Ilustrasi Hayamwuruk (fie) |
Menghadapi Revolusi Industri 4.0 Nurhayati, Dekan Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip), Nurhayati merencanakan inovasi dengan penerapan sistem kuliah online. Ia memaparkan kuliah online ini sebagai bentuk dukungan terhadap Undip yang menargetkan masuk ke dalam 500 World Class University.
“Supaya mahasiswa sekarang sadar bahwa tantangan ke depan itu lebih berat, karena era (saat ini) mahasiswa harus mempunyai kompetensi yang jelas, dan kompetensinya harus tinggi supaya bisa bersaing dengan lulusan-lulusan yang lain,” saat ditemui oleh Hayamwuruk, Rabu (6/3/2019), di ruang dekan Gedung A FIB Undip, Tembalang.
Nurhayati menambahkan penerapan kuliah online ini hanya dalam dua mata kuliah di setiap program studi
“Mungkin bisa saja onlinenya tidak full, misalnya dari empat belas tatap muka itu harus ada minimal empat kali kuliah online. Jadi semua jurusan diberi beban untuk mempersiapkan mata kuliah Massive Open Online Course (MOOC). Kuliah yang bisa dilakukan jarak jauh,” ujarnya.
Selain itu, Nurhayati berharap kepada mahasiswa tentang pentingnya literasi dengan memanfaatkan teknologi seperti E–Book, dan E–Journal.
Minim Sosialisasi dan Minim Persiapan
Heriyanto, Dosen S1 Ilmu Perpustakaan mengaku dirinya siap untuk melaksanakankuliah online. Namun, Heriyanto mengatakan hingga saat ini belum mendapatkan sosialisasi dari pihak akademik.
“Karena mata kuliah di ilmu perpustakaan itu mata kuliah ilmu sosial, jadi sepertinya bisa dipersiapkan ke situ, dan materi saya selalu saya upload di Blog, misalnya materi untuk minggu depan saya upload beberapa hari sebelumnya, agar mahasiswa bisa membaca dan mempersiapkannya terlebih dahulu. Jadi saya pribadi sudah siap,” ujarnya.
Senada dengan Heriyanto, Afidatul Lathifah, Dosen S1 Antropologi Sosial, yang akrab disapa Ida beranggapan sistem kuliah online dapat memudahkan dosen serta mahasiswa jika sistem tersebut digunakan dengan benar.Namun, Ida mengkhawatirkan sistem kuliah online ini jika disalahgunakan oleh dosen akan berdampak negatif yang mana dosen terlalu mengandalkan pertemuan jarak jauh.
“Permasalahannya adalah ketika hal itu tidak dipakai secara proporsional, karena kita sebagai mahasiswa rumpun sosial itu tidak bisa sesuatu itu diajarkan hanya mengandalkan teks, tapi kita juga perlu memahami konsep, teori dan lain sebagainya,” ujarnya.
Menurut Ida, FIB juga harus memperbaiki koneksi akses internet jika ingin serius menerapkan sistem kuliah online.
“Server selalu down kalau banyak yang memakai. Persoalan kecepatan internet di FIB belum mumpuni saat ini. Misalnya, kalau kita mau memasukkan video, kapasitas penyimpanannya juga belum besar sehingga masih terbatas. Dan tambahannya waktu untuk mempersiapkan kuliah online jauh lebih rumit, seperti harus shooting video, kemudian ngedit, dan sebagainya,” ujarnya.
Tim Hayamwuruk pun mencoba menanyakan kepada Kukuh Wicaksono, staff Kemahasiswaan FIB dan tenaga ahli bidang Information Technology (IT) sejauhmana kesiapan FIB untuk menerapkan sistem kuliah online, namun ia tidak bisa memberikan tanggapan.
“Karena kuliah online ini belum dieksekusi, masih sifatnya kebijakan, karena belum ada planning (rencana kedepan), jadi saya belum bisa jawab apa-apa,” ujarnya.
Alfi Muhammad Qohar, mahasiswa S1 Ilmu Perpustakaan meragukan penerapan sistem kuliah online di FIB karena melihat akses internet yang terbatas.
“Kuliah online juga mungkin gak akan berjalan dengan baik karena itu akan kembali lagi pada teknologinya yang berarti untuk internetnya harus diperbaiki karena ada beberapa daerah di FIB yang ga ada internetnya,”katanya.
Reporter : Almas, Farah, Erna
Penulis : Almas, Farah
Editor : Ulil, Qanish