Dok. Hayamwuruk |
Dalam rangka Peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh pada tanggal 24 September 2019, dan mengkampanyekan konflik perampasan lahan yang terjadi di Indonesia, puluhan mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menggelar aksi Longmarch, Teatrikal dan Panggung Bebas pada Senin (30/9/2019) siang.
Ketua Acara, Qanish, mengatakan bahwa aksi dimulai dengan longmarch, kemudian dilanjutkan dengan teatrikal oleh Teater EmKa dan panggung bebas yang diisi oleh para peserta aksi.
”Pertama aksinya adalah longmarch yang dimulai dari FIB, Teknik Elektro, FPIK, Industri, FPP, Student Center, Fisip, FH baru ke FIB lagi. Terus setelah longmarch kita ke Crop Circle, abis itu di Crop Circle dimulai teatrikal sama temen-temen EmKa, lalu ketika teatrikal berjalan pada masa pertengahan (sewaktu scene memasuki adegan mencangkul), (lalu) panggung bebas dimulai oleh koordinator aksi,” terang Qanish.
Lebih lanjut, dia menjelaskan tujuan diadakannya kegiatan ini sebagai bentuk respon terhadap kasus-kasus konflik agraria yang banyak terjadi di Indonesia, khususnya di Jawa Tengah yang berkaitan dengan perampasan lahan atas dasar pembangunan oleh pemerintah.
“Pertama kita mau mengkampanyekan perampasan lahan yang terjadi. Dan perampasan itu kerap terjadi karena proses pembangunan (yang) dilakukan oleh negara. Bahwa, ketika pembangunan dikatakan untuk kepentingan umum, tetapi di satu sisi dia merampas, merampas hak hidup seseorang, merampas budaya seseorang yang telah ada di sana sejak puluhan tahun dan itu semua dilakukan atas dasar kepentingan pembangunan,” imbuhnya.
Mahasiswa Diminta untuk Peka Terhadap Permasalahan
Sementara itu, Fiki, mahasiswa Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Politik angkatan 2017 yang datang bersama beberapa kawannya berharap, dengan adanya kegiatan semacam ini bisa menjadikan mahasiswa semakin peka terhadap segala persoalan yang ada.
“Yang harus mahasiswa lakukan adalah memiliki kepekaan sosial sih (terhadap) permasalahan yang ada. Namanya mahasiswa emang harus peka (dan) punya jiwa kritisnya. Setidaknya kita tahu, ada keadaan buruh seperti apa, keadaan petani seperti apa, nelayan seperti apa, keadaan pemerintah seperti apa. Karena yang saya lihat akhir-akhir ini, mahasiswa ikut-ikutan saja,” harap Fiki.
Senada dengan Fiki, Latifah, mahasiswa baru Sastra Indonesia mengatakan alasan datang ke acara ini untuk menggugah kepekaannya dan melihat langsung bagaimana kondisi masyarakat di sudut-dudut daerah melalui teatrikal yang dikonsep sedemikian rupa.
“Karena saya belum terlalu gimana ya, jujur saya kan dari Kota, dari Jakarta, jadi saya ndak tau gimana si sebenarnya kekhawatiran masyarakat sebesar apa, makanya saya dateng kesini mau lihat, sebenarnya apa sih yang dikhawatirin, makanya saya dateng, saya cuma tau dari twiter. Saya jadi tau setelah datang kesini,” terangnya kepada Hayamwuruk di sela-sela acara.
Acara ini berlangsung dari siang hingga malam hari dan ditutup dengan pembacaan kasus-kasus lahan dan monolog oleh peserta aksi bernama Pramudya dan Bandhung. Setidaknya ada 10 kasus sengketa lahan maupun monopoli lahan yang terjadi di Jawa Tengah, diantaranya:
1. 27 Desa di Kabupaten Kendal untuk Pembangunan Jalan Tol Semarang – Batang.
2. Wilayah Pesisir Selatan Kebumen dipagari oleh TNI.
3. Sengketa Lahan antara PT Soekarli Nawaputra dengan Petani Desa Pesaren, Kecamatan Sukorejo, Kabupaten Kendal.
4. Sengketa Lahan antara PT Pagilaran dengan Warga di 4 Desa di Kecamatan Blado, Kabupaten Batang.
5. Sengketa Lahan antara Petani di Bandungan, Kabuoaten Semarang dengan PT. Sinar Kartasura.
6. Reaktivasi Jalur Kereta Api Banyumas – Semarang via Banyumas.
7. Sengketa Lahan antara PT. Perhutani dengan Warga Desa Grugu, Kabupaten Cilacap.
8. Kecamatan Bukateja, Kabupaten Purbalingga untuk Bandara Jenderal Soedirman – Purbalingga.
9. 37 Desa di Kabupaten Sragen, Kabupaten Boyolali dan Kabupaten Grobogan.
10. Sengketa Lahan warga Kendeng, Rembang dengan PT. Semen Indonesia.
Reporter: Lukluk
Penulis: Lukluk
Editor: Airell
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.