Sang Minoritas

Dok. Sergap.id
“Si pemberani itu tinggal di sekitaran sini,” ujar Simbah sambil menunjuk suatu kawasan yang kini menjadi bengkel di dekat kompleks Gereja. 
“Simbah yakin?” Gie berusaha memastikan. 
Nampaknya usia tak bisa berbohong. Keriput tidak hanya menggerogoti kulit, namun juga ingatan. Simbah hanya termenung. Gie yang tak enak hati, lekas membopong Simbah ke warung kopi yang terletak di depan bengkel yang ditunjuk Simbah.
“Si ngeyel yang pemberani itu melihat dunia pertama kali di sini. Sekelebat mata dia hidup tentram. Nahas, keluarganya bangkrut. Sudah itu dia tinggal bersama Omah Sato.” Tak dinyana Simbah mengenang. Gie sebisa mungkin memperhatikan segala kata yang keluar dari mulut Simbah. 
Sejenak, pembicaraan terhenti. Gie minta izin untuk memesan kopi. Sedang Simbah nampak merogoh sakunya untuk mengambil kretek dan pemantik api. Tak lama berselang Gie kembali duduk tepat di depan Simbah.
“Lalu, bagaimana, Mbah?,” tanya Gie.
Simbah menyulut kreteknya dengan pematik api kedua, setelah yang pertama tandas oleh angin sekali pun sudah dihalangi tangan kirinya. Sesudah itu  ia berkata, “Tidak ada yang bisa saya katakan panjang lebar. Dia tinggal di sini seperti angin.”
“Tapi, toh Mbah mengenalnya?,” Gie bertanya kembali.
“Saya memang mengenalnya. Dia empat tahun lebih tua dari Saya. Selepas yang Saya ceritakan tadi, yang Saya ingat, Dia melihat dunia pertama kali di sini, di Peunayong, Kutaraja, 25 Mei 1913,” tutur Simbah. Kreteknya dihisap dalam-dalam. Asapnya mengepul dan lekas berbaur dengan asap kendaraan yang hilir-mudik. Sudah itu Simbah melanjutkan, “Coba kamu ke lembaga hukum yang kerap membantu masyarakat itu. Dia pernah mengabdikan diri di sana. Kantor pusatnya di Jakarta,” Simbah kembali menjeda kata katanya. Kopinya diseruput tanpa adanya kudapan. Lalu meneruskan, “Kiranya, itulah ingatan terakhir Saya tentang Dia. Maaf,” rona Simbah tampak menyesal. Melihat serupa itu, Gie makin tak enak hati. Berbegaslah Gie mengantarkan Simbah kembali ke rumahnya yang sendari dulu tak pernah pindah dari kawasan Peunayong. 
Lalu lalang Peunayong sore itu tak henti-henti bertaburan klakson kendaraan. Semua ingin lekas tiba di rumah dan meninggalkan suasana pasar yang membikin darah menjadi naik. Bentor yang ditumpangi Gie dan Simbah tiba di rumah lebih kurang 15 menit setelah ditumpangi. Saat itu, sore sudah semakin tenggelam. Setiba di rumah, Simbah langsung dibopong Gie menuju kamarnya. Hari itu, Gie memutuskan untuk melewati malam di Peunayong semalam lagi dan bertandang ke Jakarta selepas matahari menyingsing. 
Tanpa pamit kepada Simbah, Gie berbegas menuju bandara. Simbah yang masih terlelap membikin Gie tak enak hati untuk membangunkannya. Salamnya hanya dititipkan kepada Kho Khie Siong anak tertua Simbah yang juga ketua Hakka di Banda Aceh.
Tak banyak yang dilakukan Gie setiba di bandara selain menunggu jam keberangkatan. Gie hanya menghubungi sejawatnya yang di Jakarta untuk meminta tolong menjemput dan mengantarkannya ke Jalan Diponegoro tempat kantor bantuan hukum itu berada. Sudah itu hanya termenunglah yang Gie lakukan untuk membunuh waktu. 
Pengumuman dari pengeras suara terdengar jelas. Pesawat yang ditumpangi Gie tak lama berselang akan lepas landas. Gie berbegas. Setibanya di dalam pesawat Gie lekas menuju kursi kelas ekonomi pesawat milik negara itu dan langsung melelapkan dirinya selepas landas. 
Tak ada yang berbeda, Bandara Soekarno Hatta selalu ramai dengan penumpang. Beberapa banyak di antaranya adalah pelancong. Pesawat yang ditumpangi Gie tiba tepat pukul 10.00 setelah hampir tiga jam perjalanan di udara. 
