(Dok. Hayamwuruk)
Semarang (02/03/2019), Bentara Budaya mengadakan acara diskusi dan apresiasi sastra yang berjudul “Semarang dalam Karya Nh. Dini”. Acara tersebut bertempat di lantai tiga
Gramedia Balaikota Semarang, dengan turut mengundang dua pemateri sekaligus sastrawan asal Semarang, S. Prasetyo Utomo dan Triyanto Triwikromo yang dimoderatori oleh Widyanuari Eko Putra sebagai pegiat sastra.
Gramedia Balaikota Semarang, dengan turut mengundang dua pemateri sekaligus sastrawan asal Semarang, S. Prasetyo Utomo dan Triyanto Triwikromo yang dimoderatori oleh Widyanuari Eko Putra sebagai pegiat sastra.
Frans Sartono, Direktur Program Bentara Budaya sekaligus ketua pelaksana acara, menyampaikan tujuan diadakannya acara ini adalah mengapresiasi dan mengenang karya serta sosok Nh. Dini.
“Mengenang sastrawan bukan kita merasa kehilangan. Akan tetapi, bagaimana kita menghargai karya yang disampaikan dengan pembahasan. Harapan dalam acara ini menjadi tolak ukur dan langkah awal untuk selanjutnya mengadakan program-program seperti ini lagi. Entah itu musikalisasi puisi, diskusi sastra, cipta puisi, musik, tari, seni rupa dan sebagainya. Untuk kedepannya Insha Allah kita akan merancang acara semacam ini lagi yang banyak diapresiasi temen-teman yang ada di Semarang,”tuturnya, saat ditemui Hayamwuruk.
Pemaparan materi pertama disampaikan oleh S. Prasetyo Utomo mengenai sosok Nh.Dini sebagai seseorang yang konsisten dengan kepengarangannya serta tokoh yang memiliki spiritualitas dalam menulis.
“Nh. Dini memliki etos dan jiwa kebudayaan yang tak pernah luntur. Pertama, orang bisa mendengarkan etos. Kedua, ia menjaga spiritualis yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari kemudian menjadi sebuah transendensi. Ketiga, semangat yang muncul dalam jiwa teks. Serta yang membuat saya takjub di sini adalah Semarang termasuk kota yang imajiner,” ujarnya.
Pemaparan selanjutnya disampaikan oleh Triyanto Triwikromo, mengenai makalahnya yang berjudul “Semarang di Dalam Dunia Dini”. Ia menjelaskan bahwa karya-karya Nh. Dini patut untuk dikenang dengan menggunakan nama Nh. Dini sebagai nama jalan atau museum sebagai bentuk apresiasi karyanya.
“Dini tidak pernah meninggalkan Semarang. Dan jika ia meninggalkan Semarang, kita harus menggandeng dia kembali ke Semarang. Kita bisa menjadikannya nama jalan: Jalan Dini. Kita bisa menjadikannya nama museum: Museum Dini. Atau paling tidak kita bisa bikin Dini-Walks in Semarang,”ujarnya, dalam pembahasan makalah.
(Dok. Hayamwuruk)
Acara tersebut juga memikat kalangan mahasiswa untuk ikut menghadirinya. Salah satunya, Rena, mahasiswi Universitas Wahid Hasyim Semarang yang merasa antusias terhadap pembahasan dan jalannya acara. “Saya datang ke acara ini karena ingin tahu penulis Nh. Dini dan karya-karyanya. Menurut saya sosok Nh. Dini adalah sosok yang berjiwa spiritualis. Acara semacam ini sangat bagus, karena mengenalkan sastrawan kepada genersi muda sekarang. Saran saya acara seperti ini harus kedepannya harus tetap diadakan,”ujarnya.
Diakhir, Frans Sartono berharap pemerintah untuk mulai memerhatikan acara-acara semacam ini, agar tidak terkikis di kemudian hari. “Harapannya dengan adanya komunitas membaca yang terus menerus dengan berbagai acara, pemerintah sebaiknya juga turut hadir dalam hal-hal semacam ini. Legitimasi agar acara seperti ini tidak menjadi pinggiran,”ujarnya.
Reporter: Wulan, Della, Nida
Editor: Qanish