Kondisi Pasca Penggusuran Desa Tambakrejo: Sekolah Anak Terganggu dan Minimnya Bantuan Pemerintah





Penggusuran yang terjadi pada hari Kamis (9/5/2019) di desa Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Mas, Semarang Utara, kota Semarang menyisakan banyak protes dan pilu dari warga setempat. Mulai dari sekolah anak yang terganggu, hingga tidak adanya pemasukan dari melaut.

Mulyono, salah seorang nelayan desa Tambakrejo yang berhasil Hayamwuruk temui pada hari Jum’at (10/5) mengeluhkan atas kebijakan Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang yang memerintahkan warga untuk berpindah tempat tinggal di Rusunawa Kudu, Genuk, Semarang sebelum penggusuran terjadi. Setidaknya, ada sekitar 60% warga yang berprofesi sebagai nelayan di desa Tambakrejo.
Kami sebagai nelayan sangat resah kalau dipindahkan di rusun (rumah susun) yang letaknya jauh dari laut, bagaimana kita bisa mencari nafkah untuk kebutuhan sehari-hari kalau begitu caranya?” ungkap Mulyono.
Sekilas sebelum penggusuran terjadi, terdapat 10 poin yang disepakati pemkot Semarang dan warga yang didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang dengan Komisi Nasional (Komnas) Hak dan Asasi Manusia (HAM) pada 13 Desember 2018 lalu. Salah satu poin yang disepakati adalah pengurugan dan pemadatan tanah Kali Banger untuk tempat tinggal sementara warga. Namun, kesepakatan ini dilanggar dengan penggusuran paksa yang dilakukan pada hari Kamis (9/5) lalu.
“Sini nunggu sampai ada rumah susun yang dibangun di daerah pesisir. Rumah susunnya dibangun yang dekat dengan daerah pesisir agar kami mudah untuk melaut. Sebenarnya sudah ada kesepakatan, akan tetapi pemerintah membongkar paksa seperti ini. Kalau masalah janji ya sudah diingkari, pemerintah sudah mengingkari janji,” tambah Mulyono.
Sebagai tindakan alternatif pasca penggusuran, warga mendirikan tenda-tenda darurat penggusuran yang didonasikan masyarakat, di samping tanah Kali Banger yang baru menyentuh angka 40% proses pengurugan.
Kesulitan lain juga dirasakan pada anak-anak yang masih bersekolah. Malam hari saat pembongkaran, hujan deras  membuat pakaian mereka kebasahan sehingga tidak bisa berangkat sekolah pada keesokan harinya.
Adapun Marsono, salah satu warga desa Tambakrejo mengeluhkan ketidakhadiran pemerintah usai penggusuran terjadi. Dalam hal inipemerintah sama sekali tidak memberikan bantuan atau subsidi kepada warga desa Tambakrejo. Sebagian besar bantuan, kata Marsono, justru berasal dari donatur atau relawan-relawan.
“Pemerintah tidak ada yang mau turun. Camat dan lurah tidak mau turun kesini juga, menegok bagaimana keadaan tanah ini saja tidak. Pemerintah ki karo wong cilik, moto picek kuping budek. Pemerintah yang membuat kesepakatan tetapi pemerintah sendiri yang mengingkari,” ungkap Marsono saat ditemui Hayamwuruk pada Jum’at (10/5).
Marsono menambahkan,  warga  Tambakrejo hingga kini belum bisa memastikan sampai kapan mereka bisa bertahan.
Kita bertahan karena ada kesepakatan itu. Kita melawan untuk kebenaran. Dari pemerintah tidak mau tahu(alasan warga). Perampasan HAM itu namanya. Semoga bisa cepat terselesaikan lah masalah ini,” tambah Marsono.





Reporter: Demita, Ige, Faisal, Yulita, Della, Lukluk, Almas, Gita
Penulis: Della
Editor: Qanish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top