[OPINI] Perempuan dan Mitos Keharusannya

Ilustrasi oleh: Camelia
Beberapa waktu yang lalu saya pulang kampung. Meninggalkan sementara hiruk pikuk Tembalang untuk melepas rindu bersama keluarga. Saya terlibat percakapan panjang dengan emak. Padahal sebelum ini, saya jarang berbicara hal-hal yang bagi saya kelewat berat bersama beliau. Saya lebih sering bercakap dengan bapak sambil menonton berita di televisi. Kali ini, percakapan mengalir begitu saja di antara kami. Percakapan yang membuat saya heran sekaligus menyadari hal-hal sepele yang ternayata begitu menarik.

“Kerja perempuan yang sudah punya suami itu ya masak, macak, manak, lan marak.”
“Perempuan itu harus bisa bersih-bersih. Biar nggak kaget kalau nanti berkeluarga.”
Selama ini hal-hal itulah yang selalu ditekankan kepada saya. Kata emak, saya harus bisa masak dengan benar karena saya perempuan. Harus bisa macak (berdandan) dengan baik untuk suami saya kelak. Perempuan itu kodratnya manak (melahirkan). Juga harus bisa marak, membuat suasana yang ceria di rumah agar suami betah.
Mengapa harus perempuan? Itu pertanyaan yang saya lontarkan dalam hati. “Jika Emak punya anak laki-laki, apakah mereka juga akan emak suruh nyuci, ngepel, cuci piring?” “Enggak, lah. Mereka ya harus mengerjakan pekerjaan laki-laki. Membantu bapakmu membuat almari.”
Sehabis itu saya cuma tersenyum. Tak berani mendebat lagi. Serba salah jika berhadapan dengan beliau. Emak adalah satu dari sekian banyak perempuan hebat yang masih terkungkung patriarki. Begitu juga pendapatnya mengenai apa yang dia utarakan. Emak menggambarkan perempuan ideal menurut masyarakat jawa menurut kriteria 4M tadi.
Mungkin pemikiran-pemikiran tentang perempuan seperti yang diutarakan emak saya masih berkembang sampai sekarang. Masyarakat mewajarkan hal tersebut. Langgeng dan terawat adalah dua kata yang tepat untuk menggambarkannya. Mungkin saja, tanpa sadar kita juga berandil melanggengkan segala doktrin tersebut. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, penggunaan kata-kata yang bersifat keharusan terhadap perempuan pasti sering kita dengar.
Lalu apakah tugas perempuan memang hanya seputar wilayah domestik saja? Tentu tidak, bukan? Stigma masyarakat mengenai perempuan dan ketidaksetaraannya dengan laki-laki menjadi hal yang perlu kita benahi mulai sekarang. Kita harus meluruskan pemahaman bahwa perempuan tidak hanya dilahirkan untuk menjadi istri yang baik menurut kriteria yang telah didoktrinkan kepada kita sedari dulu.
Perempuan juga memiliki kesempatan berkembang dan sederajat dengan laki-laki tanpa harus dihantui beban ganda. Beban ganda yang selalu dipikulkan dengan embel-embel “perempuan harus…”. Bagi saya, kerja domestik seperti memasak, mencuci, bersih-bersih adalah keterampilan yang wajib dimiliki semua orang untuk bertahan hidup terlepas dari gender yang dimilikinya. Kerja domestik bukanlah tugas wajib seorang perempuan, laki-laki pun dapat mengerjakannya.
Sekarang bukan abad ke-19 di mana Kaisar Wilhelm II mendefinisikan peran perempuan sebagai Kirche, Kuche, Kinder (gereja, dapur, anak-anak) yang kemudian propaganda ini diambil alih oleh Nazi. Sekarang juga bukan zamannya perempuan sebagai kanca wingking (teman di belakang) bagi suaminya, melainkan lebih dari itu.
 
(Camelia Arsen)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top