![]() |
Ilustrator: Fie
Tulisan ini tentang tragedi ketidakadilan yang telah merangsek jauh ke dalam saraf-saraf otak dan terfragmen dalam talamus banyak orang. |
Layaknya penilaian terhadap sebuah makanan, ia akan dikatakan berkualitas ketika dimasak di warung makan yang mewah. Berbeda dengan warung makan sederhana yang biasanya menjadi sasaran kaum menengah ke bawah karena harganya yang murah. Hal ini wajar, karena menilai sesuatu adalah sifat dasar manusia – apalagi menilai lewat bagian permukaannya saja. Profesi sebagai hakim rasa-rasanya adalah profesi semua orang. Masing-masing memiliki palu dan pakunya sendiri. Yang berikutnya membedakan sudah tentu terletak pada bahan dasar palu dan paku tersebut yang nantinya akan digunakan untuk menilai hingga memberikan termin benar dan salahnya suatu hal.
***
Akhirnya, para pelajar tingkat pertama (SMP) dan tingkat selanjutnya (SMA) tidak lagi terlihat dengan BR-BR yang berterbangan di jalanan. BR-BR itu mendadak hilang sewaktu demonstrasi #ReformasiDikorupsi 24-30 September lalu. BR-BR itu tiba-tiba saja menguap, menjadi kepulan asap yang membentuk ragam senjata seperti; golok, katana, parang, celurit dan gir motor yang diikar sabuk bela diri. Hidung dan mulut para pelajar menghisap asap itu. Tiap-tiap dari mereka mewujud sebagai manusia golok; manusia katana; manusia parang; manusia celurit dan manusia gir yang menghunuskan ketajamannya pada dominasi kekuasaan milik elit-elit yang mendiami gedung-gedung mewah itu.
Hal yang dapat disorot dari semua fenomena ini ialah: Para pelajar yang berhenti saling bermusuhan dan memusatkan segalanya pada ketidakadilan.
Namun, layaknya krucil-krucil dalam permainan tradisional petak umpet, para pelajar hanya dianggap sebagai “Anak Bawang”. Boro-boro menyampaikan ekspresi atas ketertindasan – mereka-mereka ini, tak sedikit pun diberi ruang para hakim untuk merasa “tertindas”. Bagi para hakim, mereka hanyalah kuda pacu yang tidak memiliki kehendak bebas sedikitpun untuk mendefinisikan kemana kaki-kaki mereka harus melangkah.
[1] BR atau barang adalah istilah yang digunakan para pelajar (terutama di Jakarta), untuk mendefinisikan senjata tajam yang dibawa saat tawuran. – “Besok kita lawan sekolah X nih, BR pada siap kan?” pungkas seorang teman sewaktu membahas strategi perang jalanan (tawuran) dengan sekolah lain.
**
Kisah dari Selatan Ibu Kota
(Menyoal tragedi) – Tiap orang membuat dan memiliki tragedinya. Tiap orang membuat dan memiliki komedinya. Tiap orang membuat dan memiliki panggung teaternya. Ya, tulisan ini tentang sebuah tragedi. Tragedi yang saya alami sebagai seorang anak SMA di Ibu Kota bagian Selatan kala itu.
Mula-mula saya berpikir tentang bagaimana kita dididik sejak Sekolah Dasar (SD). Pelajar sama sekali tidak diperkenankan untuk bebas dalam memilih suatu hal. Yang disediakan sistem pendidikan hanyalah sebuah “kebebasan memilih semu” yang tertuang pada soal-soal pelajaran dengan pilihan jawaban: a, b, c atau d, tanpa pernah diperkenankan untuk bertanya mengapa mereka harus memilih jawaban a, b, c atau d.
Pertama kali masuk bangku sekolah, para pelajar diseragamkan dengan kurikulum, pakaian dan moral yang (homogen). Embel-embel heterogenitas hanya ada pada ragamnya identitas daerah/suku asal para pelajar. Selebihnya, pelajar hanya diperkenankan untuk menghafal ketentuan sebagai seorang insinyur, pegawai bank, pengusaha, akuntan dan ragam profesi beraroma “paksaan ekonomi pasar” lainnya.
