Ilustrator: Raihan |
Oleh: Ban*
Tidak ada yang mengetahui bagaimana penerimaan masing-masing individu dalam memaknai suatu pernyataan ataupun suatu kejadian. Juga bagaimana penanaman kalimat “semakin tua semakin tau mana yang buruk dan yang baik” perlu dimaknai tidak dalam waktu yang singkat. Buruk dan baik selalu menjadi barang dagangan yang laris pada setiap zaman. Tidak peduli apakah itu masuk pada permukaannya saja atau sampai bagian yang terdalam, lagi-lagi siapa yang mampu membaca isi kepala manusia jika kita sama-sama manusia, juga.
Sedikit manusia yang menyadari bahwa jika merujuk kepada yang buruk dan yang baik tiap-tiap dari mereka mempunyai beragam wajah. Apa yang menimpa Munir tentu membuat sebagian orang berduka dan sebagian tertawa. Seimbang, bukan?
Tidak lelah-lelah bagaimana banyak orang menyampaikan penyebab kematian Munir yang sampai sekarang tidak mempunyai kejelasan lanjut dan masih jauh dari kata selesai. Munir mati dalam penerbangan dari Indonesia menuju Belanda dalam melanjutkan pendidikan S2. Di dalam dunia, kita melihat Indonesia, di dalam Indonesia kita melihat Jakarta, di dalam Jakarta kita melihat bandara Garuda Indonesia, di dalam bandara tersebut kita melihat Munir yang bersiap dalam perjalanannya ke Amsterdam, di dalam tubuh Munir kita melihat ada zat arsenik yang dicampurkan ke dalam minumannya, dan ceritapun belum selesai. Munir meninggalkan warisan yaitu Imparsial, sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang Hak Asasi Manusia (HAM).
Berdirinya KontraS, Imparsial, maupun lembaga-lembaga lain yang satu nada dalam menangani persoalan-persoalan Hak Asasi Manusia menjadi momok bagi saya dan mungkin bagi kalian. Bagaimana tidak, sejak terbentuk tahun 1996 (KIP-HAM lalu tahun 1998 menjadi KontraS) dan tahun 2002 (Imparsial), baik KontraS maupun Imparsial menjadi wadah bagi masyarakat yang ingin mengadukan permasalahan dalam ranah Hak Asasi Manusia. Di satu sisi itu sangat baik, sangat baik sekali, saya mengapresiasi itu, namun hal yang luput adalah bagaimana pembagian tugas sangat terlihat jelas di sini.
Saya sangat merasakan sekali bagaimana tanggung jawab saya terhadap persoalan-persoalan sosial yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia boleh dibilang sudah sangat amat sedikit. Hakikat saya sebagai manusia saya rasa perlu dipertanyakan. Dalam isi kepala saya adalah seperti ini: ketika ada lembaga-lembaga yang berjalan dalam bidang Hak Asasi Manusia saya rasa saya tidak perlu ikut campur lagi dalam persoalan tersebut, toh mereka lebih ahli dalam menangani kasus-kasus yang berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. Dan saya rasa – mungkin bisa saya bilang sebagai penyakit – itu terjadi di banyak orang.
Pembagian tugas yang seakan-akan memposisikan bahwa: orang-orang yang berada dalam lembaga seperti KontraS, Imparsial, LBH, dll. adalah orang-orang yang harus memikirkan permasalahan diri sendiri dan orang lain yang meminta bantuan, sedangkan sebagai warga sipil tugas saya hanya mengadukan permasalahan saya kepada lembaga-lembaga yang sesuai dengan apa yang sedang menimpa diri saya.
Belum lagi tentang jargon-jargon yang sering saya dengar, seperti: “Munir-Munir yang baru akan bermunculan”, “Kami ada dan berlipat ganda”. Jika boleh saya berpraduga, saya mempunyai praduga bahwa jargon-jargon seperti itu sudah misinterpretasi, sudah salah tafsir. Bahwa Munir ataupun Widji Thukul menulis seperti itu mempunyai alasan yang jelas: ingin agar semua saling membantu satu sama lain, namun sekarang interpretasi itu berubah sepenuhnya kepada lembaga-lembaga yang saya sedikit contohkan di atas.
Saya merasakan seperti itu, semoga saja tidak terjadi. Dan saya rasa acara seperti mengenang kematian Munir harus tetap dilakukan. Setidaknya dengan adanya acara tersebut, ketika saya masih berfikiran seperti apa yang saya tuliskan di atas, yang bisa saya lakukan untuk sekarang ini hanyalah mengenang, mengenang dan mengenang. Selamat.*Anggota Redaksi di LPM Hayamwuruk
Editor: Qanish