Pemkot Semarang Ingkar Janji, Warga Tambakrejo Dihabisi

Ratusan Satpol PP melakukan penggusuran pada pemukiman warga Tambakrejo pada Kamis (9/5)
Dok. Hayamwuruk

Penggusuran paksa terjadi pada hari Kamis (9/5) di
desa Tambakrejo, Semarang Utara, Kota semarang. Proyek Normalisasi Banjir Kanal
Timur (BKT) menjadi landasan ratusan Satpol PP dengan dua alat berat (traktor)
untuk menggusur pemukiman warga Tambakrejo. “Tau-tau Satpol PP datang merangsek
menghancurkan kami,” ungkap Rohmadi, Ketua RT 05, saat ditemui Hayamwuruk.

Sebelumnya, pada hari Jum’at (3/3) sekitar 500
personel Satpol PP juga datang untuk menggusur pemukiman warga Tambakrejo.
Namun, upaya penggusuran kala itu berhasil dihadang oleh warga, mahasiswa dan
beberapa LSM  yang tergabung dengan
sebuah dialog penjelasan bahwa penggusuran ini tidak sesuai dengan kesepakatan
antara warga,  Pemerintah Kota (Pemkot)
Semarang dan Balai Besar Wilayah
Sungai (BBWS) Pamali Juana
yang disaksikan oleh Komisi Nasional
(Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) pada 13 Desember 2018 lalu.
Salah satu kesepakatannya berisi tentang warga
Tambakrejo yang tidak akan dipindahkan sebelum lahan tempat tinggal sementara
mereka (di Kali Banger) selesai dibangun dan diratakan. Namun, sampai saat
terjadinya penggusuran pada hari Kamis lalu, proses pengurugan Kali Banger baru
mencapai angka 40%.

“Bahwa perjanjian yang sudah disepakati pihak proyek
dan pihak pemkot mau menempatkan kami di sepanjang Kali Banger yang sudah mati.
Dan itu sudah diurug dan dikeringkan dan dikeraskan,” ungkap Rahmadi.

Senada dengan Rahmadi, Nico Wauran, perwakilan dari
LBH Semarang mengatakan, “Sungguh sangat melanggar hukum, dimana perjanjian
mediasi adalah sebuah hukum sendiri bagi orang-orang yang mengikatkan diri
dalam sebuah perjanjian itu.”

Nico juga mengatakan, bahwa penggusuran yang terjadi
di desa Tambakrejo merupakan pelanggaran HAM yang nyata. Pasalnya, selain
merenggut hak tempat tinggal kumpulan orang, penggusuran ini juga ikut
mengganggu pendidikan anak dan hak atas rasa aman dan nyaman bagi setiap warga
Indonesia.

“Karena rumah mereka dihancurkan, ketakutan selalu
dibuat oleh pemerintah, mereka akan kehilangan rasa aman dan nyaman,”
ungkapnya.

Rahmadi menambahkan, aksi penggusuran paksa oleh
Satpol PP juga diwarnai dengan sikap ketidakacuhan terhadap apapun yang berada
di depan mereka (Satpol PP).

“Bahkan yang menghalangi di depannya dilibas. Tidak
peduli ini bulan puas
a, tidak peduli itu masjid atau tempat TPQ. Tidak peduli
yang dibuang itu pakaian yang setiap hari dipakai atau seragam (sekolah)
anak-anak. Tidak peduli itu buku-buku sekolah anak-anak,” tambahnya.

Sekitar 13 orang mengalami luka-luka akibat tindak
represif yang dilakukan Satpol PP. Rama, seorang mahasiswa Universitas Negeri
Semarang (Unnes) yang juga ikut menghadang Satpol PP merupakan salah satu
korban yang berhasil Hayamwuruk temui. Rama mengungkapkan bahwa ia hanya bermaksud menolong salah seorang teman yang kacamata dan
kameranya berusaha dirusak oleh Satpol PP.

Terus
aku ditarik Satpol PP dan diteriakin provokator. Padahal aku hanya membela
kawan Haris
(temannya). Pun aku dipukul, ditendang juga, dan diseret-seret sampai jarak yang
lumayan jauh
,” ungkapnya.
Reporter : Airel, Qanish
Penulis : Qanish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top