi di mana literasi dan kesenian menjadi basis kaderisasi di FIB dan menjadikannya sebagai indikator layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Pada kesempatan kali ini, saya berusaha untuk berbagi pandangan saya kepada pembaca yang terhormat sekalian.

Konsep kaderisasi berbasis literasi dan kesenian adalah konsep kaderisasi yang tidak hanya dilakukan secara singkat layaknya kaderisasi LKMMPD, LKMMD, dan LKMM-TM. Kaderisasi berbasis literasi dan kesenian dilakukan secara bertahap dan berkelanjutan. Dalam prosesnya, tutor (atau katakanlah mereka yang berkompeten untuk melakukan kaderisasi) hanya menjadi pembimbing saja, lebih jauh tutor tidak boleh mengkotak-kotakan pemikiran peserta kaderisasi dengan mengarahkan sesuai apa yang diinginkan oleh tutor.

Dalam kaderisasi membaca, kita mengambil contoh X sebagai tutor dan Z sebagai kader. Ketika Z mengutarakan keinginannya untuk membaca buku B, sekali pun buku tersebut berisikan pemikiran yang berlawanan dari X, maka, X tetap tidak bisa melarang keinginan Z. Kalaulah X punya kehendak, kehedak X di dalam proses ini hanya sebatas memberi saran kepada Z. Ketika Z ingin membaca buku B, tetapi X tahu kalau sebelum membaca buku B ada baiknya membaca buku A terlebih dahulu, maka, dalam hal ini X bisa memberikan saran kepada Z agar membaca buku A terlebih dahulu baru membaca buku B.

Di kaderisasi proses menulis pun juga demikian. Tutor bijaknya tidak mengedepankan kehendaknya. Ketika peserta kaderisasi menginginkan belajar menulis cerpen, maka, tutor tidak boleh melarangnya biar pun dalam hal ini tutor lebih mengedepankan karya tulis bersifat ilmiah. Hal yang sama berlaku juga dengan kaderisasi dalam proses diskusi.

Proses kaderisasi dengan basis literasi membutuhkan tutor yang dalam hal ini tidak merasa paling benar dan tidak merasa paling tahu. Tutor harus bisa menyamakan posisi dengan perserta kaderisasi dan menyadari batas kemampuannya. Ketika proses kaderisasi berlangsung, perlu diperhatikan pula harus ada dialog dua arah karena pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dilakukan oleh X bersama Z. Apabila tutor menyadari tidak memiliki kompetensi yang ingin dipelajari peserta kaderisasi, tutor wajib menyarankan peserta kaderisasi untuk menemui orang lainnya yang dianggap lebih berkompeten.

Hal serupa berlaku juga dengan konsep kaderisasi berbasis kesenian. Bagaimana pun tutor harus mengkesampikan kehendaknya. Mereka yang ingin belajar teater janganlah dipaksa untuk menyanyi, mereka yang ingin belajar kesenian tradisional jangan dipaksa belajar teater, pun seterusnya. Sekali pun demikian, tutor berkewajiban mengkampanyekan kesenian-kesenian yang ada di FIB kepada seluruh peserta kaderisasi dengan tujuan menimbulkan minta-minat mereka. Setelah itu, biarlah peserta kaderisasi yang menentukan pilihannya.

Proses kaderisasi berbasis literasi dan kesenian adalah proses kaderisasi berkelanjutan. Saya tidak melarang kaderisasi di tingkat LKMMPD, LKMMD, dan LKMM-TM. Saya menyadari bahwasannya saya tidak punya hak untuk melarangnya. Tetapi, dalam hal ini saya punya hak untuk memberikan kritik dan saran. Kalau para ketua organisasi di FIB tetap mengehendaki kaderisasi tingkat LKMMPD, LKMMD, dan LKMM-TM silahkan saja. Akan tetapi, ada baiknya materi yang disampaikan di LKMMPD, LKMMD, dan LKMM-TM diperhatikan secara saksama, apakah materinya sesuai dengan apa yang dibutuhkan mahasiswa FIB atau tidak.

Lebih lanjut, pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan pemimpin, saya pikir, tiada salahnya para ketua organisasi di FIB bermusyawarah untuk membahas masihkan layak setifikat latihan kepemimpinan dijadikan indikator layak atau tidaknya seseorang menjadi pemimpin. Pun saya hanya memberi saran, kalaulah bermusyawarah, musyawarahlah untuk mufakat bukan musyawarah untuk voting. Para leluruh kita mengajarkan kita musyawarah untuk mufakat. Tetapi, kalau para ketua organisasi mengehendaki musyawarah untuk voting seperti yang diajarkan Barat, maka, saya tiada punya kehendak untuk melarangnya.

Bukan maksud saya untuk menggurui. Tulisan ini hanya pendapat pribadi saya yang khawatir dengan FIB lantaran sedang krisis kader. Mohon maaf apabila dalam tulisan ini ada kekeliruan yang tidak saya sadari. Saya dengan senang hati terbuka untuk melakukan diskusi lebih lanjut demi kaderisasi di FIB yang lebih baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top