Watak Eksekutif Mahasiswa yang Akan Terus Ada dan Berlipat Ganda

Ilustrasi: Tio
Pada tahun 2018, tepat sewaktu saya menginjakan status sebagai mahasiswa semester tiga, gerakan mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) yang didominasi para pejabat eksekutif kampus sedang panas-panasnya membahas isu pendidikan tinggi yang meliputi: Uang Kuliah Tunggal (UKT) secara umum, UKT Semester Lanjut, Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI), hingga Liberalisasi Pendidikan yang juga meliputi Komersialisasi Pendidikan dan Privatisasi Pendidikan dalam pendidikan tinggi di Indonesia, khususnya Undip.
Gerakan yang didominasi para pejabat eksekutif kampus itu menggunakan metode kajian pada ragam regulasi yang mengatur pembiayaan perkuliahan di pendidikan tinggi sebagai suatu metode yang mutlak. Layaknya seorang pakar hukum, para pejabat eksekutif itu sangat percaya diri untuk beradu argumen dengan para dosen hukum di Widya Puraya. Selain itu, hal lain yang menjadi ciri khas mereka adalah cara penyampaian pendapat lewat metode (audiensi) dengan pihak Rektorat.
Saya menyaksikan sejarah itu bersama Ulil dan Agung, kedua karib saya, yang para pejabat eksekutif itupun mengakui kedalaman dan ketajaman analisisnya bahkan mereka pakai sebagai bahan kajian versi mereka. Namun yang jadi perbedaan besar antara kedua kubu ini (Ulil, Agung, dan pejabat eksekutif) terletak pada cara penyampaian argumentasinya. Ulil dan Agung percaya dengan metode aksi massa karena intensitas tekanannya yang besar dan meminimalisir resiko terjadinya kesepakatan terselubung antara mahasiswa dan Rektorat. Sedangkan para pejabat eksekutif, bersikukuh dengan cara-cara yang mereka namakan; audiensi.
 
Hembusan Nafas yang Sama
Jum’at (8/11/19) kemarin, saya dan tim reporter Hayamwuruk mendatangi diskusi publik yang diadakan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip untuk membahas permasalahan internal kampus dengan tajuk “Senja di Widya Puraya” yang dimulai sekitar pukul 16.30.
Diskusi berlangsung cukup lama. Sekitar pukul 20.00, diskusi itu ditutup dengan kesepakatan untuk mengadakan diskusi lanjutan pada keesokan harinya, di tempat yang sama, di Taman Inspirasi tepat depan gedung Widya Puraya.
Menyaksikan acara tersebut sekaligus membuat Saya menafikkan Michel Foucault soal ihwal dasar sebuah sejarah. Menurutnya, setiap sejarah memiliki permasalahannya. Dan tiap permasalahan dalam tiap sejarah, memiliki cara penyelesaiannya sendiri. Teori hanyalah sebuah teori tanpa pembuktian. Dan saat mengikuti diskusi tersebut, Saya menjadi seorang manusia yang membuktikan bahwa Foucault benar-benar salah.
Saya tidak ingin mengeneralisir suatu hal. Namun hal ini menjadi dilematis, bagaimana cara-cara gerakan yang kembali saya tonton, kembali mengulang apa yang telah gagal di tahun lalu dan tahun-tahun sebelumnya.
“(Tahun lalu) kita kurang persiapan (bahan kajian). Dalam audiensi, kita kurang persiapan jelas,” ujar Anies Ilahi, Ketua BEM Undip 2019, sewaktu tim Hayamwuruk wawancarai setelah diskusi publik (8/11/19) berakhir.
“Dalam menganalisis masalah (juga). Jadi gini, ketika kita memperjuangkan yang namanya UKT Semester Lanjut, ya harus ada orang yang bermasalah (korban) di sana. (Tahun) 2018, orang (korban) yang di dalam sana cuma 3 orang. (Makanya) mental,” tambah Anies.
Menurut Anies, fokus tuntutan yang hanya pada UKT Semester Lanjut adalah sebuah kesalahan. Sedikitnya jumlah tuntutan menjadikan gerakan tidak memiliki sebuah sistem back up. Karena menurutnya, andai saat itu tidak hanya berfokus pada UKT Semester Lanjut saja namun juga mengangkat permasalahan yang ada, Anies percaya bahwa beberapa masalah yang diangkat itu memiliki peluang besar diterima atau bisa menjadi pantikkan untuk sosiologis massa. Dasar argumennya kira-kira dapat dirumuskan seperti ini: “Kalau satu atau dua isu ditolak, masih ada isu lain yang berpotensi dikabulkan”.
Para pejabat eksekutif saat ini sama saja bagi saya dengan yang lalu. Mereka nampak seperti sedang melakukan pengguguran kewajiban di akhir periode kepengurusan ini. Layaknya adat istiadat, gerakan ini hanya sebuah ritus penutupan. Walaupun, Anies tetap mengatakan bahwa diskusi publik ini baru diadakan karena mereka mendapat banyak hambatan karena aksi #ReformasiDikorupsi beberapa waktu lalu.
“Kemarin sebenarnya ingin pada saat Hari Sumpah Pemuda (28 Oktober), cuma waktunya mepet dengan aksi-aksi yang ada di nasional,” ujarnya.
Selain itu, Anies juga berpendapat bahwa masa akhir kepengurusan adalah masa peralihan. Ia anggap ini adalah momentum untuk memantik dan menginventarisir isu untuk kepengurusan tahun 2020 agar tidak memulainya kembali dari titik nol.
Menurut Anies, tujuan untuk menginventarisir isu juga karena kesalahan pada periode lalu kepengurusan pejabat eksekutif (baik itu tingkat fakultas dan universitas) yang tidak mengkomunikasikan isu yang telah dibahas kepada periode tahun 2019. “Ya okelah, (sebagai) mahasiswa (seharusnya) tanggung jawab untuk memperjuangkan itu,” ujarnya.
Namun di tengah wawancara, saya mencium aroma pelepasan tanggung jawab yang sama seperti pada kepengurusan periode lalu. Dalih berupa bentuk “peninggalan warisan” dengan embel-embel “gerakan ini akan tetap berlanjut” saya asumsikan sebagai pelepasan tanggung jawab yang serupa, karena narasi-narasi semacam ini juga sering kali saya dengar tahun lalu. Hal ini saya tanyakan kepadanya, dialognya seperti ini:
Saya: Ada jaminan apa mas bilang ini momentum masa peralihan dan itu artinya akan berlanjut. Apa yang menjadi komitmen dan apa yang menjadi sebuah nilai (bahwa gerakan) ini memang akan berlanjut. Jaminannya apa?
 