Matahari kian meninggi saat sejawat yang ditunggunya tak kunjung tiba. Telepon genggamnya tak pernah masuk saku. Gie terus saja menatapnya sembari berharap kabar baik dari sejawatnya tiba. Tak di duga, seorang lebih dari paruh baya menepuk bahunya dari belakang. 
“Gie?” Tegurnya untuk memastikan.
Gie sontak menengok ke belakang. Matanya membelalak. Tak dinyana-nyana yang menugurnya adalah Paman Adnan. “Loh, paman? Ingin ke luar negeri?”
Paman Adnan hanya tersenyum. Sudah itu menjelaskan duduk perkara kenapa dia ada di sana, “Temanmu itu menghubungi Paman. Katanya kamu mau ke kantor?” 
“Iya, paman,” Jawab Gie. Seketika meneruskan, “Aku ingin bertemu paman. Lama Aku kenal Paman, tapi Aku baru tahu Paman murid Ayah dari penuturan Kho Khie Siong sesaat sebelum Aku berangkat ke bandara,”
“Ayahmu yang tak mengizinkan paman untuk mengatakan ke Kamu,” timpal Paman Adnan. Lalu melanjutkan, “Pas temanmu bilang seperti itu, Paman langsung katakan ke Dia, biar Paman saja yang jemput Kamu. Sekarang Kamu mau makan dulu atau langsung pulang?”
“Aku jadi merepotkan, paman. Langsung pulang saja bagaimana? Biar lebih asik ngobrolnya, Paman. Tapi, tak apa kalau di rumahku?,” Gie mencoba memastikan.
“Hahaha sudah tak perlu berlebihan. Kamu ini sudah seperti Anakku juga. Toh Ayahmu juga menitipkanmu kepadaku.” ujar Paman Adnan.
Keduanya lekas beranjak dari Bandara Soekarno Hatta menuju rumah Gie di bilangan Permata Hijau. Lalin cukup padat. Lebih-lebih ditambah truk besar yang hilir-mudik membikin jalan semakin tak karuan. Dua jam adalah waktu yang dibutuhkan mereka untuk menuju rumah Gie. Setiba di rumah, Gie mempersilahkan paman masuk lalu menuju ruang kerja ayahnya. “Di sini saja Paman,” pinta Gie. Paman Adnan menurutinya. Namun, ronanya seketika berubah sewaktu memasuki ruang kerja Ayahnya Gie yang tidak lain adalah gurunya sendiri. Gie yang melihat situasi itu mencoba memecah keheningan Paman Adnan, “Paman silahkan duduk. Aku ambil air dulu,” Paman Adnan hanya menganggukan kepala. Gie lekas ke dapur mengambil air.
Ruangan itu tampak terawat. Hampir 30 tahun lamanya terakhir kali Paman Adnan berkunjung ke ruang kerja gurunya itu. Semua masih sama. Masih dengan perabotan dan buku-buku yang berjejalan di dinding ruangan. Bedanya, buku-buku itu kini tertata rapih. Pertanda buku-buku tersebut sudah jarang sekali dibaca. Tepat di atas kursi kerja gurunya, masih terpampang potret Bung Karno. Walau sedianya gurunya adalah oposisi abadi segala rezim, namun, gurunya tetap menghormati Bung Karno. Paman Adnan ingat betul gurunya pernah berpesan, “Jangan kamu jadikan perbedaan sebagai alasan permusuhan,”
Tak lama berselang Gie datang dengan nampan yang di atasnya terdapat dua gelas kopi, dua gelas kosong, air mineral yang ada di dalam teko kaca, dan singkong rebus sebagai kudapannya. Di letakannya nampan tersebut di atas meja kerja ayahnya. Gie lekas duduk dan mempersilahkan Paman Adnan duduk di kursi tempat biasanya ayahnya bekerja. Paman Adnan sempat canggung, namun Gie tetap memintanya hingga Paman Adnan menurutinya.
Seusai Gie menuangkan air mineral, Paman Adnan langsung memecah kesunyian.
“Jadi, kamu ingin melacak rekam Syahmu?,” tanya Paman Adnan seraya mengambil asbak di dalam laci yang sudah ia hafal betul kebiasaan gurunya itu termasuk di mana menaruh asbak.
“Iya, paman.” Gie diam sejenak. Paman Adnan telihat membakar kreteknya. Gie meneruskan, “Aku rindu dengan Ayah.”
Paman Adnan tak lekas menanggapi. Matanya menerawang segala ingatan tentang gurunya itu. Usianya yang sudah menua tak membuat hisapan kreteknya melambat. Ingatan tentang gurunya membikin Paman Adnan tak bertempo menghisap kretek. Dihadapannya, Gie mencoba mengembalikan kesadaran Paman Adnan, “Paman tidak apa-apa?”
