Ilustrasi: Alfie
Oleh: Qanish Karamah*
“Negara bukanlah negara tanpa investasi.”Setidaknya kalimat itulah yang menyelamatkan saya dari jeratan doktrin tentang betapa heroiknya keberadaan negara bagi diri saya seperti yang tertuang dalam mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN) sejak menginjak bangku Sekolah Dasar (SD) sampai bangku perkuliahan saat ini.
***
Memasuki tenggat semester enam perkuliahan, saya dikejutkan dengan peningkatan teknologi dalam sarana-prasarana kampus bernama SSO. Bagaimana tidak, kehadiran SSO layaknya senjata biologis yang menghancurkan tipikal “Mahasiswa Titip Absen” seperti saya. Sudah tidak bisa titip absen, waktu tidur yang semula surplus tiba-tiba saja defisit. Entah kesialan macam apa ini.
Sistem SSO layaknya paket untuk sarana-prasarana mahasiswa. Sistem itu meliputi pengisian Kartu Rancangan Studi (KRS) mahasiswa, lampiran Kartu Hasil Studi (KHS) mahasiswa, akun untuk mengakses wifi Undip, absensi mahasiswa secara otomatis lewat scan barcode dan lain-lain. Ketika dicermati, sistem ini memang bertujuan untuk mengefisiensikan semua urusan administrasi akademik mahasiswa dan menggantikan sistem Sistem Informasi Akademik (SIA) yang lama. Namun bagi saya, semua rangkaian otomatisasi ini hanyalah kedok dengan embel-embel efisiensi dan kemajuan teknologi saja.
Waktu saya tiba-tiba dikurung dan saya dituntut untuk bangun pagi-pagi agar tidak ketinggalan absen lewat scan barcode. Saya mendadak disiplin seperti pekerja[1]. Saya mendadak jadi seorang yang terburu-buru. Padahal, keputusan untuk berkuliah di luar Jakarta karena ingin lepas dari jeratan “keterburu-buruan” itu. Kesialan kedua: Ternyata Semarang sama saja.
Namun, walau saya hobi titip absen, saya ini gak bodoh-bodoh amat lah. Saya tahu betul ada sesuatu yang sedang ditutup-tutupi dengan label kecanggihan teknologi bernama SSO ini. Beranjak dari apa saja yang hilang dari saya sejak hadirnya SSO, semua itu membuahkan hasil analisa untuk membaca sistem SSO, rezim investasi Jokowi dan Kampus Merdeka-merdekaannya Nadiem yang sebenarnya tiga hal yang saling berkaitan.
*
Pendidikan merupakan sebuah sarana untuk menyadarkan seseorang dari realitas sosial di sekitarnya (self realization). Pengertian ini saya ambil dari Rousseau. Dia itu filsuf asal Geneva. Namun, filsuf pun seorang manusia kan? Ia pasti punya potensi buat kesalahan. Sistematika sebelum adanya SSO sudah cukup untuk mengatakan bahwa institusi pendidikan sebenarnya adalah pabrik tak kasat yang diam-diam mencetak tenaga kerja. Rousseau jelas-jelas salah. Institusi itu bukan lagi wadah “merealisasikan” individu dengan realitasnya.
Setelah adanya SSO, siasat itu semakin menjadi jelas di mata saya. Rupanya institusi pendidikan memang agen reproduksi pekerja yang tidak pernah dibayar sedikitpun oleh seribu orang terkaya di dunia. Sebelum atau setelah adanya SSO, saya dan setiap orang di dalam institusi pendidikan memang sudah mencetak nilai lebih untuk perusahaan. Kita dipaksa ikut bekerja dalam pabrik yang samar-samar ini –agar di masa depan nanti – kita jadi hebat dan siap menggantikan tenaga kerja yang telah usang.
Sirkuit modal (capital) melibatkan peran negara di sana. Fungsinya apa? Nggak ada bedanya sama anjing penjaga rumah orang-orang tajir kok[2]. Ya! Ia berperan sebagai alat stabilisasi akumulasi modal orang-orang tajir itu. Jadi nggak heran sama sekali kalau institusi pendidikan dirancang sedemikian rupa dan amat sangat ketat. Semua itu dilakukan karena mereka percaya tenaga-tenaga kerja akan menjadi lebih baru dari tenaga-tenaga sebelumnya.
Alurnya nggak sulit-sulit amat kok. Negara menyiapkan tenaga kerja lewat institusi pendidikan, produk dihasilkan sama kita-kita yang berpendidikan (produk itu termasuk jasa dan barang fisik), dan orang-orang tajir itu dapat untung – dan keuntungannya itu terus bertambah, semakin besar dan semakin bikin orang dan alam menjadi miskin. Gitu terus kok kaya pusaran. Kita memang sulit sadar kalau sedang dibodoh-bodohi. Dan Alhamdulillah-nya, saya beruntung bisa merasa kesal karena tidak bisa titip absen lagi. Kalau tidak, mungkin saya nggak bisa mikir kaya gini.
*
Coba sekali lagi kita pikirkan tentang barang bernama SSO ini. Saya yang merasa jadi manusia paling malas di dunia saja tiba-tiba bisa sedisiplin para pekerja. Bayangkan saja, waktu saya yang tadinya berkeliaran bebas untuk belajar di luar kelas, tiba-tiba saja dipagarkan dengan beton-beton tak terlihat ala SSO ini. Lewat SSO, fungsi institusi pendidikan sebagai instrumen ideologis terlaksana. Dari mulai manajemen waktu, sikap hingga watak, disesuaikan dengan iklim kerja perusahaan. Ancamannya kalau saya nggak dapet jatah cukup absen untuk Ujian Akhir Semester (UAS), saya akan lulus lebih lama dan akan menyusahkan ibunda, huft.
Sekarang ini, tiap saya berangkat kuliah pagi-pagi, saya selalu merasa ada invisible supervisor yang mengawasi saya sedari saya tertidur lelap hingga bangun tidur untuk bekerja di kampus sambil berkata, “Hayo kerja yang bener!”.
SSO ini tujuannya untuk mengasimilasi mahasiswa dengan nilai-nilai ala perusahaan. Waktu luang yang dipagarkan, hidup terburu-buru sampai lupa berpikir, pendisiplinan absen gaya pabrik dan memakaikan kita pakaian ala perusahaan secara samar-samar. Jadi, tujuan negara dalam UUD 1945 itu menurut saya akal-akalan saja untuk menutupi maksud sebenarnya – bahwa ia sedang mewujudkan cita-cita agar semua warganya menjadi sekrup-sekrup penyokong kapital (modal).
Intinya, Jokowi, Nadiem dan Undip kita itu sama saja, percaya deh. Mereka itu sebenarnya agen-agen yang nggak dibayar oleh seribu orang tajir di dunia untuk memproduksi kita jadi barang bagus. Sebelum Nadiem ngomongin link and match, watak para pemangku kekuasaan kita memang se-industrial itu kok. Tapi mereka ini tetep nggak akan ngerti apalagi mau diajak untuk mengerti. Paling-paling kalau saya ngomong gini di kelas saya akan dituding:
“Dasar kamu komunis utopis, post-PKI, sok idealis” dan printilan-printilan nggak canggih lainnya.
*Penulis merupakan mahasiswa Antropologi Sosial Undip
Editor: Della