Anies: Sebenarnya kita ada beberapa opsi ya. Pertama, kita juga gabisa memaksa gitu, tapi kalo lini massa berbicara, ya mau gimana lagi. Yang kedua, ya saya ketika linimasa (memungkinkan dalam arti “ingin melanjutkan”) mungkin harus (ada) kontrol politik.
Saya: Jadi, ketika saya bilang ada jaminan (akan) berlanjut, ada atau tidak?
 
Anies: Kalau saya sendiri bilang itu apa ya, kalau semua orang peduli (ya) ada jaminan. Cuman, dari saya sendiri tuh Insya Allah akan menurunkan apa yang harus diturunkan, (dan) mengarahkan apa yang harus saya arahkan.
Anies: Hari ini kita sengaja buat inventaris tahun depan cuman untuk jaminannya saat ini tuh gitu tadi. Yang pertama tuh kan ketika memang ini misal ada audiensi gede-gedean ketika massa pengen, ya nanti kan akan ada dinamika sana (lini massa) yang neken, bukan saya. Ketika saya neken kan sentimen jadinya.
Saya: Oke apakah bisa saya katakan kalau tidak ada jaminan (akan berlanjut) karena melihat dulu bagaimana linimasa yang nantinya akan berlanjut?
 
Anies: Iya.
 
Sejauh ini, siapapun bisa menafsirkan dan mengkomparasikan apa yang terjadi di tahun lalu dan sekarang. Bagi saya, semua ini hanya pengulangan sejarah beserta embel-embelnya. Metode gerakan seperti audiensi hingga gerakan yang terlihat seperti pengguguran kewajiban pada akhir periode kepengurusan adalah dua hal yang begitu pekat dalam benak ingatan saya. Dan kedua hal ini diciptakan oleh lembaga yang sama, dengan alasan alasan retoris sama, yang sangat sumpek mengendap dalam pikiran saya.
Reporter: Puspa, Indri, Qanish
Penulis: Qanish
Editor: Ban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top