Sejak awal, pelajar tidak pernah diperkenankan untuk mempertanyakan mengapa matematika harus dipelajari – apalagi diperkenankan untuk mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakannya. Sama sekali! Para pelajar sama sekali tidak diperkenankan menjadi manusia yang merdeka.
Para pelajar dipaksa untuk tidak mengetahui; siapa mereka, mengapa mereka ada, mengapa mereka harus belajar dan apa sebenarnya dunia ini?
Hidup di kota macam Jakarta, sekaligus hidup dalam pentas teater yang mengadaptasi kisah padatnya lalu-lintas dengan riuh suara klakson kendaraan. Semua orang dipaksa disiplin dan terburu-buru. Semua orang dipaksa untuk bergegas. Semua orang diberi pilihan layaknya pertanyaan perampok kepada target perampokannya:
“Kamu pilih harta atau nyawa?”
Digantikan dengan, “Kamu pilih jadi robot atau mati kelaparan?”
**
Bintaro, nama daerah tempat saya bersekolah sewaktu SMA. Kami, yang telah ditekan berbagai macam instruksi dari sistem sosial melampiaskan semuanya sewaktu pulang sekolah. Sebagian mabuk-mabukan, sebagian lainnya makan mie ayam langganan di tongkrongan. Kadang kala, sewaktu matahari mulai terbenam, obrolan pada sudut-sudut tongkrongan mulai dibuka dengan:
“Woi, ada nih sekolah X ngajakin tubir, jadiin gak?”
Di sekolah, kami dianggap sebagai (non-human) yang tidak memiliki masa depan oleh para guru dan teman-teman sekolah. Katanya, kami hanyalah kumpulan manusia urak-urakan, bodoh dan tidak tahu etika. Gaya pendidikan yang (sentralistik) – pengajaran yang berpusat pada guru, standar estetika kerapihan lewat celana yang gombrong, rambut cepak dan segala pengaturan aneh itu termanifestasi dalam benak kami lewat upaya-upaya perlawanan secara tidak sadar yang dianggap tidak sesuai norma oleh para guru dan teman-teman di sekolah. Celana abu-abu ketat, merokok di kamar mandi sekolah, corat-coret tembok hingga tawuran adalah bentuk pelampiasan atas akumulasi kekesalan akan sistem produksi pabrik boneka (homogen) yang bernama: kegiatan belajar-mengajar.
Ketidakberdayaan akibat kemiskinan struktural, memunculkan manusia-manusia abnormal (seperti kami) yang dianggap menganut ideologi barbarisme oleh publik. Tekanan untuk merubah nasib di tengah modal ekonomi keluarga yang sedikit, hidup dalam kecepatan ala mesin di kota Jakarta, dan paksaan pendidikan gaya bank adalah tragedi paling menyeramkan yang pernah saya alami. Saya dipaksa berpikir saklek agar tetap hidup dalam dunia kapitalistik ini.
Para pelajar Sekolah Teknik Menengah (STM) adalah salah satu contoh yang lain. Mereka dipaksa menjadi seorang yang santun dan berbudaya tinggi ala kelas menengah kota yang super dewa itu. Mereka dipaksa melupakan segala tekanan atas proletarianisasi dan kejamnya sebuah sistem yang menyayatnya setiap waktu. Mereka terus ditembaki peluru kata-kata manusia berwatak modernistik yang sama sekali tidak pernah hidup bersama dalam tongkrongan para manusia yang mereka anggap barbar ini.
“Mereka, para pelajar STM, hanyalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa dan seharusnya diam saja di sekolah, belajar dengan giat, daripada cuma buat rusuh di jalanan,” ujar mereka.
