[OPINI] Golput Pilpres 2019: Kebudayaan, Struktur Tersembunyi dan Relasi Kuasa Oligarki

Dok. Medium.com
Oleh: Qanish Karamah

Hingar-bingar tahun 2019 kental dengan perdebatan politik
kursi pemerintahan. Walau stagnasi
spasial membuat tahun politik ini hanya berkutat pada kontestasi
pasangan calon presiden kubu 01 dan 02 yang datang
dengan pusaran gagasan nihil, tak substansif, firehose of falsehood, dan berbagai unsur receh lainnya yang membuat
banyak orang kegerahan. Baiklah, izinkan saya menyampaikan irama disini.

Berbicara sistem perpolitikan di Indonesia tidak akan
terlepas dengan perbincangan definisi atau konsepsi sistem secara umum. Sistem
terbentuk lewat struktur-struktur yang terhimpun. Relasi sosial, ekonomi maupun
politik akan membentuk suatu kesepakatan atau konsensus sosial sehingga sistem
dapat beroperasi, diyakini (sebagai pedoman)[1],
ataupun ditolak.
Penerkaan struktur dalam suatu sistem tak mungkin lepas
dengan pertanyaan; who/what, how dan why.

1. Siapa/apa saja struktur yang berperan dalam
pembentukkan sistem?
2. Bagaimana struktur-struktur dapat membentuk
suatu sistem?
3. Kenapa sistem dibentuk? Kenapa pula struktur
tersebut yang muncul?
Penegasian Struktur

Himpunan struktur dalam kehidupan masyarakat sangat beragam.
Struktur-struktur ini yang nantinya membentuk suatu sistem masyarakat. Lalu,
bagaimana cara menjelaskan identitas masing masing
struktur yang berbeda dalam pembangunan sebuah sistem? Ya, jawabannya adalah
metode penegasian (pembukanan).
Ketika kita (manusia), melihat kerbau yang sedang berlari di
hadapan kita, kita akan sadar bahwa ia adalah hewan (bukan manusia) yang
namanya; kerbau. Lalu, ketika kita melihat pohon beringin besar di hadapan
kita, kita juga akan sadar bahwa ia adalah pohon (bukan manusia) bernama;
beringin.
Baik manusia, hewan ataupun tumbuhan, tentu mempunyai ciri
masing-masing sehingga mereka mampu hadir sebagai struktur pembantu suatu
sistem masyarakat. Seperti halnya lebaran Idul Adha oleh kaum muslim. Kerbau hadir sebagai
salah satu struktur (syarat) berlangsungnya kegiatan penyembelihan hewan qurban
(sistem). Ataupun pohon beringin besar yang berdiri di depan halaman rumah yang
(entah mengapa) membentuk ketakutan penghuni rumah untuk keluar pada tengah
malam. Ada sebuah perilaku yang terhalang sebab keberadaan pohon beringin. Dan
terhalangnya perilaku tersebut juga memunculkan pola perilaku yang membentuk
suatu norma dalam sistem rumah tersebut.
Selanjutnya, kita bahas dari segi yang berbeda. (Contoh ini
saya ambil dari buku Antropologi Marxis yang ditulis oleh Dede Mulyanto dan Stanley Khu). Sebutan bapak akan
bermakna “pencari nafkah/kepala keluarga” dalam sebuah rumah tangga. Namun, apa
jadinya penyebutan bapak dalam gereja? Tentu akan berarti berbeda pengertian
bapak yang disokong dengan ruang bernama “rumah tangga yang berisi ibu, anak”
dengan bapak yang disokong dengan ruang bernama “gereja yang berisi jemaat,
khotib”.
Struktur Tak Terlihat

(Contoh ini saya ambil juga dari buku Mas Dede). Sebelum
adanya pengetahuan bahwa cahaya lebih cepat daripada suara, seseorang akan
menyikapi fenomena guntur yang terjadi setelah kilat adalah sebuah sebab
akibat. Artinya, kilat yang menyebabkan guntur. Sedangkan, dua hal itu adalah
fenomena yang berbeda. Ataupun sebelum adanya penemuan gaya gravitasi bumi oleh
Newton, fenomena jatuhnya apel dari atas ke bawah adalah sebab apel yang tumbuh
semakin besar, tertiup angin, lalu tumbang.

