Dok. Hayamwuruk |
Permasalahan pelecehan seksual di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) tidak hanya ditanggapi oleh pihak birokrasi fakultas dengan pembentukan Tim Investigasi, namun pengawalan kasus juga dilakukan oleh para mahasiswanya. Suara Mahasiswa Budaya (SMB) lahir sebagai jawaban pengawalan kasus dari para mahasiswa tersebut.
Salah seorang narahubung SMB, Mahesa Althof Prakasa atau yang akrab dipanggil Eca mengatakan SMB dibentuk dengan tujuan untuk merespon isu yang terjadi di FIB, yang dimulai dengan kasus pelecehan seksual ini, dengan melibatkan seluruh elemen mahasiswa tanpa melihat status keorganisasian. “Tidak menyekat-nyekatkan dan tidak membeda-bedakan mana yang organisasi a,b,c,d atau yang organisasi dan yang tidak berorganisasi. SMB sendiri memang dibentuk untuk mengawal isu-isu yang ada di FIB, berdasarkan kesepakatan kemarin. Namun untuk sekarang secara khusus, isu yang dikawal adalah isu pelecehan seksual,” katanya.
SMB memulai untuk menyuarakan aspirasinya dengan menggelar aksi berbentuk seni yang berlangsung sekitar satu jam dari pukul 01.00 siang sampai 02.00 siang di Crop Circle FIB, Kamis (21/03/2019). Aksi berupa instalasi tubuh ini menghadirkan empat orang perwakilan SMB yang memperagakan beberapa gaya mematung.
Pertama, terlihat seorang laki-laki yang berpenampilan layaknya perempuan dengan mengenakan baju kurung dan kerudung serta berdiri di depan pintu lobi bawah gedung A FIB. Ia berdiri dengan tubuh yang dililit kawat dan kain hitam yang mengikat tangan, kaki, dan mulutnya. Tiga orang lainnya tidur tengkurap di halaman Crop Circle FIB dengan sekujur tubuh yang dipenuhi tempelan kertas berisi komentar-komentar negatif netizen yang menyalahkan cara berpakaian pada salah satu Official Account Line yang beredar pasca berita pelecehan seksual dirilis oleh tirto.id.
“Kami ingin merespon masyarakat-masyarakat yang masih
menyalahkan korban, serta ingin menyebarkan keresahan tentang kasus ini agar
orang-orang yang belum resah, atau sama-sama resah, mau ikut mengawal kasus ini
bersama-sama,”tutur Ponco, pemeran wanita.
Eca menuturkan pemilihan konsep aksi yang dibalut dengan seni instalasi tubuh ini dipilih tidak hanya sekedar untuk merespon kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampusnya, melainkan juga sebagai pendekatan kepada masyarakat dengan bentuk komunikasi yang mudah dipahami. “Saya rasa pesannya akan lebih mudah diserap oleh masyarakat, karena lebih ringan” tuturnya.
Aksi yang diperagakan oleh empat pria ini mendapat komentar baik dari Lisna Jeany Simatupang, mahasiswi Antropologi Sosial angkatan 2017. Ia mengatakan, dengan sosok pria yang berperan, membuat dirinya sebagai perempuan, merasa terwakili untuk merespon kasus pelecehan seksual.
“Dengan visualnya cowok, itu tuh bikin gua kaya, ‘Gila, cowo-cowo disini tuh peduli’ dia gak ngebiarin kita tuh cewek-cewek ngelakuin aksi. Mereka tuh sebagai cowok juga ngewakilin, gimana perasaan cewek kalo misal dilecehin sama dosen,” katanya.
Selain itu Asri Purwo Nugroho, mahasiswa Sastra Indonesia angkatan 2016 sangat mengapresiasi aksi ini sebagai gebrakan mahasiswa yang dilakukan untuk membela hak-hak wanita. “Kalo bisa, ya tadi, suara ini didengarkan sama yang di atas-atas (birokrasi),” tuturnya.
Penulis : Qanish
Editor : Dwi