Para kelas menengah ini layaknya pemuja fanatik dewa Apollo yang melihat segalanya lewat moral versi kaumnya sendiri. Berbicara kebaikan dan kebajikan yang semuanya didasarkan pada basis moral kaumnya, tanpa pernah sedikitpun berpikir lewat kausalitas-kausalitas ilmiah tentang kondisi deterministik manusia atas faktor sosial, politik, ekonomi dan budayanya.
**
Pelajar dalam Kepulan Asap Para Hakim
Saat ini, para pelajar yang menapaki aspal-aspal jalanan menuju gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dianggap seperti bayi-bayi tiga bulan yang belum siap berjalan. Diperbolehkan merangkak pun sepertinya tidak juga. Kaki-kaki mereka seakan dilumpuhkan begitu saja tanpa pernah memperdebatkan hal-hal yang telah saya tuliskan di atas. Tentang bagaimana mereka dididik sejak SD sampai SMA, bagaimana tekanan ekonomi-sosial, bagaimana kota Jakarta secara sosiologis dan segala hal tentang sistem yang merakit mereka menjadi boneka-boneka yang memiliki nilai pasar.
Sebuah hal yang lucu memang. Sudah pasti lelucon ketika semua orang yang bergaya sok teoritis itu nyatanya hanya duduk dengan buku-bukunya – menyaksikan darah-darah yang berceceran akibat tindakan represif aparat – para ajudan dewan-dewan terhormat yang memukul mundur kesadaran kritis rakyat. Para hakim ini memang luar biasa. Dengan sok bergaya ala kritisme post-modern, mereka mencoba merekonstruksi definisi perlawanan dengan menyingkirkan peran perasaan dan proses dialektika-historis yang terjadi.
Para pelajar, di tengah pertanyaan, “Jadi robot atau mati kelaparan,” hanya tahu nurani ketika melihat para kakaknya dilibas gas air mata. Tuntutan agar tidak mati di Jakarta mereka lupakan begitu saja – semua itu demi menghancurkan status quo yang selalu dipertahankan para penguasa.
Pembentukkan mereka sebagai insan yang tidak mau berpikir rumit, mencari dan membaca pasal-pasal bermasalah bukan datang secara tiba-tiba. Sejak awal, mereka memang tidak pernah diajarkan berpikir secara filosofis tentang segala sesuatu yang telah ada atau sedang terjadi selama kurang-lebih 9 tahun lamanya (SD-SMA). Mereka yang telah lama tunduk pada sistem, tiba-tiba saja dipaksa menengadahkan segalanya pada cara-cara perlawanan sok teoritis ala kelas menengah.
Sekarang pertanyaannya, siapa yang paling organik antara para pelajar SMP-SMA dengan para mahasiswa yang juga ikut mencibir keterlibatan para pelajar pada aksi #ReformasiDikorupsi kemarin?
Jawaban saya adalah para pelajar. Mereka bergerak tanpa mobil komando, tanpa instruksi dan tanpa hal-hal sentralistik lainnya. Mereka menolak keteraturan semu lewat gaya-gaya yang dinilai barbar oleh hakim-hakim amatir itu. Mereka ini hidup di jalanan. Cara perlawanan mereka menggambarkan bagaimana penindasan itu mereka alami dan terjadi setiap hari pada kolong-kolong jembatan, atas jalan layang, warung-warung asongan dan keluarga mereka sendiri.
Para hakim sama sekali tidak pernah belajar kausalitas – tentang bagaimana kondisi budaya para pelajar terbentuk. Mereka semua menihilkan kondisi pendidikan yang telah lama jauh dari realitas sosial dengan mencibir para pelajar dalam perdebatan etis dan non etis. Para hakim ini berdiri tegak untuk memukul para pelajar layaknya tikus-tikus yang muncul pada mesin timezone namun mendadak tidak muncul ketika pertumpahan darah dan perampasan hak berekspresi terjadi di jalanan.