***

Kemunculan Sexy
Killers

Film karya Watchdoc dalam program Ekspedisi Indonesia Biru
bernama Sexy Killers menjadi perbincangan khalayak ramai saat ini. Baik dalam
sosial media, di kantor, maupun di pinggir-pinggir
selokan bekas pembuangan limbah kelapa sawit. Film ini menuai kritik yang
tajam. Settingan lah. Pesanan lah. Dan, ada pula yang bilang kalau
film ini hate speech berbentuk visual
film.
Walau, respon positif juga tak kalah banyak. Bahkan, ada
pula para fanatis yang mendadak murtad dari kedua kubu dan beralih pada:
Golput.
Bagi saya, film ini mempertegas konflik ketimpangan yang
berlangsung dibalik kontestasi pilpres. Namun, saya tidak akan membahas banyak
terkait film. Teman-teman bisa menontonnya sendiri di Youtube: Watchdoc Image.
Sebuah Pertanyaan
Kepada Oligarki

Agaknya, ada sebuah jawaban-jawaban yang ingin disajikan
Dandhy Laksono dan kawan-kawan dalam film Sexy Killers. Dan saya pikir, akan
menarik jika kita merefleksikan film yang sudah kita tonton lewat “empat
pertanyaan kunci ekonomi politik” ala Henry Bernstein:

1. Siapa memiliki apa?
2. Siapa melakukan apa?
3. Siapa mendapatkan apa?
4. Digunakan untuk apa hasil yang mereka dapatkan
itu?
Pertanyaan pertama kaitannya dengan properti/kepemilikkan
modal. Tentang bagaimana pendistribusian modal berupa alat ataupun modal berupa
lahan, dan sebagainya.Pertanyaan kedua tentang pembagian kerja.Pertanyaan
ketiga tentang pembagian hasil kerja.Pertanyaan keempat udah jelas lah ya.
.
.
.
Mari refleksikan.
Political
Anthropology Approach
(Abal-abal)

Secara umum, studi antropologi politik bertujuan mengetahui
relasi sosial-politik yang nantinya membentuk perilaku politik seseorang maupun
kelompok. Pengertian ini mengarahkan saya pada keberadaan struktur tersembunyi
yang sebenarnya lahir dalam kontestasi Pilpres kali ini. Dalam hal ini, sebuah
hubungan “patron-klien”
antara oligarki (di belakang kedua paslon) dengan para paslon.

Basis dalam studi antropologi politik yang lain adalah
keberadaan wacana aturan dalam suatu sistem. Seperti pada penjelasan saya pada
bagian Penegasian Struktur, mengenai
proses terbentuknya sistem, struktur, hingga dapat disebut sebagai struktur.
Intinya, bagaimana wacana berupa aturan negara dapat mempengaruhi tindak-tanduk
kegiatan ekonomi, sosial bahkan politik seseorang atau kelompok.
Dalam hal ini, biaya besar yang harus dirogoh dalam
kontestasi Pilpres menjadi peluang para pemodal untuk melanggengkan
singgasananya. Omong kosong untuk merubah dan masuk ke dalam sistem maupun
argumen the lesser of evil yang
sedang ngetren sekarang ini. Karena pada dasarnya, perilaku politik seseorang
akan ditentukan lewat determinasi apa yang berlangsung dalam relasi sosialnya.
Dalam hal ini pun, baik 01 maupun 02, hadir sebagai alat
politik para pemodal, berfungsi sebagai wadah untuk memperoleh legalitas atas
nama nasionalisme – demi pertumbuhan komoditas ekonomi negara. Baik itu harus
dengan menggusur, melukai ataupun mengkriminalisasikan lawan-lawan atau
struktur-struktur yang tidak sesuai dengannya[2].
Investasi dalam kampanye kedua paslon akan membentuk relasi
politik yang baru. Hasil akhir adalah pembentukan regulasi untuk melanggengkan
perusahaan beroperasi. Kedua hal ini adalah relasi yang tercipta atas kedua
struktur yang memiliki ciri struktur berbeda, tujuan yang bisa beda, bisa sama, ataupun sekadar the gift yang sejatinya meninggalkan
jejak “balas budi”.

Come on, the lesser of
evil is not relevant now.

