Dok. Hayamwuruk |
Keberadaan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) bukan tidak mungkin memiliki dampak yang buruk. Pasalnya, batubara yang menjadi bahan bakar penggerak mesin PLTU, acap kali merugikan lingkungan sekitar karena limbah yang dihasilkan. Hal tersebut dikatakan Dinar, perwakilan dari Greenpeace Indonesia dalam diskusi bertema “Energi di Mata Millenial: Potensi Masa Depan”, Minggu (3/6/2019) di Nir Cafe & Working Space, Patemon, Gunung Pati, Semarang.
“Seperti (contoh kejadian) di Cilacap, dulu tahun 2008 kita pernah membuat riset (dampak dari keberadaan PLTU). Bahwa masyarakat yang tinggal di sekitaran PLTU Cilacap, radius 5-10km itu kita menemukan bahwa banyak sekali masyarakat yang menderita penyakit gangguan pernapasan, sampai ada beberapa anak kecil mengidap kanker paru-paru hitam,” ujarnya.
Dinar menuturkan, berdasarkan hasil riset yang bekerjasama dengan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jawa Tengah (Jateng) ke semua PLTU di Pulau Jawa, ditemukan bahwa PLTU turut menyumbang pencemaran laut akibat limbah yang dihasilkan. Hal ini, kata Dinar, mengakibatkan biota laut yang tinggal disana, semakin lama menghilang dan susah ditemukan.
“Ya mereka tinggal membuang hajat air limbah dari PLTU ini dalam kondisi hangat dan itu menyebabkan biota-biota laut yang ada di sekitaran PLTU itu menghilang,” terangnya.
Selain itu, Dinar menerangkan, akibat adanya PLTU membuat nelayan harus bekerja lebih susah untuk mendapatkan tangkapan.
“Masyarakat (nelayan) mau gak mau, harus lebih menjauh. Membutuhkan bahan bakar yang lebih banyak, dan waktu yang lebih lama,” terangnya.
Dinar menyarankan agar PLTU yang menggunakan energi kotor (batubara) diganti menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang salah satunya diterapkan di negara Jerman.
“Di Jerman, di Eropa, mereka dengan negara empat musim. Sementara kita ( Indonesia) cuma dua musim. Kenapa mereka yang mendapatkan matahari jarang-jarang (malah menerapkan PLT Solar Panel) sementara kita (Indonesia) setiap hari, malah gak berani (menerapkan),” ujar Dinar.
Untuk melakukan transisi energi kotor ke energi bersih, kata Dinar, perlu adanya dorongan kepada Pemerintah untuk merubah regulasi yang ada.
Senada dengan itu, Adin, pendiri Hysteria, mengatakan untuk mendorong perubahan regulasi, sosialisasi pada sekitar tentang dampak yang ditimbulkan energi kotor (batubara) penting untuk dilakukan.
“Memantik kegelisahan personal itu penting sebagaimana persoalan itu menjadi komunal. Saya kira gak ada cara lain kalau kita ngomongin perubahan massif itu adalah perubahan yang dilakukan pada kerja-kerja jaringan,”
Sementara itu, Elok F. Mutia, Direktur Eksekutif Energi Terbarukan (Enter) Nusantara menerangkan tujuan diskusi ini untuk melihat pandangan generasi milineal terhadap isu energi terbarukan.
“Karena kita percaya, millennial ini jumlahnya sangat besar dan sangat berpotensi untuk melakukan perubahan,”ujarnya.
Diskusi ini turut mengundang empat narasumber dari berbagai lembaga antara lain Dinar, Greenpeace Indonesia ; Fahmi, Walhi Jateng ; Arga Yudha, Seniman ; dan Adin, Hysteria.
Penulis : Qanish
Editor : Ulil