[2] Berasal dari kata “ribut” yang
dibalik dalam pembacaannya. Mirip-mirip kata “Ngalam” untuk menyebut kota
“Malang”.
dibalik dalam pembacaannya. Mirip-mirip kata “Ngalam” untuk menyebut kota
“Malang”.
Perkara Moral
Sontak, semua perjuangan para pelajar ditiadakan begitu saja karena cara-cara vandalisme yang mereka lakukan. Perdebatan ini tentang beragam sistem moral yang berbeda pada tiap orang dan coba dipaksakan atas embel-embel “persatuan”.
Cara-cara vandalisme tidak datang begitu saja pada benak para pelajar. Namun, kontemplasi semacam ini tidak nampak sedikitpun dalam benak para hakim. Secara implisit, mereka hanya fokus menyerang laku vandalisme para pelajar yang dikaitkan dengan kelas sosial mereka yang berada pada tingkatan rendah – yang tidak tahu etika, yang tidak tahu cara-cara akademis dan tidak mengerti apa-apa soal perusakan yang mereka (para pelajar) lakukan.
Sekarang mari kita bermain tebak-tebakan. Kira-kira, hakim-hakim sok teoritis ini sudah berapa kali datang ke aksi kamisan yang diadakan setiap hari kamis pada kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Malang, Bekasi, Semarang, Bandung dan sebagainya?
Di Jakarta, 600-an adalah angka tentang seberapa banyaknya aksi ini kurang lebih telah dilakukan. Dengan cara-cara damai, para orang tua korban penghilangan paksa, penculikan dan pembunuhan era Orde Baru berdiri di bawah payung-payung berwarna hitam sebagai penanda perlawanan yang akan terus abadi. Tapi coba lihat, sampai saat ini, tidak ada sedikitpun kemajuan atas tuntutan yang mereka layangkan setiap Kamis sore hari, tepat di depan Istana Presiden. Presiden saat ini malahan terlihat tutup mata sementara para terduga pelaku bebas bersliweran pada kursi-kursi pemerintahan.
Para hakim amatir ini tidak akan pernah sedikitpun terlihat saat Kamis sore hari di samping para orang tua korban yang kehilangan sanubari tercintanya. Mereka menutup mata, telinga dan menundukkan kepalan tangan dibalik embel-embel metode akademis dan etika sosial ala bangsawannya itu.
Bukankah tindak vandalisme para pelajar merefleksikan semua permasalahan saat ini? Bahwa cara-cara damai tidak akan pernah dihargai oleh negara. Karena negara tidak akan pernah mencoba menjerumuskan kawan-kawannya ke dalam jeruji besi penjara. Mereka semua berlindung pada dalih pembangunan ekonomi, persaingan antar negara dan re’polusi’-re’polusi’ mental lucu itu.
Saya coba membayangkan, jikalau nalar-nalar ala para hakim ini hidup menjamur saat masa kolonialisme. Mungkin negara ini tidak akan pernah mengkultuskan proklamasinya sampai sekarang. Para hakim yang tak pernah mencoba merasakan kondisi penindasan era kolonial menandakan betapa semunya teori dan etika mereka sebagai manusia. Mereka adalah ihwal yang dipenuhi dengan kesemuan yang sebenar-benarnya, dan seburuk-buruknya.
**
Gaya pendidikan ala bank yang telah diidap selama sembilan tahun, paksaan ekonomi pasar, dan segala bentuk tekanan sosial adalah hal yang patut diperhitungkan untuk merekonstruksi ulang palu-palu dan paku-paku kita.
Para pelajar yang turun pada demonstrasi adalah kaum paling murni yang mengatakan bahwa perlawanan itu bukan hanya persoalan teori. Semua ini soal nurani yang adil, dan hentakkan kaki penuh gemuruh petir yang menyambar gedung-gedung mewah para pencuri yang sampai kapanpun, sama sekali tidak bisa dipercayai.
Penulis: Qanish Karamah, Mahasiswa Antropologi Sosial Universitas Diponegoro