Memperjuangkan Anti Developmentalism di Kampus

Konflik agraria bukan hanya merupakan konflik ekonomi atau konflik politik, namun, merupakan konflik dua rezim pengetahuan yang berbeda dan yang tidak terdamaikan.
Rezim pengetahuan saat ini terbagi menjadi dua, Pertama, developmentalism yang menekankan pada pembangunanism (orientasi pembangunan). Kedua, onto developmentalism  (yakni) anti pembangunan.
“Jadi memang di kampus kita, di kampus dimana kita belajar, rezim pengetahuan yang mendominasi narasi wacana pengetahuan  di kampus-kampus kita saat ini (di) menangkan rezim pengetahuan developmentalism itu,“ ujar Muhammad Taufiqurrahman,  Dosen Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) mengenai tanggapannya terhadap kasus penolakan pendirian pabrik semen di Pati, di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, Jumat (8/12/2017).
Tugas dari mahasiswa saat ini, ujar Taufik, untuk memperjuangkan anti developmentalism (pembangunan) tidak hanya di jalanan namun juga  di dalam ruang lingkup kampus.  Karena, menurut Taufik, konflik agraria akan lebih parah dalam 20 -25 tahun lagi.
Ia  menjelaskan tugas merawat alam seharusnya juga menjadi bagian dari akademisi yang ada di Kampus bukan hanya sebagai tugas petani. 
“Sekarang era akademisi orang kampus yang petentang-petenteng sok tau, paling tau tentang segala hal, datang ke desa-desa datang ke kampung, merasa dirinya paling pintar, paling berkuasa atas pengetahuannya itu sudah lewat (masanya), itu era akademisi orde baru,” tuturnya.
“Sekarang kita  akademisi muda, kita akademisi – akademisi baru, ilmuwan-ilmuwan baru kita datang ke desa justru kita belajar, karena sharing power (kekuatan) itu,” tuturnya.
Menurut Taufik, pengetahuan memiliki  dampak yang sangat besar yang dapat menentukan hajat hidup orang banyak.
“Karena pengetahuan itu dahsyat sekali kekuasaanya, sekali kita pencet tombol ini, yang paling ilmiah, ini yang paling objektif, ini bisa menentukan hajat hidup orang banyak. Jadi sekarang eranya era (Akademisi) baru,” ucapnya.
Senada dengan itu, Gun Retno, perwakilan JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng) mengungkapkan inilah saatnya mahasiswa untuk membicarakan permasalahan lingkungan  di dalam  universitas, “Iki saate (ini saatnya) dari internal ke pendidikan universitas itu angkat bicara. Mahasiswa ojo mung dinengno (jangan hanya didiamkan), ora usah gumun title (tidak usah heran dengan gelar),” ujarnya.
Gun Retno menuturkan percuma seseorang menjadi pintar namun hanya digunakan untuk mengakali orang lain. Ia menjelaskan yang paling penting hanyalah harus mengetahui untuk mengunakan hati dalam memilih.
“Nek wong reti, iki iso milah-milah, mergo ngango ati (kalau orang tau, itu bisa memilih yang baik dan yang buruk karena memakai hati),“ tuturnya.
Kritikan terhadap petani juga diutarakan oleh Gun Retno. Menurutnya, pemakaian pupuk yang digunakan petani justru malah merusak tanah. Ia menjelaskan itulah alasannya petani  selalu  dianggap membutuhkan bantuan pemerintah. “Tanpa pemerintah pun awake iki urip (kami itu tetap bisa hidup),” tuturnya.
Di akhir, Gun Retno mengajak mahasiswa dan petani untuk mengatasi persoalan saat ini. “Ikilah penting, iki yo petani, yo akademisi, yo mahasiswa, kebobrokan iki nek orak awake dewe seng kudu bersikap rak sah di enteni suwe suwe (Inilah pentingya baik dari petani, akademisi, mahasiswa, kerusakan ini menjadi tanggungan kita semua, yang harus menunjukan sikap, tidak usah ditunggu lama-lama), ” tuturnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top