Ruang Hidup dan
Penggusuran
Dalam ranah studi antropologi, ruang hidup adalah kata lain
dari kehidupan bermasyarakat yang (khususnya) telah terjalin begitu lama,
dengan ciri etnis yang sama namun bisa juga berbeda sampai-sampai membentuk
sebuah perilaku kolektif (kegiatan adat), mata pencaharian, seni, kepercayaan,
dan sebagainya.
Bagi kaum pro-negara, penggusuran dirasa perlu demi laju
perkembangan nasional. Walaupun, ada sebagian kaum pro-negara yang memberi
solusi; relokasi untuk warga terdampak. Namun, bagaimana melihat semua fenomena
ini secara sistem kebudayaan lewat struktur-struktur yang membentuknya? Struktur
ini tersembunyi. Perlu pisau analisis yang kuat dan keberpihakan sosial yang
jelas.
Dalam suatu masyarakat yang telah tinggal puluhan tahun,
tentunya akan memunculkan sebuah pola kolektif tertentu. Baik dalam segi waktu;
mingguan, bulanan maupun tahunan. Contohnya, warga nelayan Tambakrejo, Semarang,
yang memiliki kebiasaan gotong royong, bersih-bersih kampung setiap sabtu pagi. Juga, kegiatan melaut dengan masing-masing
komoditas tangkapan yang berbeda dengan alat yang berbeda, juga penyesuaian
terhadap musim. Pun pembagian kerja keluarga nelayan, baik istri, anak dan
suami yang berlangsung secara teratur.
Puluhan tahun bukan waktu yang singkat. Dari sana, terjalin
yang namanya sebuah memori (kenangan). Baiklah, saya tidak peduli untuk
memasukkan poin seabstrak (kenangan) dalam tulisan ini. Namun, bagi saya,
kenangan adalah struktur penting lainnya selain daripada kebudayaan yang telah
berlangsung dalam masyarakat.
Karena pembangunan yang berujung penggusuran, anak-anak
tidak dapat lagi bermain layangan sembari berteriak dengan teman di sampingnya.
Karena penggusuran, anak-anak tidak bisa lagi bermain petak umpet pada
sendi-sendi pohon pisang perkebunan sambil kaget-kagetan. Karena penggusuran,
himpunan nelayan terpaksa beralih profesi karena dipindahkan jauh dari sumber
mata pencaharian (laut). Karena janji relokasi, membuat masyarakat terpecah
menjadi dua kubu; pro dan kontra. Perselisihan timbul dari kaum yang
mempertahankan tempat tinggal dengan kaum yang memilih untuk pindah. Lalu apa
yang terjadi?
Sistem kebudayaan yang telah dibangun susah payah hancur.
Perilaku kolektif masyarakat sirna. Semua berangsur beralih pada budaya urban.Berat. Bayangkan
saja, hanya muncul gedung-gedung tinggi, mobil, motor dan orang-orang kantoran
berlalu lalang ketika saya memikirkannya. Untung-untungan untuk dapat berjuang. Kebanyakan,
hanya kebagian untuk tinggal di
bawah jembatan ataupun pinggiran kali perkotaan. Belum lagi datang penggusuran
kembali. Saya tidak bisa membayangkan, keadaan dimana suatu kebudayaan terus-terusan
dicabik.
Ontologis Manusia

Termin ontologis manusia ini versi saya. Saya temukan waktu
Sekolah Dasar (SD), saat pertama kali ibu/bapak guru berbicara mengenai
“Manusia sebagai mahkluk sosial”.
Maraknya dikotomi atau pemberian tupoksi tiap-tiap manusia
membuatnya (manusia) mandul sebagai mahkluk sosial. Pembagian tupoksi bukan
hanya ada dalam kegiatan produksi dalam pabrik saja. Dalam manusia sebagai
mahkluk sosial, juga terdapat pembagian semacamnya. Penamaan atau pemberian
label “Aktivis” pada seseorang misalnya. Hal ini membuat saya jijik dibuatnya. Bagaimana
tidak? Melihat manusia yang seharusnya tolong-menolong harus dikategorikan
sebagai kaum yang aktivis dan kaum yang bukan.
Ketika melawan penindasan seseorang hanya menjadi tugas oleh kaum yang diberi/disebut sebagai aktivis. Heran. Pekik suara itik yang baru lahir pun tahu, bahwa ini bukan sebuah pekerjaan! Lucu! “Ini soal kodrat, bung/nona,”ujar Itik saat membantai kecebong dan kampret di gedung yang dulunya perkebunan.
Bagi saya: Manusia dikatakan mati saat ia tidak melawan –
Melawan realitas penindasan yang berada pada beton-beton pabrik, tanah-tanah
adat, udara-udara kotor, alam yang diperkosa, dan biota-biota yang harus
meluntang-lantung.
Berbagai Syair
Tentang Golput

1.  “Harus
kita pikir lagi secara bijak. Anda  hadir
tidak hadir tidak akan mempengaruhi hasil pemilu tetapi setidaknya dengan anda
hadir, anda bisa mencegah orang yang tidak baik terpilih. Dengan memilih orang
yang baik. Ini yang harus dipertimbangkan teman-teman mahasiswa,” ujar Ikhwanudin, Komisioner KPU Jawa
Tengah,
saat saya temui di acara “Memilih Itu Juara” yang diadakan RRI dan
TVRI, Selasa (5/3/2019).
  • Ikhwanudin nampak santai saat menyampaikan pendapatnya.
    Sosoknya yang masih terbilang muda dengan balutan kacamata hitam pada kedua
    matanya, membuat matanya bersinar, tampak yakin bahwa Golput ialah sepenuhnya
    tindakan salah sebagai warga negara! Hahaha!