Sontak Paman Adnan mengarahkan matanya kepada Gie. Ia kemudian bertutur, “Ayahmu adalah orang pemberani. Tak kenal kompromi. Bila suatu kebenaran sudah diyakini, dia akan menabrak semua yang menghalangi kebenaran itu. Tak kenal tedeng aling-aling. Bicaranya lugas. Sifatnya itu membikin orang-orang segan kepadanya,” Dihisapnya kembali kretek dalam-dalam sampai asapnya yang mengepul menutupi wajahnya. Paman Adnan meneruskan, “Ayahmu bukan pendendam. Dia tidak sepakat dengan komunis, tapi dia membela orang-orang komunis pasca malapetaka 1965. Soebandrio, Abdul Latief, Asep Suryana, dan Oei Tjoe Tat pernah dibelanya. Semua itu ayahmu lakukan atas dasar hukum, atas dasar mencari kebenaran. Bahkan yang mengejutkan saat membela Soebandrio, ayahmu mempertanyakan legalitas Mahkamah Militer Luar Biasa. Menurut ayahmu, pengadilan itu tidak sah. Saat itu ayahmu merujuk pada UUD 1945 Pasal 21, yang menyatakan setiap peradilan harus dibentuk berdasarkan Undang-Undang. Sedangkan Mahkamah Militer Luar Biasa hanya berdasarkan Keppres No. 16 Tahun 1963. Saat itu,  ayahmu juga mencecar hakim Ali Said, yang dinilai tak bisa menjadi hakim persidangan karena pangkatnya tidak lebih tinggi dari Soebandrio yang menjabat sebagai ketua Badan Intelijen yang mana jabatannya itu setara Masekal Madya.” 
“Lalu putusan sidang bagaimana?” Gie amat penasaran.
“Soebandrio dihukum mati. Belakangan hukuman itu diubah menjadi seumur hidup.” Paman Adnan kembali terdiam. Diminumnya kopi yang sudah dingin. Tak luput singkong rebus yang sudah dihidangkan dimakannya secara perlahan.
Gie yang makin penasaran kembali bertanya, “Ayah selalu menang dalam membela?”
Pertanyaan itu sontak membuat Paman Adnan kaget. Ia segera mengambil air mineral yang ada di hadapannya. Setelah meneguk, Paman Adnan kembali bercerita, “Ayahmu tidak selalu menang. Seingatku, ayahmu lebih sering kalah. Itu semua karena sifat Ayahmu yang tak kenal kompromi, lebih-lebih dengan aparatur negara. Dalam menangani kasus, Ayahmu berpedoman dengan kebenaran dan HAM, yang lainnya tidak. Itulah sebabnya Ayahmu jarang menang. Ayahmu juga pengacara paling kere, karena tekadnya dalam menolong, banyak orang yang ditolong Ayahmu dan kasusnya bersifat pro bono,” Paman Adnan berhenti sejenak. Tubuhnya dipasrahkan bersandar dalam kursi kerja gurunya. Kretek yang diapit jari telunjuk dan jari tengah tangan kirinya tanpa sadar jatuh ke lantai. Air matanya yang tak bisa dibendung pelahan menetes setelah memusat di dahi. Dengan keadaan serupa itu, Paman Adnan kembali mengenang gurunya, “Gie, ayahmu itu memiliki triple minority, yakni keturunan Tionghoa, Kristen, dan orang yang jujur dan berani. Ciri ketiga itulah yang banyak dibenci penegak hukum dan politikus,”
Gie hanya terdiam. Tak tahu harus bagaimana. Mukanya tertutup oleh kedua tangannya. Lama situasi sunyi dan tegang ini. Paman Adnan yang sudah menguasai dirinya kembali bertanya kepada Gie, “Gie, tanggal berapa sekarang?”
Gie membuka wajahnya. Matanya lebam. Dengan terisak-isak Gie menjawab, “Tanggal 25 Mei 2013.”
“Seabad sudah usia Ayahmu,” ujar Paman Adnan sembari mengenang gurunya. Air matanya kembali menetes.
“Duapuluh empat tahun sudah ayah meninggalkan kita semua.” Kenang Gie. 
——————–

Oleh: Akbar Ridwan
Semarang, 20 Mei 2018
Cerpen ini terinspirasi dari Seri Buku Tempo: Penegak Hukum, Yap Thiam Hien 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan.
Didedikasikan untuk Yap Thiam Hien dan para penegak hukum yang memainkan hukum. 
Penulis merupakan mahasiswa jurusan Ilmu Sejarah 2014

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top