2.   “Ya, konsep tentang Golput itu kan Non
Votting
. Dia memilih karena dengan kesadaran penuh. Karena itu bagian dari
sikap politik, yang ditempuh, karena kecewa dengan sistem yang merasa bahwa
sistem apapun tidak akan banyak membantu memperbaiki keadaan dan tawaran yang
disodorkan kepada pemilih, itu tidak juga memenuhi harapan bahwa mereka akan
mampu teraspirasikan.
Bagi
kelompok Non Votting (Golput)
justru memiliki kesadaran politik yang tinggi karena dia adalah orang yang well educated, well inform, dan kesadaran itu tertuang dengan sangat kuat dan Golput adalah sikap politik,”ujar Nurhidayat Sardini, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip), saat saya temui pada Selasa
(5/3/2019) di Lobi Gedung A FIB, sambil merokok
bareng.
  • Syair Ikhwanudin kepada saya seakan sepele dan murahan saat
    mendengar ucapan dari seorang pria yang akrab disapa NHS ini. Bak angin segar
    pada tengah-tengah teriknya negara yang dipenuhi bacaan ayat-ayat (baca:
    jargon-jargon) agama cebongisme dan agama kampretisme untuk meruqyah para kaum Golput
    yang katanya bodoh, gak layak hidup,
    dan persis seperti iblis.

3.   “Memang diatur dalam UUD 1945. Hak-hak sipil
(28E ayat 3). Sehingga kemudian, golput sendiri diindetikan dengan civil politic itu. Jadi semacam seperti
bebas untuk mengemukakan pendapat misalnya. Termasuk, dalam hal ini juga
golput. Untuk kemudian tidak memilih itu menjadi hak,”ujar Zainal, Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, saat saya
wawancarai via telepon malam-malam pada Jum’at (8/3/2019).
  • Berbeda dengan NHS dan Ikhwanudin, Zainal, cukup menyairkan
    tentang legalitas Golput sebagai hak berekspresi yang acap kali dilupakan oleh
    agama cebongisme dan agama kampretisme.

4.   
“    “Tentu
gerakan golput yang hari ini diusung oleh teman-teman, berkaitan erat dengan
konflik ekologis yang, kami tidak melihat kedua kandidat ini serius
mengatasinya. Juga berkaitan erat dengan kasus-kasus yang lain, yang berkaitan
dengan masyarakat di arus bawah, seperti penuntasan kasus pelanggaran HAM,
kemudian penegakkan hukum untuk kasus korupsi, dan masalah-masalah sosial lain
yang substansial.
Kemudian dalam isu lingkungan kedua kandidat juga sama-sama disokong
konglomerat-konglomerat yang terlibat dalam bisnis-bisnis seperti tambang,
sawit (kelapa sawit), yang selama ini memberikan kontribusi yang besar pada
konflik yang terjadi di masyarakat,”ujar
Abdul Ghofar, yang kerap disapa Gopang, perwakilan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi)
Jawa tengah
, saat saya wawancarai via chat pada Senin (11/3/2019).
  • Gopang, seorang pria gagah berbadan sedang dan memiliki
    tinggi tubuh yang sedang pula memang apik kalau menyampaikan pendapat. Syair
    terakhir ia sampaikan sebagai penutup substansial yang menutup semua dagelan
    debat capres nihil esensi dan rabun terhadap realitas.
Referensi:
Realitas kehidupan yang dilihat dengan indera penglihatan.
Mulyanto, Dede
dan Stanley Khu. 2014. Antropologi Marxis.
Marjin Kiri. Tangerang Selatan.

Bernstein, Henry.
2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan
Agraria
. INSISTPress. Yogyakarta.



******


Editor : Ulil


[1] Kaitannya dengan norma
yang tersusun dalam suatu sistem.
[2]Lihat bagian penegasian
struktur pada bahasan metode pembukanan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top